Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Pengaruh Penkes Tentang Thypoid Terhadap Tingkat Pengetahuan Pada Pasien Thypoid Di RS XXX

 

Pengaruh Penkes Tentang Thypoid Terhadap Tingkat Pengetahuan Pada Pasien Thypoid Di RS XXX

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan kesehatan dan pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat dan logis yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid. Penyakit infeksi masih memerlukan perhatian besar dan sementara itu telah terjadi peningkatan penyakit-penyakit tidak menular. Kemajuan     transportasi     dan   komunikasi, membuat penyakit dapat berpindah dari satu daerah atau negara ke negara lain dalam waktu yang relatif singkat serta tidak mengenal batas wilayah administrasi. Kemudian berbagai penyakit baru (New emerging diseases) ditemukan, dan memiliki kecenderungan meningkatkan kembali beberapa penyakit yang selama ini sudah berhasil dikendalikan (Re-emerging diseases) (Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003).

Salah satu penyakit yang sering timbul adalah demam tifoid. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik memiliki sifat akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Widoyono, 2002). Demam tifoid ditandai dengan adanya gejala demam satu minggu atau lebih dan disertai gangguan di saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Soedarmo, dkk, 2002). Penyakit ini masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropik. Penularan Tifus Abdominalis secara langsung hanya sekitar 10%. Makanan dan minuman yang menjadi sumber penularan adalah makanan dan minuman yang tidak dimasak dengan baik (kurang matang). Makanan yang sudah dimasak dengan baik juga dapat menularkan Tifus Abdominalis jika kontak dengan tangan yang kotor atau air yang mengandung Bakteri Salmonella Thypi (Djauli, 2009).

Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, didapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka kejadian diagnosa penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Demam tifoid terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat (Lestari, 2011).

Demam tifoid merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, kejadian demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011). Data WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Pramitasari, 2013).

Di Negara Indonesia penyakit Tifus Abdominalis bersifat endemik. Berdasarkan data pada kasus di rumah sakit besar di Indonesia, penyakit Tifus Abdominalis memperlihatkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR) antara 0,6-5% atau 3-25/100.000 (Kepmenkes RI No. 364, 2006).

Angka kejadian thypoid di Dinas kota sukabumi pada tahun 2017 berjumlah 10801 jiwa dan pada tahun 2018 didapatkan data 5656 jiwa. Sedangkan angka kejadian di RS XXX pada bulan desember tahun 2018 ada urutan ke 4 penyakit terbanyak yang dirawat di RS XXX, sedangkan pada bulan maret 2019 didapatkan kasus thypoid 136 pasien.

 Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) tentang hubungan faktor determinan dengan kejadian tifoid di Indonesia diperoleh bahwa prevalensi Tifus Abdominalis klinis nasional sebesar 1.600/100.000 (rentang: 300/100.000-3.000/100.000).

Tiga Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Di daerah Jawa Barat terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk yang berhubungan dengan kebiasaan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang rendah. Hal ini sama dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang diteliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) bersama prevalensi PHBS Jawa Barat sebesar 37,4% di bawah standar nasional yang mencapai 38,7%.

Kelompok usia 15-20 tahun termasuk dalam tahap perkembangan akhir usia remaja yang pada saat ini berada pada tahap pendidikan. Pada masa ini, remaja sangatlah labil dan mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya baik itu dari orangtua ataupun dari teman sebaya. Fenomena yang terjadi di masyarakat, masih banyak warga yang tidak menerapkan perilaku higiene perseorangan meskipun tingkat pengetahuan dan sikap mereka tentang kesehatan sudah cukup baik. Hal yang demikianlah yang menyebabkan jumlah penderita demam tifoid meningkat setiap tahunnya. Pihak instansi kesehatan telah melakukan upaya promotif dan penyuluhan tentang pentingnya perilaku higiene perseorangan serta kesehatan lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi penularan penyakit. Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa adanya kesadaran tiap individu untuk merubah perilaku. Masyarakat dapat menjadi sehat dengan memulai kesadaran diri sendiri untuk berperilaku higiene yang sehat. Pasien Tifus Abdominalis sangat dianjurkan dirawat di rumah sakit karena penyakit ini relatif mudah menular kepada anggota keluarga lain (Tambayong, 2000).

Penularan demam tifoid dapat terjadi akibat adanya binatang perantara (vector dan reservoir), kebiasaan jajan, pengelolaan makanan yang tidak bersih, serta perilaku hygiene perseorangan yang tidak memenuhi syarat. Dari beberapas aspek tersebut, perilaku individu merupakan aspek utama yang berperan dalam penularan demam tifoid. Menurut Slamet (2007 : 74 ) perilaku hygiene perseorangan seperti memelihara kebersihan tangan, kuku, gigi dan mulut, pakaian, rambut, sehingga tidak ada agent penyakit, merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi kesehatan individu.salah satu factor yang mempengaruhi penerapan memelihara kebersihan diri adalah pengetahuan.

Menurut Surajiyo (2007) pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Faktor-faktor yang mendukung pengetahuan diantaranya pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar dan informasi (Mubarak, 2013). Penyampaian informasi dapat dilakukan melalui promosi kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Didukung oleh teori model keperawatan Pender bahwa dalam promosi kesehatan terdapat faktor yang dapat mempengaruhi proses peningkatan kesehatan yaitu pendidikan tentang kesehatan karena pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan yang merupakan faktor dapat dirubah di dalam diri setiap individu (Berman, 2012).  Kurang pengetahuan tentang kesehatan akibat terbatasnya informasi akan mempengaruhi kebiasaan hidup sehat sehingga mudah terserang penyakit menular seperti tifoid (Ngastiyah, 2005). Dampak dari kurang informasi akan menyebabkan kurang pengetahuan dan berpengaruh pada tindakan, ketika tindakan yang dilakukan tidak mendukung peningkatan kesehatan, maka tidak akan tercipta budaya perilaku sehat.

    Berdasarkan studi pendahuluan tanggal 12 dan 13 April 2019 hasil wawancara dengan beberapa pasien thypoid yang dirawat di RS XXX  didapatkan 10 dari pasien demam thypoid yang pengetahuan tentang penyakit demam thypoid yang baik hanya 2 orang, pengetahuan cukup 5 orang dan yang kurang 3 orang.

Berdasarkan konsep pemikiran di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh penkes tentang thypoid terhadap tingkat pengetahuan pada pasien thypoid diruang rawat inap RS XXX.

 

1.2    Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Penkes tentang thypoid terhadap tingkat pengetahuan pada pasien thypoid di RS XXX.

 

1.3    Tujuan Penelitian

1.3.1   Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh Penkes tentang thypoid terhadap tingkat pengetahuan pada pasien thypoid di Ruang Rawat inap RS XXX.

1.3.2   Tujuan Khusus

1.      Mengidentifikasi tingkat pengetahuan sebelum diberikan intervensi penkes tentang thypoid pada pasien thypoid di ruang rawat inap RS XXX.

2.      Mengindentifikasi tingkat pengetahuan sesudah diberikan intervensi penkes tentang thypoid pada pasien thypoid di ruang rawat inap RS XXX

3.      Menganalisis Perbedaan tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan penkes tentang thypoid pada pasien thypoid di ruang rawat inap RS XXX.

 

1.4    Ruang lingkup penelitian

1.4.1   Lingkup Sasaran

Penelitian ini ditujukan kepada pasien Thypoid yang dirawat di Ruang rawat inap RS XXX.

1.4.2   Lingkup Lokasi

Penelitian dilakukan di RS XXX

 

1.5    Manfaat Penelitian

1.5.1   Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam meningkatkan pelayanan keperawatan melalui pendidikan kesehatan.

1.5.2   Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dalam referensi pengaruh penkes terhadap tingkat pengetahuan pasien.

1.5.3   Bagi Peneliti Lain

Sebagai referensi dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut terkait factor lain yang mempengaruhi terjadinya thypoid.

1.5.4   Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk menerapkan teori dan ilmu yang didapat di bangku kuliah serta menambah wawasan dan pengalaman dalam mengadakan sebuah penelitian tentang pengaruh penkes tentang thypoid terhadap pengetahuan pasien thypoid.

1.5.5    Bagi responden

Sebagai sarana dalam menambah pengetahuan tentang penyakit thypoid dimana responden bisa mencegah agar tidak terulang terkena thypoid.


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)