Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah Persalinan Preterm (Prematur)

 

Makalah Persalinan Preterm/Prematur

  

A.    Definisi Persalinan Prematur

Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu (Alston, 2013). 

Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013) membagi persalinan prematur menjadi tiga kategori berdasarkan umur kehamilan, yaitu:

a.         extremely preterm bila kurang dari 28 minggu

b.        very preterm bila kurang dari 32 minggu

c.         moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu

 

B.     Patogenesis Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat terjadi secara spontan atau karena ada indikasi. Persalinan prematur secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban yang masih intak atau karena ketuban pecah dini (preterm premature rupture of fetal membranes). Persalinan prematur atas indikasi bisa tejadi karena kondisi yang terjadi pada ibu ataupun janin. Kondisi pada ibu yang sering menginduksi adalah kejadian preeklampsia, plasenta previa sedangkan pada janin adalah karena pertumbuhan janin terhambat. Namun, kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur yang terjadi, 25% terjadi atas indikasi dan 75% terjadi secara spontan dimana 45% dengan selaput ketuban yang masih intak dan 30% dengan kasus ketuban pecah dini (Romero, 2012).

Proses persalinan aterm dan prematur pada dasarnya adalah sama, perbedaannya hanya pada usia kehamilan. Mekanisme umum persalinan yaitu adanya kontraksi uterus, pendataran serviks, dan ketuban pecah. Perbedaan yang paling mendasar antara persalinan aterm dan prematur adalah persalinan aterm terjadi sebagai hasil proses fisiologis dari mekanisme umum persalinan sedangkan persalinan prematur sebagai hasil proses patologis yang mengaktifkan salah satu atau lebih komponen dari mekanisme umum persalinan (Romero, 2012)

Mekanisme umum persalinan pada persalinan aterm ataupun prematur melibatkan psoses anatomik, biokimia, imunologi, endokrin, dan hal klinis pada ibu dan janin. Banyak klinisi lebih menekankan pada komponen uterus meliputi kontraksi miometrium, dilatasi serviks, dan pecahnya ketuban. Namun, dapat terjadi perubahan sistemik seperti peningkatan kadar Corticotropin Releasinng Hormone (CRH) di plasma (Romero, 2012).

Keseluruhan aktivasi mekanisme persalinan dipicu oleh suatu sinyal. Prostaglandin dipertimbangkan sebagai kunci dalam onset persalinan karena dapat memicu kontraksi miometrium, perubahan matrix ekstraselular yang berhubungan dengan pendataran serviks dan aktivasi membran desidua (Romero, 2012)

Menurut Prawirohardjo (2011), kasus persalinan prematur dapat terjadi sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu:

1.        Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin, akibat stress pada ibu atau janin.

2.        Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asendens dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik.

3.        Perdarahan desidua

4.        Peregangan uterus patologik

5.        Kelainan pada uterus atau serviks

 

C.    Penyebab Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat disebabkan oleh banyak faktor. Cunningham, et.al., (2011) menyatakan bahwa penyebab persalinan prematur dapat dibagi menjadi:

1.    Komplikasi medis dan obstetrik

Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan prematur disebabkan oleh halhal yang berkaitan dengan komplikasi medis atau obstetrik tertentu misalnya pada kasus-kasus perdarahan antepartum atau hipertensi dalam kehamilan yang sebagian besar memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm. Akan tetapi, 2/3 dari kejadian persalinan prematur tidak diketahui secara jelas penyebabnya karena persalinan prematur pada kelompok ini terjadi persalinan yang spontan atau idiopatik (Feryanto, 2011).

2.    Faktor gaya hidup

Perilaku seperti merokok, gizi buruk, penambahan berat badan yang kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti kokain atau alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian prematur dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah (Cunningham et al, 2011).  Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan dengan kelahiran prematur melainkan dengan peningkatan cedera otak pada bayi yang lahir prematur. Konsumsi alkohol yang berlebihan selama kehamilan dapat memengaruhi perkembangan fetus dan harapan hidup neonatus. Wanita yang mengonsumsi alkohol lebih dari satu gelas per hari dapat meningkatkan risiko persalinan prematur sementara jika mengosumsi akohol kurang dari 4 gelas tiap miggu tidak memberikan efek meningkatkan risiko persalinan premature (Offiah, Donoghue, dan Kenny, 2012).

Faktor usia juga diduga berhubungan dengan kejadian persalinan prematur. Wanita usia muda cenderung mempunyai pasangan seksual yang lebih banyak dan infeksi pada vagina, sementara wanita usia yang lebih tua cenderung mengalami kontaksi uterus yang irregular, seperti mioma (Chalermchockcharoenkit, 2012).

3.    Faktor genetik

Kelahiran prematur juga diduga sebagai suatu proses yang terjadi secara familial karena sifat persalinan prematur yang berulang dan prevalensinya yang berbeda-beda antar ras (Cunningham et al, 2011).

4.    Infeksi cairan amnion dan korion

Infeksi koriamnion yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme telah muncul sebagai penyebab kasus pecah ketuban dini dan persalinan prematur. Proses persalinan aterm diawali dengan aktivasi dari fosfolipase A2 (PLA-2) yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin sehingga meningkatkan penyediaan asam arakidonat benas untuk sintesis prostaglandin. Banyak mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipase A2 sehingga mencetuskan persalinan prematur. Endotoksin bakteri (liposakarida) dalam cairan amnion merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan prostaglandin yang memicu persalinan (Cunningham, 2011). Drife dan Magowan dalam Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa proses persalinan prematur yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin termasuk interleukin-1, tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin 6 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan prematur. Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian janin memerankan peran sinergik dalam mengawali proses persalinan prematur yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan membran

melalui pengaruh langsung dari protease.

Sedangkan Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa kondisi yang terjadi selama kehamilan dapat berisiko terhadap kejadian persalinan prematur yang dibagi dalam dua faktor, yaitu:

1.      Janin dan plasenta

a.         perdarahan trimester awal

b.        perdarahan antepartum (plasenta previa, solution plasenta, vasa previa)

c.         ketuban pecah dini (KPD)

d.        pertumbuhan janin terhambat

e.         cacat bawaan janin

f.         kehamilan ganda/gemeli

g.        polihidramnion

 

2.      Ibu

a.         penyakit berat pada ibu

b.        diabetes mellitus

c.         preeklamsia/hipertensi

d.        infeksi saluran kemih/genital/intrauterin

e.         penyakit infeksi dengan demam

f.         stress psikologik

g.        kelainan bentuk uterus/serviks

h.        riwayat persalinan prematur/abortus berulang

i.          inkompetensia serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)

j.          pemakaian obat narkotia

k.        trauma perokok berat

l.          kelainan imunologik/kelainan resus

 

D.    Dampak Persalinan Prematur

Permasalahan pada persalinan prematur bukan saja pada kematian perinatal, melainkan bayi prematur sering disertai kelainan, baik kelainan jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intra/periventrikular, NEC (Necrotizing Entero Cilitis), displasi bronko-pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang sering berupa serebral palsi,retinopati, retardasi mental, juga dapat berupa disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik (Prawirohardjo, 2011).

Bayi yang lahir sebelum 32 minggu memiliki risiko yang sangat besar akan kematian dan kesehatan yang buruk di masa kehidupannya, begitu juga dengan bayi yang lahir di antara 32 sampai 36 minggu masih tetap memiliki masalah kesehatan dan perkembangan dibandingkan bayi yang dilahirkan cukup bulan (Institute of Medicine, 2006).

Komplikasi pada persalinan prematur terjadi karena sistem organ yang masih imatur yang masih belum siap untuk mendukung kehidupan di lingkungan ekstrauterin. Inflamasi dan pengeluaran sitokin yang mencetuskan parsalinan prematur diduga sebagai patogenesis chronic lung disease, NEC(Necrotizing Entero Cilitis), ROP(Rethinopathy of Prematurity), dan kerusakan pada brain white matter ( Behrman dan Butler, 2007)

 

E.     Diagnosis Persalinan Prematur

Diagnosis persalinan prematur adalah salah satu hal yang sulit. Diagnosis persalinan prematur didasarkan pada pemeriksaan klinis dari kontraksi uterus dan perubahan seviks. Keadaan yang lebih sulit adalah ketika pasien mengalami kontraksi yang regular tetapi dengan dilatasi serviks yang minimal. Bila pasien dengan usia kehamilan di bawah 37 minggu, kontraksi uterus yang regular dengan dilatasi serviks 3 cm dan penipisan 80%, dipertimbangkan mengalami persalinan prematur tanpa menunggu perubahan serviks (Chalermchockcharoenkit, 2012).

Menurut Prawirohardjo (2011), sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan prematur. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan prematur, yaitu:

a.         kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit

b.        adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)

c.         perdarahan bercak

d.        perasaan menekan pada daerah serviks

e.         pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm dan penipisan 50-80%

f.         presentasi janin rendah sampai mencapai spina isiadika

g.        selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan prematur

h.        terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu Menurut Prawirohardjo (2011), beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan terjadinya persalinan prematur, yaitu sebagai berikut:

1)      Indikator klinik

Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan prematur

2)      Indikator laboratorik

Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah jumlah leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7 mg/ml), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/ml)

3)      Indikator biokimia

Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks, dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antar korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50ng/ml atau lebih mengindikasikan risiko persalianan prematur.

4)      Corticotropin Releasing Hormone (CRH): peningkatan CRH dini atau pada trimester 2 merupakan indikator kuat untyk terjadinya persalinan premature.

5)      Sitokin inflamasi: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin sebanyak 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8±53 U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan prematur.

6)      Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitive untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan berbagai keadaan fase akut termasuk kondisi inflamasi.


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)