Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah Penyakit Tiroid Dalam Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas

 

TIROID DALAM KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

 

2.1  TIROID DALAM KEHAMILAN

A.    Pengertian

Hormon-hormon tiroid yang terdapat di sirkulasi adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3), hanya bentuk bebasnya yang aktif (fT4 dan fT3). Hormon yang lebih penting adalah fT3 karena lebih mempengaruhi metabolisme, dibentuk   di   liver,   ginjal,   dan   otot   dan diubah menjadi fT4 oleh enzim deiodinase. Kebanyakan jaringan termasuk jantung, otak, dan otot memiliki reseptor spesifik fT3 yang dapat mempengaruhi aktivitas metabolik dan seluler. Pada keadaan normal, kelenjar hipofisis anterior memproduksi TSH sebagai umpan balik negatif yang dikendalikan oleh konsentrasi fT3.

Iodin dari sumber makanan penting dalam proses sintesis pembentukan hormon tiroid. Dalam beberapa dekade terakhir disebutkan bahwa kelompok risiko tertinggi kurangnya asupan iodin adalah wanita hamil dan menyusui, serta anak usia kurang dari 2 tahun yang tidak terimplementasi oleh strategi iodisasi garam universal.

Gangguan fungsi tiroid selama periode reproduksi lebih banyak terjadi pada wanita, sehingga tidak mengejutkan jika banyak gangguan tiroid ditemukan pada wanita   hamil1.   Pada   kehamilan,   penyakit tiroid memiliki karakteristik tersendiri dan penanganannya lebih kompleks pada kondisi tertentu. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan gangguan tiroid dan sebaliknya penyakit tiroid dapat pula mempengaruhi kehamilan.2 Seorang klinisi hendaknya memahami perubahan-perubahan fisiologis masa kehamilan dan patofisiologi penyakit tiroid, dapat mengobati secara aman sekaligus menghindari pengobatan yang tidak perlu selama kehamilan.3

 

B.     Hormon Tiroid Pada Kehamilan

Pada janin iodin disuplai melalui plasenta. Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya padahormontiroid(tiroksin) ibuyangmelewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi sebelum 12-14 minggu kehamilan. Tiroksin dari ibu terikat pada reseptor sel-sel otak janin, kemudian diubah secara intraseluler menjadi fT3 yang merupakan proses penting bagi perkembangan otak janin bahkan setelah produksi hormon tiroid janin, janin masih bergantung pada hormon-hormon tiroid ibu, asalkan asupan iodin ibu adekuat.3,6


Empat perubahan penting selama kehamilan3 (Gambar 1):

1.      Waktu paruh tiroksin yang terikat globulin bertambah dari 15 menit menjadi 3 hari dan konsentrasinya menjadi 3 kali lipat saat usia gestasi 20 minggu akibat glikosilasi estrogen.

2.      Hormon hCG dan TSH memiliki reseptor dan subunit alpha yang sama. Pada trimester pertama, sindrom kelebihan hormon bisa muncul, hCG menstimulasi reseptor TSH dan memberi gambaran biomekanik hipertiroid. Hal ini sering terjadi pada kehamilan multipel, penyakit trofoblastik dan hiperemesis gravidarum, dimana konsentrasi hCG total dan subtipe tirotropik meningkat.

3.      Peningkatan laju filtrasi glomerulus dan peningkatan uptake iodin ke dalam kelenjar tiroid yang dikendalikan oleh peningkatan konsentrasi tiroksin total dapat menyebabkan atau memperburuk keadaan defisiensi iodin.

4.      Tiga hormon deiodinase mengontrol metabolisme T4 menjadi fT3 yang lebih aktif dan pemecahannya menjadi komponen inaktif. Konsentrasi deiodinase III meningkat di plasenta dengan adanya kehamilan, melepaskan iodin jika perlu untuk transpor ke janin, dan jika mungkin berperan dalam penurunan transfer tiroksin.

 

C.    Hipotiroid Dan Efeknya Pada Kehamilan

Hormon-hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan saraf selama awal kehamilan. Wanita hamil dan menyusui memerlukan iodin tambahan. Beberapa makanan segar mengandung iodin (Tabel 1). Dosis yang dianjurkan adalah 250 mikrogram per hari. Defisiensi iodin berat, jika tidak diobati dengan baik, merupakan penyebab kerusakan neurologis di seluruh dunia.2 Sejak tahun 1994, WHO dan UNICEF telah merekomendasikan Iodisasi Garam Universal sebagai strategi yang aman, murah, dan efektif untuk memastikan cakupan iodin yang diperlukan bagi semua individu.1  Hipotiroid, baik bermakna maupun subklinis (kadar TSH melebihi batas atas dengan kadar fT4 yang normal), memiliki efek selama kehamilan dan juga pada perkembangan janin. Perbedaan sedikit saja pada konsentrasi hormon tiroid selama kehamilan dapat menyebabkan

Gambar 1 Pengaruh hormon tiroid pada perkembangan neurologis janin dan waktu terjadinya beberapa tingkat perkembangan yang penting perubahan signifikan kecerdasan anak. Kadar hormon tiroid yang rendah selama kehamilan dapat menyebabkan keterlambatan fungsi kognitif verbal dan nonverbal pada masa awal kanak-kanak, defek psikomotorik, dan bahkan retardasi mental.

Hipotiroid yang tidak terdiagnosis hingga trimester pertama, berisiko tinggi penurunan fungsi  intelektual  dan  kognitif  bagi  anak2. Hipotiroid berat pada ibu berhubungan dengan kerusakan perkembangan intelektual anak diduga akibat suplai transplasenta yang tidak adekuat selama kehamilan. Hipotiroksinemia pada ibu terbukti dapat meningkatkan risiko keterlambatan fungsi kognitif verbal dan nonverbal pada saat usia awal anak-anak. Kadar TSH ibu pada awal kehamilan tidak berhubungan dengan efek keterlambatan fungsi kognitif pada anak walaupun merupakan indikator kurangnya fungsi tiroid ibu selama kehamilan.

Selain itu, terdapat hubungan antara hipotiroid dengan penurunan fertilitas. Wanita hamil yang hipotiroid memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi obstetrik seperti abortus, lahir mati, anemia, hipertensi dalam kehamilan, solusio plasenta, perdarahan post partum, dan hipertensi dalam kehamilan.6,8 Penelitian menunjukkan bahwa preeklamsia pada nulipara berhubungan dengan risiko hipotiroid subklinis pada kehamilan dan juga wanita dengan preeklamisa memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi hipotiroid beberapa tahun setelah preeklamsia.9 Walaupun risiko hipotiroid subklinis belum pasti, terapi pengganti dalam kondisi tersebut tetap dianjurkan. Dosis pengganti ditambahkan pada awal kehamilan, dan kondisi eutiroid harus dipertahankan seterusnya. Jenis makanan yang kaya iodin antara lain ikan air laut (memiliki kandungan iodin 6 kali lebih besar daripada ikan air tawar), produk susu, dan juga telur.

 

D.    Pengobatan Hipotiroid Pada Kehamilan

Levotiroksin adalah terapi pilihan jika status nutrisi iodin tidak adekuat. Wanita hamil hipotiroid memerlukan dosis tiroksin lebih besar, dan wanita yang sudah menerima terapi tiroksin sebelum hamil memerlukan peningkatan dosis harian, biasanya 30-50% di atas dosis sebelum konsepsi. Pengobatan sebaiknya dimulai dengan dosis 100-150 mikrogram per hari atau 1,7-2,0 mikrogram per kg beratbadan saat tidak hamil, dengan peningkatan dosis hingga 2,0-2,4 mikrogram per kg beratbadan saat hamil. Kadar serum fT4 dan TSH sebaiknya diukur 1 bulan setelah mulai terapi. Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan kadar fT4 dan TSH normal selama kehamilan.

Pengukuran TSH dianjurkan pada wanita dengan faktor risiko gangguan fungsi tiroid, antara lain:

1.      Riwayat hipo atau hipertiroid, PPT (post

2.      partum tiroiditis), atau lobektomi tiroid

3.      Riwayat keluarga dengan penyakit tiroid

4.      Wanita dengan goiter

5.      Memiliki antibodi tiroid

6.      Terdapat tanda dan gejala yang mengarah pada kekurangan dan kelebihan hormon tiroid

7.      Diabetes melitus tipe I

8.      Penyakit autoimun lain

9.      Infertilitas

10.  Riwayat radiasi pada kepala dan leher

11.  Riwayat keguguran atau melahirkan prematur

 

E.     Hipertiroid Dalam Kehamilan

Prevalensi hipertiroid di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1%. Penyebab tersering adalah penyakit Grave, yang 5-10 kali lebih sering dialami wanita dengan puncaknya pada usia reproduktif. Prevalensi hipertiroid dalam kehamilan 0,1-0,4%, 85% dalam bentuk penyakit Grave. Sama halnya seperti penyakit autoimun lain, tingkat aktivitas penyakit Grave dapat berfluktuasi saat trimester pertama dan membaik perlahan setelahnya; dapat mengalami eksaserbasi tidak lama setelah melahirkan. Walaupun jarang, persalinan, seksio sesarea, dan infeksi dapat memicu hipertiroid atau bahkan badai tiroid (thyroid storm).

Kehamilan, begitu juga hipertiroid adalah kondisi peningkatan laju metabolisme. Fakta ini menyulitkan mengenali tanda dan gejala tipikal tirotoksikosis yang biasanya mudah dikenali pada pasien tidak hamil. Misalnya, gejala seperti amenorea, lemas, labilitas emosi, intoleransi terhadap panas, mual dan muntah dapat terlihat baik pada pasien hamil dan juga hipertiroid. Begitu juga tanda-tanda seperti kulit terasa hangat, takikardia, peningkatan tekanan darah, dan bahkan struma kecil tidak bersifat pasti. Namun, ada menifestasi yang harus lebih diperhatikan seperti kenaikan berat badan yang rendah selama hamil dengan nafsu makan baik, adanya tremor, dan manuver Valsava tanpa akselerasi laju jantung. Mengingat kebanyakan kasus disebabkan oleh penyakit Grave, dicari tanda- tanda oftalmopati Grave (tatapan melotot, kelopak tertinggal saat menutup mata, eksoftalmos) dan bengkak tungkai bawah (pretibial myxedema).10 Rendahnya spesifisitas tanda dan gejala membuat tes laboratorium merupakan alat diagnosis yang paling baik untuk penyakit tiroid pada ibu hamil.

Mual dan muntah setelah kehamilan 20 minggu jarang ditemukan. Kondisi muntah harus dibedakan dari kondisi lain yang juga dapat menyebabkan muntah persisten, seperti hiperemesis gravidarum, gangguan gastrointestinal (appendisitis, hepatitis, pankreatitis, dan gangguan saluran empedu), pielonephritis, dan gangguan metabolik lain.

Pemeriksaan laboratorium mencakup kadar keton urin, BUN, kreatinin, alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, elektrolit, dan tirotropin (termasuk tiroksin T4 bebas jika tirotropin rendah). Biasanya tirotropin tertekan pada pasien-pasien hamil karena hCG bereaksi silang dengan tirotropin dan menstimulasi kelenjar tiroid. Kondisi hipertiroid ini biasanya hilang spontan dan tidak membutuhkan pengobatan. Kadar T4 dan tirotroponin pada hiperemesis dapat mirip dengan pasien Grave, akan tetapi pasien hiperemesis tidak memiliki gejala penyakit Grave ataupun antibodi tiroid. Jika kadar fT4 meningkat tanpa tanda dan gejala penyakit Grave, pemeriksaan sebaiknya diulang setelah usia   kehamilan   20   minggu.   Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi kehamilan multipel atau mola hidatodosa.

Tirotoksikosis ibu yang tidak diobati secara adekuat meningkatkan risiko kelahiran prematur, IUGR, berat badan lahir rendah, preeklamsia, gagal jantung kongestif, dan IUFD. Pada sebuah penelitian retrospektif, rata-rata komplikasi berat pada pasien yang diobati dibandingkan dengan yang tidak adalah: preeklamsia - 7% banding 14-22%, gagal jantung kongestif - 3% banding 60%, thyroid storm - 2% banding 21%. Sebaliknya pengobatan thionamide berlebih dapat menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada janin.

Pasien dengan kecurigaan hipertiroid membutuhkan pengukuran kadar TSH, T4, T3, dan antibodi reseptor tiroid. Interpretasi fungsi tiroid harus memperhatikan hubungan dengan hormon HCG yang dapat menurunkan kadar TSH dan meningkatkan kadar TBG selama kehamilan; kadar serum TSH di bawah normal tidak boleh dijadikan interpretasi diagnostik hipertiroid dalam kehamilan. Interpretasi terbaik adalah dengan kadar T3 karena kadar fT4 juga meningkat pada separuh wanita hiperemesis gravidarum tanpa hipertiroid.

Hipertiroid subklinis (kadar TSH di bawah normal, kadar fT4 dan T4 dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda hipertiroid) dapat ditemukan pada hiperemesis gravidarum. Pengobatan kondisi ini tidak berhubungan dengan perbaikan hasil kehamilan dan dapat memberikan risiko paparan obat anti tiroid yang tidak perlu terhadap janin.

 

F.     Pengobatan Hipertiroid Dalam Kehamilan

Secara umum, terdapat beberapa modalitas pengobatan hipertiroid antara lain pendekatan farmakologis, pembedahan, dan juga iodin radioaktif, masing-masing dengan risiko terhadap kehamilan (Tabel 2). Pada kondisi hamil, pengobatan iodin radioaktif secara langsung merupakan kontraindikasi karena meningkatkan risiko abortus spontan, kematian janin intra uterin, hipotiroid dan retardasi mental pada neonatus.10

Tabel 1        Rata-rata kandungan iodine dalam sampel makanan segar dengan rentang standar deviasinya (ng/g)4

No.

Jenis Makanan

Kandungan Iodin

1

Ikan air laut

486 (89-1593)

2

Telur

324 (247-428)

3

Roti

310 (20-815)

4

Susu

124 (59-199)

5

Ikan air tawar

98 (3-408)

6

Gandum

33 (11-47)

7

Unggas

18 (10-169)

8

Daging

17 (2-155)

9

Sayur-sayuran

5 (1-22)

10

Buah-buahan

3 (0,3-13)

 

Tabel 2        Resiko dan komplikasi terapi hipertiroid di dalam kehamilan10

Kondisi/pengobatan/ Prosedur

Dampak Kehamilan

Fetus

Neonatus

Hipertiroid yang tidak mendapat pengobatan adekut

Keguguran Solusio plasenta Kelahiran preterm

Hipertiroid takikardia pertumbuhan terhambat

Hipertiroid transien primer

Thioamide

 

Hipotiroid Embriopati Methimazole

Hipertiroid Transien

Tindakan bedah dengan suplementasi tiroksin

Keguguran Kelahiran preterm

Hipotiroid

Hipotiroid Transien

Propanolol

Atrofi plasenta Kelahiran preterm

IUGR

Hipoglikemia postpartum Bradikardia

 

Pada ibu hamil, PTU masih merupakan obat pilihan utama yang direkomendasikan oleh banyak penulis dan pedoman, dianggap lebih baik karena lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan methimazole. Tetapi telah terbukti efektivitas kedua obat dan waktu rata-rata yang diperlukan untuk normalisasi fungsi tiroid sebenarnya sama (sekitar 2 bulan), begitu juga kemampuan melalui plasenta. Penggunaan methimazole pada ibu hamil berhubungan dengan sindrom teratogenik ‘embriopati metimazole’yang ditandai dengan atresi esofagus atau koanal; anomali janin yang membutuhkan pembedahan mayor lebih sering berkaitan dengan penggunaan methimazole, sebaliknya tidak ada data hubungan antara anomali kongenital dengan penggunaan PTU selama kehamilan. Namun kadang methimazole tetap harus diberikan karena satu-satunya pengobatan anti tiroid yang tersedia.

Jika kondisi hipertiroid sudah berkurang, dosis obat anti tiroid juga harus diturunkan untuk mencegah hipotiroid pada janin. Pada trimester ketiga, hampir 30% ibu dapat menghentikan pengobatan anti tiroid dan mempertahankan status eutiroid. Bagi ibu menyusui, kedua jenis obat anti tiroid dinilai aman karena konsentrasinya rendah di dalam airsusu. Bayiyangmenyusuiibupengkonsumsi obat anti tiroid memiliki perkembangan dan fungsi intelektual yang normal.

Obat-obat golongan beta bloker untuk mengurangi gejala akut hipertiroid dinilai aman dan efektif pada usia gestasi lanjut, pernah dilaporkan memberikan efek buruk bagi janin bila diberikan pada awal atau pertengahan gestasi. Propanolol pada kehamilan akhir dapat menyebabkan hipoglikemia pada neonatus, apnea, dan bradikardia yang biasanya bersifat transien dan tidak lebih dari 48 jam. Propanolol sebaiknya dibatasi sesingkat mungkin dan dalam dosis rendah (10-15 mg per hari).

Tiroidektomi subtotal dapat dilakukan saat kehamilan dan merupakan pengobatan lini kedua penyakit Grave. Tiroidektomi sebaiknya dihindari pada kehamilan trimester pertama dan ketiga karena efek teratogenik zat anestesi, peningkatan risiko janin mati pada trimester pertama serta peningkatan risiko persalinan preterm pada trimester ketiga. Paling optimal dilakukan pada akhir trimester kedua meski- pun tetap memiliki risiko persalinan preterm sebesar 4,5%-5,5%. Tindakan pembedahan harus didahului oleh pengobatan intensif dengan golongan thionamide, iodida, dan beta bloker untuk menurunkan kadar hormon tiroid agar mengurangi risiko thyroid storm selama anestesi dan juga mengoptimalkan kondisi operasi dengan penyusutan struma dan mengurangi perdarahan.

Indikasi pembedahan adalah dibutuhkannya obat anti tiroid dosis besar (PTU >450 mg atau methimazole >300 mg), timbul efek samping serius penggunaan obat anti tiroid, struma yang menimbulkan gejala disfagia atau obstruksi jalan napas, dan tidak dapat memenuhi terapi medis (misalnya pada pasien gangguan jiwa).

 

G.    Simpulan

Hormon tiroid berfungsi mengatur aktivitas metabolik dan seluler; memelihara keseimbangan hormon tiroid dalam batas normal selama kehamilan sangat penting untuk mencegah dampak buruk. Hipotiroid selama kehamilan walaupun ringan dapat menurunkan fungsi intelektual anak.

Sedangkan hipertiroid dalam kehamilan dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Diagnosis hipertiroid dalam kehamilan sulit karena gejala sering tumpang tindih dengan gejala kehamilan pada umumnya dan  pengobatannya  lebih rumit mengingat efek samping dan potensi merugikan janin. Sangat dianjurkan memeriksa kadar hormon tiroid pada ibu hamil yang memiliki gejala penyakit tiroid.

 

2.2  TIROID DALAM MASA NIFAS

A.    Pengertian

Tiroiditis postpartum (postpartum thyroiditis) merupakan kondisi di mana kelenjar tiroid (kelenjar yang berada di leher) mengalami peradangan dan pembengkakan setelah melahirkan. Penyakit tiroid ini termasuk salah satu komplikasi yang bisa terjadi setelah melahirkan. Mayo Clinic mengatakan, tiroiditis pasca persalinan sering dialami selama beberapa minggu sampai berbulan-bulan. 

Sebagian besar ibu yang baru melahirkan dan mengalami tiroiditis postpartum, fungsi tiroid akan kembali normal dalam 12 hingga 18 bulan setelah adanya gejala. Tetapi beberapa wanita ada pula yang mengalami komplikasi permanen. Sayangnya untuk mengetahui gejalanya bisa sulit dikenali karena sering dianggap sebagai stres biasa atau perubahan mood yang kerap dirasakan ibu pasca melahirkan.

 

B.     Gejala penyakit tiroid yang termasuk tiroiditis postpartum

Nyatanya, tiroiditis postpartum bisa mengarah pada munculnya hipotiroidisme (tiroid yang kurang aktif) ringan. Namun juga bisa mengarah pada penyakit tiroid hipertiroidisme (tiroid yang terlalu aktif).

Gejala ringan yang mengarah pada munculnya hipertiroidisme, bisa dilihat jika mengelami beberapa tibu seperti di bawah ini:

1.      Kegelisahan

2.      Cepat marah

3.      Detak jantung berdebar cepat

4.      Penurunan berat badan yang wajar

5.      Lebih peka pada suhu panas

6.      Kelelahan

7.      Getaran

8.      Insomnia

Tibu dan gejala ini biasanya terjadi satu hingga empat bulan setelah melahirkan dan bertahan satu hingga tiga bulan. Kemudian, ketika sel-sel tiroid mulai terganggu, tibu dan gejala tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme) juga dapat berkembang, seperti:

1.      Energi menurun

2.      Sensitivitas meningkat terhadap dingin

3.      Sembelit

4.      Kulit kering

5.      Berat badan bertambah

6.      Depresi

Tibu-tibu atau gejala ini biasanya mulai dirasakan empat sampai enam minggu setelah gejala-gejala hipertiroidisme sembuh dan dapat bertahan enam sampai 12 bulan. Tapi, beberapa perempuan hanya merasakan salah satu gejala dari hipertiroidisme dan hipotirodisme.

 

C.    Penyebab tiroiditis postpartum

Sampai saat penyebab tiroiditis postpartum masih belum diketahui secara pasti. Namun, perempuan yang mengalami tiroiditis postpartum seringkali memiliki tingkat antibodi anti-tiroid yang tinggi pada awal kehamilan dan setelah melahirkan. Akibatnya, perempuan yang mengembangkan tiroiditis postpartum cenderung memiliki kondisi tiroid autoimun yang mendasari setelah melahirkan setelah fluktuasi fungsi kekebalan tubuh. Kondisi yang mendasari ini tampaknya sangat mirip dengan tiroiditis hashimoto, di mana sistem kekebalan menyerang kelenjar tiroid.

 

 

D.    Faktor risiko tiroidisme postpartum

Ada beberapa perempuan yang memang lebih rentan atau memiliki risiko lebih besar mengalami tiroiditis pascapartum apabila mengalami beberapa kondisi seperti ini :

1.      Gangguan autoimun, seperti diabetes tipe 1

2.      Riwayat tiroiditis postpartum

3.      Antibodi anti-tiroid konsentrasi tinggi

4.      Ada riwayat masalah tiroid sebelumnya

5.      Riwayat keluarga masalah tiroid

Sementara penelitian lebih lanjut diperlukan, beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara tiroiditis postpartum dan depresi postpartum. Akibatnya, jika Ibu mengalami depresi pascapersalinan, dokter kemungkinan akan memeriksa untuk melihat bagaimana tiroid Ibu berfungsi.

 

E.     Komplikasi yang bisa terjadi 

Bagi sebagian besar perempuan yang mengalami tiroiditis postpartum, fungsi tiroid nantinya kembali normal – umumnya dalam kurun waktu 12 hingga 18 bulan setelah dimulainya gejala. Meskipun begitu, beberapa perempuan yang mengalami tiroiditis postpartum tidak sembuh dari fase hipotiroid. Akibatnya, mereka mengembangkan hipotiroidisme, suatu kondisi di mana kelenjar tiroid tidak menghasilkan cukup hormon-hormon tertentu yang penting bagi tubuh.

 

F.     Pencegahan tiroiditis postpartum

Meskipun kondisi tiroiditis postpartum tidak bisa dicegah, namun Ibu bisa mengambil langkah-langkah untuk merawat diri sendiri di bulan-bulan setelah melahirkan. Jika memiliki tibu atau gejala yang tidak biasa setelah melahirkan, jangan anggap sepele. Terlebih jika memang memiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk mengalami tiroiditis postpastum, oleh karenanya jangan lupa untuk konsultasikan dengan tenaga medis terkait tentang bagaimana cara memantau kesehatan setelah melahirkan.


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)