Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah Korioamnionitis (Infeksi Intrauterin Dalam Kehamilan)

 


Makalah Korioamnionitis (Infeksi Intrauterin Dalam Kehamilan)

 

A.    Defenisi Korioamnionitis

Korion adalah salah satu membran yang ada selama kehamilan antara janin dan ibu. Korion ini dibentuk oleh mesoderm ekstraembrionik dan dua lapisan trofoblas. Korion mengelilingi embrio dan membran lainnya. Vili korionik muncul dari korion, menyelusup ke dalam endometrium, dan memungkinkan transfer nutrisi dari darah ibu ke darah janin. (Cunningham, 2006)

Amnion adalah membran pembentuk kantung ketuban yang mengelilingi dan melindungi embrio. Peran utamanya adalah melindungi perkembangan embrio. Amnion berasal dari mesoderm somatik ekstraembrionik pada sisi luarnya dan ektoderm ekstraembrionik pada sisi dalamnya. (Cunningham, 2006)

Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membran fetalis beserta cairan amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus preterm. (Sarwono, 2010)

Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitis tersamar (“silent”), yang disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna. Secara spesifik , sepsis neonatus, distress pernapasan, perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis. (Leveno J. 2009)

B.     Etiologi

Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintesis transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak. (Tita, Alan, 2010)

Sebabnya terjadi akibat infeksi asenden, bakteri yang sering menimbulkan : Jenis bakterioides, jenis prevotella, streptokokus grup B, escherichia coli, virus-hematogen-transplasenta. ( Manuaba. 2007)

Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1-2 % Faktor resiko terjadinya korioamninitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah lama. Mycoplasma genital, seperti ureaplasma urealyticum dan mycoplasma hominis (genital mycoplasma), organisme ini memicu efek reaksi inflamasi mempengaruhi ibu dan fetus khususnya pada umur kehamilan preterm. Biasanya organisme ini terisolasi dalam cairan amnion pada persalinan preterm atau pada ketuban pecah dini tanpa tanda-tanda korioamnionitis. Genital mycoplasma ditemukan pada traktus genital bawah (vagina atau servik) sedangkan keberadaannya di traktus genital atas (uterus dan atau tuba falopi) dan korioamnion sangat jarang terjadi (<5%) pada saat tidak saat bersalin atau ketuban pecah. (Tita, Alan, 2010)

Bakteri anaerob lainnya yang dapat menyebabkan korioamnionitis seperti Gardnerella vaginalis dan bacteroides, bakteri aerob lainnya termasuk Group B Streptococcus (GBS 15 %) dan bakteri gram negatif termasuk Escherichia coli. Organisme-organisme ini merupakan flora normal vagina dan flora normal enterik. Biasanya korioamnionitis disebabkan oleh penyebaran secara hematogen ke placenta karena bakteri dan virus. (Tita, Alan, 2010)

 

 

C.    Patofisiologi

Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya disebabkan oleh  infeksi secara retrograde atau ascending  dari traktus genitalia bawah (cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan infeksi iatrogenic karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik villous jarang menimbulkan infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via tuba falopi. Adanya infeksi dari mikroorganisme memicu respon inflamasi dari maternal dan fetal sehingga melepaskan kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan chemokines dari ibu dan janinnya. Respon inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda korioamnionitis dan atau dapat memicu pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan membrane dan persalinan aterm atau preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus, respon inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan pada serebral pada white matter, yang akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan neurological jangka pendek dan jangka panjang lainnya. (Tita, Alan, 2010)

Mekanisme pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi intramnion, namun mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam pencegahan infeksi. Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang terdapat di placenta dan membrannya memberikan perlindungan barier untuk mencegah infeksi dari carian amnion dan fetus. Lactobacillus yang memproduksi peroxide dan berkoloni di jalan lahir yang merupakan flora normal juga dapat menahan virulensi mikroorganisme pathogen. (Tita, Alan, 2010)

Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang menghubungkan antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang koriodesidua, yang memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan mengakitivasi desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang diantaranya tumor nekrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6, interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan eksotoksin akan menstimulasi sintesis prostaglandin yang akan terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya. Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara metaloprotease akan menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran. Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan terjadinya perlunakan serviks (Alexander,2009).

Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin berupa peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar prostaglandin (Alexander,2009).).

 

D.    Manifestasi Klinik

Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan ultrasound dan kardiotokografi. (Sarwono, 2010)

Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 38 celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada ibu selama persalinan atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh korioamnionitis kecuali dibuktikan lain. Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan janin, lokia berbau busuk, dan nyeri tekan fundus. Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis korioamnionitis. (Tita, Alan, 2010)

E.     Pemeriksaan Penunjang

Dasar diagnosis korioamnionitis

1.      Perut tegang dan tersa nyeri dan nyeri tekan

2.      Ibu hamil dan janin mengalami takikardi

3.      Gejala infeksi umumnya: demam, dapat disertai mual muntah

4.      Cairan yang dikeluarkan: mikropurulen, berbau

5.      Pemeriksaan laboratorium: leukositosis, pewarnaan gram bakterimultiform memberikan hasil positif, kultur pertumbuhan bakteri jamak.  (Manuaba. 2007)

Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan).  Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, dan memperediksi kematangan paru. (Tita, Alan, 2010)

 

F.     Penatalaksanaan

Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik, dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di vagina dan serviks. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau 5mg/kgBB/hari. Klinadamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin. Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum. (Levono, Kenneth,2009)

Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi persalinan. Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini akan mencegah / menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding uterus. (Tita, Alan, 2010) 

 

G.    Pencegahan

Manajemen dari Preterm Premature Rupture Membrane (PPROM)  adalah penyebab utama terjadinya korioamnionitis. Pemberian antibiotik profilaksis atau latency, biasanya ampicillin dan eritromisin telah diuji dalam menurunkan angka kematian neonatus, penyakit paru kronis,atau hasil ultrasound cerebral yang abnormal. Antibiotic telah menunjukkan menurunkaninsiden korioamnionitis dan sepsis neonatus dan pada persalinan dengan partus lama dengan ketuban pecah dini kecuali pada persalinan fase aktif dengan ketuban utuh. Amoksisilin / klavulanik kombinasi antibiotic harus dihindari untuk indikasi ini karena potensial meningkatkan resiko necrotizing enterocolitis. (Tita, Alan, 2009)

Percobaan lain besar yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional dan Pembangunan Manusia Maternal-Fetal Medicine Unit (NICHD MFMU) jaringan di akhir 1990-an menyarankan untuk memberi eritromisin dalam mengurangi hasil perinatal yang merugikan termasuk kematian perinatal dan morbiditas serta infeksi maternal. Tidak ada tindak lanjut jangka panjang dari studi ini. Standar yang biasa di AS tetap memberikan antibiotik spektrum luas biasanya melibatkan makrolida (eritromisin atau azitromisin) dan ampisilin selama 7-10 hari melalui intravena (2 hari) diikuti oleh rute oral. Induksi persalinan dan kelahiran dini untuk PPROM setelah usia kehamilan 34 minggu dianjurkan, karena dibandingkan dengan manajemen infeksi saat masih hamil, melahirkan dengan cepat dapat mengurangi infeksi ibu dan  mengurangi perawatan intensif pada neonatal tanpa meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. (Tita, Alan, 2009)

Namun kini sedang berlangsung uji coba untuk mengetahui manfaat dari induksi persalinan sebelum 37 minggu dalam kasus PPROM. Pada ketuban pecah dini (> 18 jam), antibiotik profilaksis tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada ibu yang tidak terinfeksi GBS, namun CDC merekomendasikan terapi profilaksis untuk GBS jika status GBS tidak diketahui. Dalam salah satu uji coba secara acak penggunaan antibiotik profilaksis intrapartum (ampisilin / sulbaktam) pada ibu hamil dengan air ketuban bercampur mekonium, dapat menurunkan risiko korioamnionitis. (Tita, Alan, 2009)

 

H.    Komplikasi

1.      Komplikasi Maternal

Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang terjadi. (Tita, Alan, 2010)

 

2.      Komplikasi Fetus

Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins, TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular  dan cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma genital (U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem inflamasi, pneumonia. (Tita, Alan, 2009)

 

3.      Komplikasi jangka panjang untuk neonatus

Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy. (Tita, Alan, 2010)

 


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)