Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah TBC Dalam Kehamilan, Persalinan Dan Nifas

 


TBC DALAM KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

 

A.    Definisi

Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

Kuman tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

 

B.     Penularan TBC

Sumber penularana penyakit tuberculosis adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuman TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis antara lain hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial, bronkiectasis dan fibrosis pada paru, pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya, insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik. 

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai menjadi kronik yang tetap menular (WHO 1996).

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Gejala umum tuberculosis antara lain batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.Gejala lain yang sering dijumpai antara lain dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan.

 

  1. Sumber penularana penyakit tuberculosis adalah penderita TB BTA positif
  2. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak)
  3. Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan
  4. kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.
  5. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 - 6 minggu.
  6. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler)

 

C.    Diagnosis

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS : Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil ropntgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.

Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan

1.      sebagai tersangka (suspek) TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.      Pemeriksaan dahak dengan pewarnaan BTA dilakukan dengan metode SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) sebanyak tiga kali pengambilan, yaitu saat

3.      pertama kali berkunjung, kemudian setelah bangun tidur pagi di hari kedua (pot dahak dibawa pulang), dan saat menyerahkan pot dahak di hari kedua.

4.      Foto radiologi dianggap positif bila ditemukan gambaran infiltrat atau kavitas.

5.      Diagnosis TB pada pasien dengan HIV negatif ditegakkan berdasarkan alur berikut:

 

 

D.    Tuberkulosis Paru Dalam Kehamilan

1.      Pengaruh kehamilan pada tuberkulosis paru

Tidak selalu mudah untuk mengenali ibu hamil dengan tuberkulosis paru, apalagi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas seperti badan kurus, batuk menahun atau hemaptoe. Tuberkulosis aktif tidak membaik atau memburuk dengan adanya kehamilan. Tetapi kehamilan bisa meningkatkan risiko tuberkulosis inaktif terutama pada post partum. Reaktifasi tuberkulosis paru yang inaktif juga tidak mengalami peningkatan selama kehamilan. Angka reaktifasi tuberkulosis paru-paru kira-kira 5-10% tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun tidak hamil.

 

2.      Efek tuberculosis terhadap kehamilan

Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Lebih dari 50 persen kasus TB paru adalah perempuan dan data RSCM pada tahun 1989 sampai 1990 diketahui 4.300 wanita hamil,150 diantaranya adalah pengidap TB paru (M Iqbal, 2007 dalam http://www.mail-archive.com/)

Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB.

Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal.

Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan dengan TB.

Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami kolaps yang disebut pneumo-peritoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB.

Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas) seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi.

Harold Oster MD,2007 dalam http://www.okezone.com/index.php mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.

 

3.      Efek tuberculosis terhadap janin

Jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin.Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan oleh Narayan Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999 dalam http://proquest.umi.com/pqdweb tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan, persalinan dan hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah <2500.

Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir. Prognosis bagi wanita hamil dengan penyakit tuberculosis yang aktif telah mengalami perbaikan yang luar biasa selama waktu 30 tahun terakhir ini. Beberapa preparat tuberculosis urutan pertama tidak terlihat memberikan efek yang merugikan bagi janin. Penyakit tuberculosis yang aktif selalu dapat diobati paling tidak dengan dua .macam preparat tuberculosis. Dalam suatu tinjauan (Snider,dkk 1980) tidak menemukan frekuensi cacat lahir pada anak-anak yang ibunya mendapatkan pengobatan isoniazid, ethambutol maupun rifampisin selama kehamilannya. Kelainan auditorius dan vestibuler yang ringan pernah ditemukan pada terapi dengan streptomisin. Kalau isoniazid digunakan selama kehamilan, piridoksin harus pula diberikan sebagai suplemen untuk mengurangi kemungkinan neurotoksisitas yang potensial pada janin.

Bayi dari wanita yang menderita tuberculosis, mempunyai berat badan lahir rendah, 2 x lipat meningkatkan persalinan premature, kecil masa kehamilan, dan meningkatkan kematian perinatal 6 kali lipat. Pengaruh utama tuberculosis terhadap kehamilan adalah mencegah terjadinya konsepsi sehingga banyak penderita tuberculosis yang mengalami infertilitas.

Jika seorang wanita positif tuberculosis, riwayat penyakit harus dianamnesis dengan cermat dan pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan dengan melakukan foto thorks dan bagian abdomen dilindungi ketika pemeriksaan kardiologi itu dilakukan. Jika hasilnya negative, pengobatan tidak diberikan sampai sesudah persalinan bayi, yaitu dengan pemberian isoniazid selama satu tahun sebagai tindakan profilaksis. Bayi yang lahir dari ibu dengan tuberculosis cukup rentan terhadap penyakit tersebut. Karena itu bayi harus diisolasi segera dari ibunya yang dicurigai tuberculosis aktif. Karena adanya risiko untuk terjadinya penyakit tuberculosis yang aktif pada bayi, maka terapi profilaksis dengan isoniazid ataukah tindakan vaksinasi BCG, keduanya mempeunyai manfaat yang cukup besar.

Bakteriemia selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi plasenta, sehingga janinpun dapat terinfeksi, kalaupun ada, kejadian ini jarang tetapi fatal. Pada setengah kasus infeksi didapatkan penyebaran hematogen pada hati atau paru melalui vena umbilikalis, setengah kasus lagi infeksi pada bayi disebabkan aspirasi secret vagina yang terinfeksi selama proses persalinan. Infeksi neonatal tidak mungkin terjadi jika ibunya yang menderita tuberculosis aktif telah berobat minimal 2 minggu sebelum bersalin atau kultur BTA mereka negative.

 

4.      Tes Diagnosis TB pada Kehamilan

Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati terpapar sinar matahari langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembap. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota keluarga penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita. Hal yang penting adalah bagaimana menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat. Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah dilakukan,murah dan cukup reliable.

Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari tuberkulin tes.

Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit. Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan BTA?), serta uji tuberkulin. Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi anergi.

Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.

 


 

E.     TBC Pada ibu Bersalin

Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selam kehamilan biasanya masuk ke dalam persalinan dengan proses tuberculosis yang sudah tenang. Persalinan pada wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak aktif lagi, dapat berlangsung seperti biasa. Akan tetapi pada pasien yang masih aktif, penderita ditempatkan di kamar bersalin tertentu. Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat dengan ekstraksi vacuum atau forcep, dan sedapat mungkin penderita tidak mengedan. Pasien diberi masker untuk menutupi mulut dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya. Sedapat mungkin persalinan berlangsung pervaginam. Sedangkan section secarea hanya dilakukan atas indikasi obstetric dan tidak atas indikasi tuberculosis paru.

 

F.     TBC Pada ibu Nifas

kehamilan terhadap tuberculosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal ini mungkin karena factor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan bayinya, dll.  Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal persalinan berlangsung dengan lancar, tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi selama 6-8 jam, kemudian pasien dapat dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta nasehat perawatan masa nifas.

Ibu dengan tuberculosis aktif baru dapat kontak dengan bayinya minimal 3 minggu pertama pengobatan, dan bayinya juga mendapat isoniazid. Pada ibu penderita TBC paru tetap dianjurkan untuk menyusui, karena kuman TBC tidak ditularkan melalui ASI. Ibu tetap diberikan pengobatan TBC paru secara adekuat dan diajarkan cara pencegahan pada bayi dengan menggunakan masker. Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat panduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui

 

G.    Penatalaksanaan TBC

1.      Penatalaksanaan TBC Pada ibu hamil

Pengobatan TB pada ibu hamil pada prinsipnya tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Hanya saja, streptomisin TIDAK BOLEH diberikan karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.

 Pastikan selama masa pengobatan, pasien didampingi oleh seorang pengawas minum obat (PMO) yang dapat memantau dan mendorong kepatuhan pasien berobat.

Untuk Kategori 1 (pasien TB baru BTA positif, ATAU pasien TB baru BTA negatif foto toraks positif), ibu diberikan rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol setiap hari selama 2 bulan, dilanjutkan rifampisin dan INH 3 kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan. Dosis yang diberikan adalah sebagai berikut.

a.       INH dosis 5 mg/kgBB/hari (untuk pemberian setiap hari) atau 10 mg/kgBB/hari (untuk pemberian 3 kali seminggu); maksimum 300 mg/hari

b.      Rifampisin 10 mg/kgBB/hari; maksimum 600 mg/hari

c.       Pirazinamid 25 mg/kgBB/hari; maksimum 2000 mg/hari

d.      Etambutol 15 mg/kgBB

Terapi tersebut dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) sesuai berat badan ibu seperti di bawah ini:

a.       Lakukan pemeriksaan dahak kembali di akhir tahap intensif (bulan kedua). Bila hasil negatif, lanjutkan pengobatan tahap berikutnya. Bila hasil positif, berikan tambahan pengobatan seperti tahap intensif selama 28 hari (OAT sisipan). Setelah selesai, lakukan pemeriksaan dahak ulangan. Bila negatif, lanjutkan pengobatan ke tahap berikutnya. Bila tetap positif, rujuk pasien ke layanan TB-MDR untuk pemeriksaan resistensi sambil melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan.

b.      Lakukan pemeriksaan dahak satu bulan sebelum tahap lanjutan selesai (bulan kelima). Bila hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan. Bila hasilnya positif, rujuk pasien ke layanan TB-MDR dan mulai pengobatan kategori 2.

c.       Lakukan pemeriksaan dahak di akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasilnya negatif, pasien dinyatakan sembuh. Bila hasilnya positif, rujuk pasien ke layanan TB-MDR dan mulai pengobatan kategori 2.

d.      Setelah lahir, bayi diberikan profilaksis INH (5-10 mg/kgBB/hari) sampai 6 bulan. Vaksinasi BCG segera diberikan setelah pengobatan profilaksis selesai.

e.       Ibu hamil dengan tuberkulosis Kategori 2 (pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien putus berobat) dan ibu hamil dengan TB ekstra paru sebaiknya dirujuk ke layanan TB-MDR untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai.

f.       Regimen yang sama direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB maupun wanita non hamil dengan TB kecuali streptomycin. penggunaanPyrazinamide dalam kehamilan.

Pengobatan tuberculosis aktif pada kehamilan hanya berbeda sedikit dengan penderita yang tidak hamil. Ada 11 obat tuberkulosis yang terdapat di Amerika Serikat, 4 diantaranya dipertimbangkan sebagai obat primer karena kefektifannya dan toleransinya pada penderita, obat tersebut adalah isoniazid, rifampisin, ethambutol dan streptomycin. Obat sekunder adalah obat yang digunakan dalam kasus resisten obat atau intoleransi terhadap obat, yang termasuk adalah paminasalisilic acid, pyrazinamide, cycloserine, ethionamide, kanamycin, voimycin dan capreomycin.

Pengobatan selama setahun dengan isoniazid diberikan kepada mereka yang tes tuberkulin positif, gambaran radiologi atau gejala tidak menunjukkan gejala aktif. Pengobatan ini mungkin dapat ditunda dan diberikan pada postpartum. Walaupun beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid pada wanita postpartum. Beberapa rekomendasi menunda pengobatan ini sampai 3-6 bulan post partum. Sayangnya, penyembuhannya akan membawa waktu yang sangat lama.

Isoniazid termasuk kategori obat C dan ini perlu dipertimbangkan keamanannya selama kehamilan. Alternatif lain dengan menunda pengobatan sampai 12 minggu pada penderita asimtomatik. Karena banyak terjadi resistensi pada pemakaian obat tunggal, maka sekarang direkomendasikan cara pengobatan dengan menggunakan kombinasi 4 obat pada penderita yang tidak hamil dengan gejala tuberkulosis. Ini termasuk isoniazid, rifampisin, pirazinamide atau streptomycin diberikan sampai tes resistensi dilakukan. Beberapa obat tuberkulosis utama tidak tampak pengaruh buruknya terhadap beberapa janin. Kecuali streptomycin yang dapat menyebebkan ketulian kongenital, maka sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan.

The center for disease control(1993) merekomendasikan resep pengobatan oral untuk wanita hamil sebagai berikut :

a.       Isoniazid 5 mg/kg, dan tidak boleh lebih 300 mg per hari bersama pyridoxine 50 mg per hari.

b.      Rifampisin 10 mg/kg/hr, tidak lebih 600 mg sehari.

c.       Ethambutol 5-25 mg/kg/hari, dan tidak lebih dari 2,5 gram sehari(biasanya 25 mg/kg/hari selama 6 minggu kemudian diturunkan 15 mg/kg/hr.

Pengobatan ini diberikan minimal 9 bulan, jika resisten terhadap obat ini dapat dipertimbangkan pengobatan dengan pyrazinamide. Selain itu pyrazinamide 50 mg/hari harus diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh isoniazid. Pada tuberkulosis aktif dapat diberikan pengobatan dengan kombinasi 2 obat biasanya digunakan isoniazid 5 mg/kg/hari (tidak lebih 300 mg/hari) dan ethambutol 15 mg/kg/hari. Pengobatan dilanjutkan sekurang-kurangnya 17 bulan untuk mencegah relaps. Pengobatan ini tidak dianjurkan jika diketahui penderita telah resisten terhadap isoniazid. Jika dibutuhkan pengobatan dengan 3 obat atau lebih, dapat ditambah dengan rifampisin tetapi stretomycin sebaiknya tidak digunakan. Terapi dengan isoniazid mempunyai banyak keuntungan (manjur, murah, dapat diterima penderita) dan merupakan pengobatan yang aman selama kehamilan.

Efek Samping dari tiap-tiap obat tersebut ialah:

a.       Isoniazid : Hepatotoksik maka tes fungsi hati seharusnya dilakukan dan diulang secara periodik.

b.      Reaksi hipersensitif:  Neurotoksik yang sering adalah neuropati perifer yang dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6, selain itu kadang dapat terjadi kejang, neuritis optik dan ataksia, stupor, enselopati toksik yang paling jarang terjadi. Gangguan saluran pencernaan

c.       Rifampisin : Sindrom flu, hepatotoksik

d.      Pyrazinamide : Hepatotoksik, hiperuresemia

e.       Streptomicin : Nefrotoksik, gangguan N.VIII kranial

f.       Ethambutol : Neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis

g.      Etionamid : Hepatotoksik, gangguan saluran cerna, teratogenik

h.      P.A.S : Hepatotoksis dan gangguan saluran cerna.

Evaluasi pengobatan :

a.      Klinis : Biasanya penderita dikontrol setiap minggu selama 2 minggu, selanjutnya setiap 2 minggu selama sebulan sampai akhir pnegobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan penderita seperti : batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah.

b.      Bakteriologis : Biasanya estela 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai jadi negatif. Pemeriksaan control sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksa sedikitnya sampai 3x berturut-turut bebas kuman. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, dimana sputum BTA positif dan tanpa keluhan yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi, yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi tuberkulosisnya. Bila bakteriologis ada perbaikan, tetapi klinis dan radiologis, harus dicurigai adanya penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Bila klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal penderita sudah diobati dengan dosis adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada penderita tersebut.

 

2.      Penatalaksanaan TBC dalam persalinan.

a.       Bila proses tenang, persalinan akan berjalan seperti biasa, dan tidak perlu tindakan apa-apa.

b.      Bila proses aktif, kala I dan II diusahakan mungkin. Pada kala I, ibu hamil diberi obat-obat penenang dan analgetik dosis rendah. Kala II diperpendek dengan ekstraksi vakum/forceps.

c.       Bila ada indikasi obstetrik untuk sectio caesarea, hal ini dilakukan dengan bekerja sama dengan ahli anestesi untuk memperoleh anestesi mana yang terbaik.

 

3.      Penanganan tuberkulosis dalam masa nifas

a.       Usahakan jangan terjadi perdarahan banyak : diberi uterotonika dan koagulasia.

b.      Usahakan mencegah adanya infeksi tambahan dengan memberikan antibiotika yang cukup.

c.       Bila ada anemia sebaiknya diberikan tranfusi darah, agar daya tahan ibu kuat terhadap infeksi sekunder.

d.      Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila jumlah anak sudah cukup, segera dilakukan tubektomi.

 


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)