Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah HIV Dalam Kehamilan, Persalinan Dan Nifas

 


HIV DALAM KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

 

A.    Definisi

HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Kausa sindrom imunodefisiensi ini adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2 (Cunningham, 2006).

Kehamilan merupakan masa yang dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari). Kehamilan ini dibagi atas 3 semester yaitu; kehamilan trimester pertama mulai 0-14 minggu, kehamilan trimester kedua mulai mulai 14-28 minggu, dan kehamilan trimester ketiga mulai 28-42 minggu (Yuli, 2017).

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri). Proses ini dimulai dengan adanya kontraksi persalinan sejati, yang ditandai dengan adanya kontraksi persalinan sejati, yang ditandai dengan perubahan serviks secara progsesif dan diakhiri dengan kelahiran plasenta. (Sulistyawati, 2012).

Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hami. Masa nifas berlangsung kira-kira 6 minggu. (Rukiyah Y. A, 2010)

 

B.     Etiologi HIV/AIDS

Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A sampai J dan subtipe yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase (Maslow S, 1995).

 

C.    Faktor Resiko

Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi:

1.      Faktor ibu dan bayi

a.       Faktor ibu

Kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.

b.      Faktor bayi antara lain:

1)      Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,

2)      Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, dan

3)      Bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.

2.      Faktor cara penularan (Obstetrik)

a.       Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi.

b.      Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.

c.       Persalinan yang berlangsung lama.

d.      Ketuban pecah lebih dari 4 jam.

e.       Penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan tindakan episiotomi

f.       Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran dari pada ASI.

Tabel 1. Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi

Masa Kehamilan

Masa Persalinan

Masa Nifas

Ibu baru terifeksi HIV

Ibu baru terinfeksi HIV

Ibu baru terinfeksi HIV

Ibu memiliki infeksi virus, bakteri, parasit.

Ibu mengalami pecah ketuban lebih dari 4 jam sebelum persalinan.

Ibu memberikan ASI dalam periode yang lama.

Ibu memiliki infeksi menular seksual.

Terdapat tindakan medis yang dapat meningkatkan kontak dengan darah ibu atau cairan tubuh ibu (seperti penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan episiotomi).

Ibu memberikan makanan campuran (mixed feeding) untuk bayi.

Ibu menderita kekurangan gizi.

Bayi merupakan janin pertama dari suatu kehamilan ganda (karena lebih dekat dengan leher rahim/serviks)

Ibu memiliki masalah pada payudara, seperti mastitis, abses, luka di puting payudara.

Ibu memiliki korioamniositis (dan IMS yang tak diobati atau infeksi lainnya).

Bayi memiliki luka di mulut.

 

D.    Transmisi Vertikal HIV Pada Kehamilan

Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, 24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif (Yunihastuti, 2003).

Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang terinfeksi HIV. Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil (Volderding, 1995).

Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 200 (McFarland, 2003).

Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1.Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/ infeksi awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif (McFarland, 2003).

Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV.

Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:

1.      Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama kehamilan.

2.      Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.

3.      Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.

4.      Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.

 

E.     Transmisi Vertikal HIV Pada Persalinan

Transmisi intrapartum/ infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui. Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal. Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi. Kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya (McFarland, 2003).

Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.

Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan adalah:

1.      Lama robeknya membran.

2.      Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya).

3.      Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya, episiotomi.

4.      Anak pertama dalam kelahiran kembar.

 

F.     Transmisi Vertikal HIV Pada Masa Nifas

Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air susu ibu. HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya.

Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu, defisiensi vitamin A. Kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi.

Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari:

1.      Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran.

2.      Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara lainnya.

3.      Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.

4.      Status gizi ibu yang buruk.

 

G.    Diagnosis Infeksi HIV

Diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :

1.      Lahir dengan ibu resiko tinggi.

2.      Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.

3.      Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa uji HIV.

4.      Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)

5.      Homoseksual atau biseksual.

6.      Kebiasaan seksual yang keliru.

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya (Suwendra, 2001).

Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada beberapa kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negatif), bila wanita itu diuji pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan serokonversi (Maslow, 1995).

Sedangkan pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah (Yunihastuti, dkk, 2003).

Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif (McFarland, 2003).

Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metode ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya digunakan untuk skrining darah donor dan pemeriksan darah kelompok risiko tinggi. Pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, tes ini efektif dilakukan pada bayi yang berusia 18 bulan keatas. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 tes yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metode Western Blot. Penggabungan tes ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan lainnya yaitu:

1.      VCT (Voluntary Counseling Testing)

VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga , dan lingkungannya. Tujuan VCT.

a.       Upaya pencegahan HIV/AIDS.

b.      Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV

c.       Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat

2.      Pemerikasaan Laboratorium

a.       Tes serologis: tes antibodi serum terdiri dari skrining HIV dan ELISA;
tes blot western untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV ; penurunan sel T limfosit; jumlah sel T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai polymerase untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler; serta tes PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis, CMV mungkin positif).

b.      Pemeriksaan histologis, sitologis urin ,darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi.

c.       Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.

d.      Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCV tahap lanjut atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk deteksi awal pneumonia interstisial; Scan gallium; biopsy; branskokopi.

3.      Tes Antibodi

a.       Tes ELISA, untuk menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV.

b.      Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali antibodi HIV dan memastikan seropositifitas HIV.

c.       Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot untuk memastikan seropositifitas.

d.      Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.

4.      Pendeteksian HIV

Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat rendah. Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif untuk mengevaluasi efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus (viral burden).

 

H.    Penatalaksanaan Dalam Kehamilan

Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak. Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIVAIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus (McFarland, 2003).

Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine (Maslow, 1995).

Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu (McFarland, 2003).

Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin.Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin.Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin dan stavudin. Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan (McFarland, 2003).

 

Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus. Rekomendasi ini tidak berbeda dengan yang direkomendasikan British HIV Association. Rekomendasi yang dianjurkan yaitu :

1.      Situasi kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum pernah menggunakan antiretrovirus sebelumnya.

Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan klinis, imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi dan pemilihan antiretrovirus sama dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil dengan pertimbangan efek terhadap kehamilan. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang pada trimester pertama kehamilan, pemberian antiretrovirus dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.

2.      Situasi Kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang mendapatkan antiretrovirus.

Rekomendasi: Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi antiretrovirus sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan zidovudin. Jika kehamilan diketahui pada trimester pertama, wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko antiretrovirus pada trimester pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV–AIDS memilih menghentikan antiretrovirus selama trimester pertama, semua obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara simultan setelah trimester pertama untuk mencegah resistensi obat. Tanpa mempertimbangkan regimen sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk diberikan selama intrapartum dan pada bayi.

3.      Situasi Kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada saat persalinan dan belum mendapat antiretrovirus.

Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang dianjurkan :

a.       Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi pada usia 48 jam;

b.      Zidovudin dan lamivudin oral pada persalinan, diikuti zidovudin/ lamivudin pada bayi selama seminggu;

c.       Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu;

d.      Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama persalinan diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu.

e.       Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus akan dilanjutkan.

4.      Situasi Kehamilan: Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang setelah persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan atau intrapartum.

Rekomendasi: Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu, dimulai secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran (McFarland, 2003).

 

I.       Penatalaksanaan Dalam Persalinan

Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus pervaginam. Persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV (Volderding, 1995).

Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan resiko transmisi intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS. Salah satunya adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi resiko transmisi partus pervaginam. Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah:

1.      Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan ada sebelum persalinan.

Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi antiretrovirus seperti regimen PACTG 076. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4.

2.      Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL pada minggu ke 36 kehamilan.

Rekomendasi: Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi, dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.

3.      Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.

Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi seksio.

4.      Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau setelah ketuban pecah.

Rekomendasi: Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode kepala, monitor invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.

 

J.      Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi

HIV adalah virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. (Ngwende, Stella, 2013)

Seperti diuraikan di atas, ART telah terbukti telah memainkan peran penting dalam menurunkan tingkat PMTCT dan di mana pedoman ada yang merekomendasikan, berdasarkan bukti, bahwa semua wanita hamil HIV positif harus sudah mulai ART pada minggu 24 kehamilan mereka, infeksi HIV di kalangan anak-anak meningkat jika jumlah CD4 ibu adalah ≤200 sel / uL dan jika anak itu terkena makan campuran. ASI eksklusif selama kurang dari enam bulan adalah pelindung. Direkomendasikan periode pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan berhenti menyusui setelah 6 bulan jika terjangkau, berkelanjutan dan aman. (Ngwende, Stella, 2013)

Sebagaimana telah kita lihat di atas, seorang wanita hamil yang positif HIV risiko menularkan virus kepada anaknya dalam rahim. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, ada berbagai langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko penularan. Ini termasuk ART menjalani dan pengiriman tepat. Namun, agar pengobatan yang tepat akan tersedia, tenaga profesional kesehatan perlu mengetahui status HIV dari ibu. Oleh karena itu, seperti diuraikan di atas, tes HIV antenatal telah menjadi bagian penting dalam proses mengurangi HIV ini termasuk dalam 14 standar T diantaranya adalah tes PMS. Sebagai seorang Bidan kita harus bisa melakukan deteksi dini terutama kepada ibu hamil yang beresiko tinggi untuk mengidap infeksi menular seksual. (Pantiawati, 2010)

Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:

1.      Prong 1: Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

a.       Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.

b.      Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV dan AIDS, dan penyakit IMS dan di dalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV dan AIDS dikalangan remaja semakin baik.

c.       Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:

Ø  A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah;

Ø  B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan);

Ø  C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom;

Ø  D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba(Kemenkes, 2012).

Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain:

a.       Menyebarluaskan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang HIV dan AIDS dan Kesehatan Reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk:

Ø  Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV dan IMS

Ø  Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini mungkin

Ø  Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tata laksana ODHA perempuan

Ø  Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS

Sebaiknya, pesan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak juga disampaikan kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV. Informasi tentang Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak juga penting disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu dengan HIV dan keluarganya semakin kuat (Kemenkes, 2012).

b.      Mobilisasi masyarakat

Ø  Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), atau posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan .

Ø  Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril

Ø  Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi

c.       Layanan tes HIV

Konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang merupakan komponen penting dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah dilakukan dengan memperhatikan 3 C yaitu Counselling, Confidentiality, dan informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui:

Ø  HIV positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya

Ø  HIV negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap HIV negatif

Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan strategi Layanan Komprehensif Berkesinambungan, agar:

Ø  Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan AIDS;

Ø  Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini mungkin.

Ø  Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan AIDS.

Ø  Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan melakukan pemeriksaan IMS, termasuk tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil (inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu).

Ø  Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil yang dites (couple conselling);

Ø  Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan tes HIV;

Ø  Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya;

Ø  Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki;

Ø  Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin;

Ø  Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV dan AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana;

Ø  Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan.

d.      Dukungan untuk perempuan yang HIV negatif

Ø  Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV negatif;

Ø  Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV;

Ø  Membuat pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga mudah dan dapat diakses oleh suami/pasangan ibu hamil;

Ø  Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat kunjungan ke layanan KIA;

Ø  Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri/ pasangannya tentang perilaku seksual yang aman;

Ø  Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman, dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya sendiri;

Ø  Menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah penularan HIV.

 

2.      Prong 2: Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV

Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang dikandungnya jika hamil.Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi.

a.       Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontrasepsi yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV dan IMS.

b.      Perempuan dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan tetap menggunakan kondom.

Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima ARV seumur hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV di tubuhnya menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV dari ibu ke anak menjadi kecil, artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada pasangannya. Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain:

a.       Mengadakan KIE tentang HIV dan AIDS dan perilaku seks aman;

b.      Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;

c.       Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;

d.      Melakukan promosi penggunaan kondom;

e.       Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;

f.       Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin merencanakan kehamilan.

 

3.      Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya

Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut:

a.       Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;

b.      Diagnosis HIV

c.       Pemberian terapi antiretroviral;

d.      Persalinan yang aman;

e.       Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;

f.       Menunda dan mengatur kehamilan;

g.      Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;

h.      Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.

Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu ke bayi (preventing mother-to-child transmission/ PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:

a.       ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4+ di bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.

b.      Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.

c.       Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak menyusui.

d.      Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.

e.       Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.

Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.

Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya membuat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada perempuan.

Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan, pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai obat antiretroviral harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif. Dalam hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting.

 

4.      Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada Ibu dengan HIV beserta Anak danKeluarganya

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan.Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan psikologis, sosialdan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapimasalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaanstatus HIV ibu sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dankeluarganya.Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara lain:

a.       Pengobatan ARV jangka panjang

b.      Pengobatan gejala penyakitnya

c.       Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4dan viral load)

d.      Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan

e.       Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi

f.       Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.

g.      Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV danpencegahannya

h.      Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat

i.        Kunjungan ke rumah (home visit)

j.        Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV

k.      Adanya pendamping saat sedang dirawat

l.        Dukungan dari pasangan

m.    Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga

n.      Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak

o.      Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya.

 


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)