Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah Sistem Rujukan, Konseling Rujukan Serta Rujukan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal

 


 Rujukan medic yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu kasus yang timbul baik secara vertical maupun horizontal kepada yang lebih berwenangdan mampu menangani secara rasional. 

A.    Sistem Rujukan

1.      Pengertian

Suatu sistem pelayanan kesehatan dimana terjadi pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul baik secara vertical (komunikasi antara unit yang sederajat) maupun secara horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah).

Pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan lain secara horizontal maupun vertical.

 

2.      Tujuan Rujukan

-          Tujuan rujukan adalah dihasilkannya pemerataan upaya kesehatan dalam rangka penyelesaian masalah kesehatan secara berdaya dan berhasil guna

-          Tujuan system rujukan adalah Untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu

-          Tujuan system rujukan adalah agar pasien mendapatkan pertolongan pada fasilitas  pelayanan kesehatan yang lebih mampu sehingga jiwanya dapat terselamatkan, dengan demikian dapat menurunkan AKI dan AKB

 

3.      Jenis Rujukan

a.       Rujukan medic yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu kasus yang timbul baik secara vertical maupun horizontal kepada yang lebih berwenangdan mampu menangani secara rasional. Jenis rujukan medic antara lain:

1)      Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluaan diagnostic, pengobatan, tindakan opertif dan lain – lain.

2)      Transfer of specimen. Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lenih lengkap.

3)      Transfer of knowledge / personal. Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu layanan setempat.

b.      Rujukan kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan bahan atau specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini adalah rujukan uang menyangkut masalah kesehatan yang sifatnyapencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini mencakup rujukan teknologi, sarana dan opersional

 

4.      Jenjang Tingkat Tempat Rujukan

Jenjang rujukan adalah sistem tahapan pelayanan kesehatan penerima rujukan berdasarkan skala prioritas atau tingkat kegawatan pasien.

RUMAH SAKIT TIPE A

é

RUMAH SAKIT TIPEC/D

é

RUMAH SAKIT TIPE INAP

é

PUSKESMAS/BP/RB/BKIASWASTA

é

PUSKESMAS PEMBANTU/BIDAN

é

POSYANDU/ KADER/DUKUN BAYI

 

Ketentuan Rujukan Berjenjang

1)      Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:

a.       Pelayanan kesehatan tingkat pertama;

b.      Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

c.       Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

2)      Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.

3)      Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.

4)      Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.

5)      Dalam menjalankan pelayanan kesehatan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundang- undangan yang berlaku

6)      Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.

7)      Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

8)      Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

9)      Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:

a.       pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;

b.      perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.

10)  Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :

a.       permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;

b.      kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut;

c.       pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan/atau

d.      perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.


 

Tata Cara Pelaksanaan System Rujukan Berjenjang

1)      Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis, yaitu:

a.       Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama

b.      Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua

c.       Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.

d.      Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.

2)      Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier

3)      Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

a.       Terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku

b.      Bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah

c.       Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan

d.      Pertimbangan geografis; dan

e.       Pertimbangan ketersediaan fasilitas

4)      Pelayanan oleh bidan dan perawat

a.       Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b.      Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama

5)      Rujukan Parsial

a.       Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.

b.      Rujukan parsial dapat berupa:

Ø  pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan

Ø  pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang

c.       Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk

Pembinaan Dan Pengawasan Sistem Rujukan Berjenjang

a.       Ka Dinkes Kab/Kota dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama.

b.      Ka Dinkes provinsi dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat kedua.

c.       Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

 

5.      Jalur Rujukan

Dalam kaitan ini jalur rujukan untuk kasus gawat darurat dapat dilaksanakan sebagai berikut :

a.       Dari Kader, Dapat langsung merujuk ke :

1)      Puskesmas pembantu

2)      Pondok bersalin / bidan desa

3)      Puskesmas / puskesmas rawat inap

4)      Rumah sakit pemerintah / swasta

b.      Dari Posyandu Dapat langsung merujuk ke :

1)      Puskesmas pembantu

2)      Pondok bersalin / bidan desa

3)      Puskesmas / puskesmas rawat inap

4)      Rumah sakit pemerintah / swasta

c.       Dari Puskesmas Pembantu Dapat langsung merujuk ke rumah sakit tipe D/C atau rumah sakit swasta

d.      Dari Pondok bersalin / Bidan Desa Dapat langsung merujuk ke rumah sakit tipe D/C atau rumah sakit swasta

6.      Mekanisme rujukan

a.       Menetukan kegawatdaruratan pada tingkat kader, bidan desa, pustu dan puskesmas

1)      Pada tingkat Kader

Bila ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat karena mereka belum dapat menetapkan tingkat kegawatdaruratan

2)      Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas

Tenaga kesehatan harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui. Sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk

b.      Menetukan tempat tujuan rujukan

Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai kewenangan terdekat, termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita.

1)      Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya perlu diberikan informasi tentang perlunya pendeerita segera dirujuk mendapatkan pertolongan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu

2)      Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang ditunju melalui telepon atau radio komunikasi pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

3)      Persiapan penderita

Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki terlebih dahulu. Keadaan umum ini perlu dipertahankan selama dalam perjalanan, Surat rujukan harus dipersiapkan si=esuai dengan format rujukan dan seorang bidan harus mendampingi penderita dalam perjalanan sampai ke tempat rujukan.

c.       Pengiriman penderita

Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/ sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita.

d.      Tindak lanjut penderita

1)      Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memerlukan tindak lanjut, dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan.

2)      Bagi penderita yang memerlukan tindak lanjut tapi tidak melapor, maka dilakukan kunjungan rumah.

 

B.     Konseling Rujukan

Dalam konseling rujukan, prinsipnya adalah untuk mengkaji ulang rencana rujukan bersama ibu dan keluarga. Jika perlu dirujuk, siapkan dan sertakan dokumentasi tertulis semua asuhan, perawatan dan hasil penilaian (termasuk partograf) yang telah dilakukan untuk dibawa ke fasilitas rujukan. Jika ibu tidak siap dengan rujukan, lakukan konseling terhadap ibu dan keluarganya tentang rencana tersebut. Bantu mereka membuat rencana rujukan pada saat awal persalinan.

Informasi kegiatan rujukan pasien dibuat oleh petugas kesehatan pengirim dan di catat dalam surat rujukan pasien yang dikirimkan ke dokter tujuan rujukan, yang berisikan antara lain:nomor surat, tanggal dan jam pengiriman, status pasien pemegang kartu Jaminan Kesehatan atau umum, tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien, resume hasil anamnesa, pemeriksaan  fisik,  diagnose, tindakan dan obat yang telah diberikan, termasuk pemeriksaan penunjang, kemajuan pengobatan dan keterangan tambahan yang dipandang perlu.

 

C.    Rujukan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal

Rujukan maternal dan neonatal adalah sistem rujukan yang dikelola secara strategis, proaktif, pragmatis dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi melalui peningkatan mutu dan ketrerjangkauan pelayanan kesehatan internal dan neonatal di wilayah mereka berada (Depkes, 2006).

Sistem rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan Neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan.Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal yang datang ke puskesmas PONED harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.

Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat puskesmas mampu PONED atau dilakukan rujukan ke RS pelayanan obstetrik dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya (Depkes RI, 2007) dengan alur sebagai berikut:

1.      Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal.

2.      Bidan desa dan polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat. Selain menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal, bidan di desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada puskesmas, puskesmas mampu PONED dan RS PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai.

3.      Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang sendiri maupun yang dirujuk oleh kader/dukun/bidan di desa sebelum melakukan rujukan ke puskesmas mampu PONED dan RS PONEK.

4.      Puskesmas mampu PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung kepada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, bidan di desa dan puskesmas. Puskesmas mampu PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada RS PONEK.

5.      RS PONEK 24 jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan PONEK langsung terhadap ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, bidan di desa dan puskesmas, puskesmas mampu PONED.

6.      Pemerintah provinsi/kabupaten melalui kebijakan sesuai dengan tingkat kewenangannya memberikan dukungan secara manajemen, administratif maupun kebijakan anggaran terhadap kelancaran PPGDON (Pertolongan Pertama Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatus)

7.      Ketentuan tentang persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah sehingga deteksi dini kelainan pada persalinan dapat dilakukan lebih awal dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan dan persalinan.

8.      Pokja/ satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama liuntas sektoral ditingkat propinsi dan kabupaten untuk menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan serta kegawatdaruratan yang mungkin timbul oleh karenanya. Dengan penyampaian pesan melalui berbagai instansi/institusi lintas sektoral, maka dapat diharapkan adanya dukungan nyata masyarakat terhadap sistem rujukan PONEK 24 jam.

9.      RS swasta, rumah bersalin, dan dokter/bidam praktek swasta dalam sistem rujukan PONEK 24 jam, puskesmas mampu PONED dan bidan dalam jajaran pelayanan rujukan. Institusi ini diharapkan dapat dikoordinasikan dalam kegiatan pelayanan rujukan PONEK 24 jam sebagai kelengkapan pembinaan pra RS.

Dalam menentukan kegawatdaruratan penderita, pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri oleh keluarga atau kader/dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat, oleh karena itu mereka belum tentu dapat menerapkan ke tingkat kegawatdaruratan. Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas. Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk.

Menurut SKN 2009 tersebut, sistem rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif, sesuai dengan kemampuan dan kewenangan bidan serta fasilitas pelayanan. Setiap kasus dengan kegawatdaruratan maternal dan neonatal yang datang ke Puskesmas PONED (Penanggulangan Obstetri Neonatal Esensial Dasar), harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien (pemberian obat-obatan, pemasangan infus dan pemberian oksigen), kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat puskesmas PONED atau dirujuk ke rumah sakit PONEK (Penanggulangan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif), untuk mendapatkan pelayanan yang lebih sesuai dengan kegawatdaruratannya dalam upaya penyelamatan jiwa ibu dan anak.

Beberapa faktor dapat menjadi sebab terjadinya rujukan terlambat seperti terjadinya komplikasi persalinan, kesulitan pengambilan keputusan (terkait  aspek ekonomi biaya dan transportasi), aspek geografis juga ketersediaan sarana prasarana rumah sakit.

Sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi rujukan darurat dari pemberi rujukan ke penerima rujukan menurut Depkes RI  sebagai berikut :

1.      Tingkat rumah tangga, pada kenyataannya, para keluarga dapat melakukan pencaharian pelayanan langsung ke berbagai pelayanan kesehatan yang ada.

2.      Tingkat masyarakat, dengan jenis pelayanan kesehatan yang dilaksanakan merupakan kediatan swadaya masyarakat dalam rangka menolong diri mereka sendiri.

3.      Tingkat pertama fasilitas pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas, Pustu BP-KIA, dan lain-lain.

4.      Tingkat kedua fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit atau tempat rujukan lain yang lebih tinggi.

Sementara menurut Saifuddin, A.B (Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, 2002), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merujuk kasus gawat darurat meliputi:

1.      Stabilisasi penderita dengan pemberian oksigen, cairan infus intravena, transfusi darah serta obat-obatan. Stabilisasi kondisi penderita dan merujuknya dengan cepat dan tepat sangat penting (essensial) dalam menyelamatkan kasus gawat darurat, tidak peduli jenjang atau tingkat pelayanan kesehatan.

2.      Tata cara untuk memperoleh transportasi dengan cepat bagi kasus gawat darurat harus ada pada setiap tingkat pelayanan kesehatan, sehingga dibutuhkan koordinasi dengan semua komponen.

3.      Penderita harus didampingi oleh tenaga yang terlatih (dokter/ bidan/perawat) sehingga cairan infus intravena dan oksigen dapat terus diberikan. Apabila pasien tidak dapat didampingi oleh tenaga terlatih, maka pendamping harus diberi petunjuk bagaimana menangani cairan intravena dalam perjalanan.

 


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)