Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

MAKALAH HUKUM AGRARIA KHUSUS


MAKALAH HUKUM AGRARIA KHUSUS

 (Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Peralihan Hak Atas Tanah, Penertiban Dan Penggunaan Tanah Terlantar)

 

Tidak semua kalangan masyarakat tahu apa saja bukti kepemilikan, lebih-lebih mendapatkan hak atas tanah dan bangunan yang sah menurut hokum. Kepemilikan tanah yang sah harus sudah terdaftar di BPN, sehingga setelah mengantongi bukti yang sah baru kita bisa mendapatkan nomor setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

 

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang............................................................................................... 1

1.2    Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

1.3    Tujuan Penulisan ........................................................................................... 1

 

BAB II PEMBAHASAN

2.1    Pendaftaran Tanah Di Indonesia.................................................................... 2

2.2    Peralihan Hak Atas Tanah.............................................................................. 23

2.3    Penertiban Dan Penggunaan Tanah Terlantar................................................ 28

 

BAB III PENUTUP

3.1    Kesimpulan..................................................................................................... 35

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 36

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    LATAR BELAKANG

Tidak semua kalangan masyarakat tahu apa saja bukti kepemilikan, lebih-lebih mendapatkan hak atas tanah dan bangunan yang sah menurut hokum. Kepemilikan tanah yang sah harus sudah terdaftar di BPN, sehingga setelah mengantongi bukti yang sah baru kita bisa mendapatkan nomor setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Tujuan diadakannya Pendaftaran hak atas tanah adalah yaitu untuk kepastian hokum dan untuk perlindungan hokum kepada pemegang hak. Lain hal dengan pendaftaran tanah bagi tanah yang tunduk terhadap hokum adat, misalnya tanah yasan, tanah gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan pendaftaran tanah tujuannya bukan untuk memberukan kepastian dan perlindungan hokum, akan tetapi tujuannya adalah untuk menentukan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti pipil, girik atau petuk.

 

1.2    RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana proses pendaftaran tanah di indonesia?

2.      Bagaimana proses peralihan hak atas tanah?

3.      Bagaimana proses penertiban dan penggunaan tanah terlantar?

 

1.3    TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui pendaftaran tanah di indonesia

2.      Untuk mengetahui peralihan hak atas tanah

3.      Untuk mengetahui penertiban dan penggunaan tanah terlantar

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1    Pendaftaran Tanah Di Indonesia

2.1.1        Pengertian Pendaftaran Tanah

Sesuai pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran Tanah adalah  Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Data fisik yang dimaksud adalah, mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data Yuridis adalah mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun.

 

2.1.2        Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 19 (1)  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria  (UUPA) menyebutkan bahwa ;

1.      Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik  Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.      Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a)      pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b)      pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-haktersebut;

c)      pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3.      Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4.      Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Disamping kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai pasal 23, pasal 32, dan pasal 38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :

1.      Pasal 23 UUPA  Ayat 1 : Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

2.      Pasal 32 UUPA, Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

3.      Pasal 38 UUPA  Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.    Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.

Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka diterbitkanlah  beberapa peraturan-peraturan diantaranya : Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan akan kepastian hukum Hak Atas Tanah, sehingga diperbaharui dengan ;  Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tertanggal 8 Oktober 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NAsional No. 3  Tahun 1997.

Walaupun  Peraturan Pemerintah  No. 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku lagi, namun peraturan pelaksanaan yang menyertainya tetap dinyatakan berlaku sepanjangtidak bertentangan, diubah atau diganti dalam PP 24 Tahun 1997.

 

2.1.3        Tujuan dan Manfaat Pendaftaran Tanah

Tujuan Pendaftaran Tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu ada 3 (tiga) :

1.      Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah, rumah susun atau hak lain yg terdaftar. Agar mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

2.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

3.      Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W.Sumardjono bahwa manfaat daripendaftaran tanah dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu :

1.      Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.

2.      Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.

3.      Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.

 

2.1.4        Asas Pendaftaran Tanah

Asas pendaftaran tanah dapat dilihat dalam pasal 12 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi ;

1.      Sederhana, yaitu asas dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok dan tatacaranya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah.

2.      Aman, yaitu suatu asas yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3.      Terjangkau, asas yg dimaksudkan bahwa keterjangkauan bagi pihak-pihak yg memerlukan, dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.

4.      Mutakhir, adanya kelengkapan data yg memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, sehingga data pendaftaran tanah harus dipelihara. Data disimpan dalam bentuk buku tanah di kantor pertanahan dan harus selalu diperbaharui jika ada perubahan.

5.      Terbuka, masyarakat  dapat memperoleh keterangan tentang data yang benar setiap saat.

 

2.1.5        Objek Pendaftaran Tanah

Objek pendaftaran tanah terdapat dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi :

1.      bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;

2.      tanah hak pengelolaan;

3.      tanah wakaf;

4.      hak milik atas satuan rumah susun;

5.      hak tanggungan;

6.      tanah Negara.

 

2.1.6        Sistem Pendaftaran Tanah

Ada 2 macam sistem pendaftaran tanah yaitu ;

1.      Sistem pendaftaran akta atau registration of deeds.

2.      Sistem pendaftaran hak atau registration of titles, titles dalam arti hak yang lebih dikenal dengan sistem Torrens.

Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran tanah berupa sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:

1.      Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.      Pendaftaran tanah meliputi:

a.       Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah

b.      Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

c.       Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak atau registration of title , hal ini tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang terhimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang di daftar.

Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data juridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24 Tahun 1997.  Sertifikat diterbitkan sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah untuk kepentingan pemegang hak.

2.1.7        Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah

Menurut Boedi Harsono, menyatakan bahwa sistem publikasi dalam pendaftaran tanah digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu ;

1.      Sistem Positif.

Sistem ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak (absolute) serta sertipikat merupakan bentuk satu-satunya tanda bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka meski ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikasi sebagai surat tanda bukti hak. Pencatatan dan pendaftaran nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang menjadi pemegang hak atas tanah  yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan (title by registration, the register is everything). Apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Perolehan tanah dengan etikad baik melalui cara sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan kepada pihak yang memperolehnya suatu hak yang “indefeasible” yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, juga oleh pihak yang sebenarnya berhak sekalipun.

 

2.      Sistem Negatif

Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang baru. Sistem publikasi negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yg tercantum didalam sertipikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka pengadilan. Surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, yang berarti pula bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum danharus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.

Sistem publikasi menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah sistem publikasi negatif  bertendensi positif. Artinya sistem  negatif  yang  mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seprti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23 ayat 2, pasal 32 ayat2 dan pasal 38 ayat 2 UUPA. Sistem Publikasi yang dianut adalah bukan sistem negatif murni, karena pejabat pendaftaran tanah dalam rangka pengumpulan data bersikap passif dan pada umumnya menggunakan sistem pendaftaran akta yang memuat data itulah yang didaftar. Dalam akta tersebut oleh pejabat pendaftaran dibubuhkan catatan bahwa telah dilakukan pendaftarannya. Akta itulah yang merupakan tanda bukti hak.

Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan atas perintah Pasal 19 UUPA, menghasilkan alat pembuktian yang kuat (bukan mutlak = positif), menurut para pejabat pendaftaran tanah dalam mengumpulkan data fisik dan data yuridis, sejauh mungkin berusaha memperoleh data yang benar.  Data pada pendaftaran tanah meliputi: Data fisik, kegiatan pengumpulan data fisik meliputi penetapan batas, pengukuran dan pemetaan tanah yang bersangkutan (diatur dalam pasal 17,18,19 dan 20 PP 24/1997). Pengumpulan data yuridis diatur dalam pasal 23,24 dan 25 PP 24/1997. Dibedakan antara hak baru dan hak lama.

 

2.1.8        Alat Bukti Kepemilikan Tanah

Pengumpulan data yuridis hak-hak lama diatur dalam pasal 24(1), yaitu hak-hak atas tanah yang data yuridisnya bersumber pada alat-alat bukti pemilikan tanahnya. Sedang yang diatur dalam pasal 24(2) yaitu hak-hak atas tanah yang bukti-bukti yuridisnya bersumber pada alat-alat bukti penguasaan atas tanah. Alat bukti pemilikan tanah menurut pasal 24(1) bisa berupa alat-alat tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yangbersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Ada 3 (tiga) kemungkinan alat pembuktiannya ;

1.      Bukti tertulisnya lengkap, tidak memerlukan bukti lain.

2.      Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi ; diperkuat keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan

3.      Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi, diganti keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan.

Untuk hak atas tanah-tanah baru dibuktikan dengan ;

1.      Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang apabila hak tersebut dari tanah negara atau hak pengelolaan

2.      Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak oleh pemegang hak milik kepada penerima hak bangunan atau hak pakai atas tanah.

3.      Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.

4.      Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf.

5.      Hak milik atas satuan umah susun, dibuktikan dengan akta pemisahan.

6.      Pemberian hak tanggungan, dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.

2.1.9        Pendaftaran Tanah Secara Sistematis

Pendaftaran tanah secara sistimatik menurut Boedi Harsono adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi :

1.      Pembuatan peta dasar pendaftaran

2.      Penetapan batas bidang-bidang tanah

3.      Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dan peta pembuatan

4.      Pembuatan daftar tanah

5.      Pembuatan surat ukur.

Pendaftaran tanah secara sistimatik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan dalam wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistimatik, pendaftarannya dilakukan dengan cara “sporadik”.

 

2.1.10    Sertifikat Sebagai Alat Pembuktian Yang Kuat

Menurut pasal 1 poin 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang memuat data yuridis dan data fisik obyek yang didaftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian sertifikat meliputi 2 hal yaitu :

1.      Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

2.      Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut, yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau oleh orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya(pasal 32(2) PP No. 24 Tahun 1997).

 

2.1.11    Peranan Kepala Desa dan PPAT dalam Pendaftaran Tanah

Kepala Desa mempunyai tugas-tugas strategis dalam membantu pelaksanaan penylenggaraan pendaftaran Tanah yaitu ;

1.      Sebagai anggota panitia ajudikasi yaitu pembantu pelaksana pendaftaran tanah.

2.      Berwenang untuk membuat surat keterangan yang menguatkan sebagai bukti hak.

3.      Untuk daerah kecamatan di luar kota tempat kedudukankantor pertanahan, surat keterangan Kepala Kantor Pertanahan dapat diganti oleh surat pernyataan Kepala Desa.

4.      Didalam pendaftaran tanah, karena pewarisan, Kepala Desa berhak membuat surat keterangan yang membenarkan surat bukti hak sebagai ahli waris.

5.      Untuk desa terpencil, Menteri Negara Pertanahan (BPN) dapat menunjuk Kepala Desa sebagai PPAT Sementara.

PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, sejak ditandatanganinya aktai atau sejak dilakukannya perbuatan hukum terhadap tanah, PPAT wajib menyampaikan akta dan dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

 

2.1.12    Sertifikat Ganda

Istilah ganda dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai dua ataupun tiga kali lipat atau kelipatannya. Menurut Soni Harsono, sertifikat ganda yaitu adanya 2 (dua) atau lebih sertifikat pada satu bidang tanah yang sama. Menurut  Ali Achmad Chomzah, sertifikat ganda adalah sertifikat-sertifikat yang menguraikan satu bidang tanah yang sama, dengan demikian satu bidang tanah diuraikan dengan 2 (dua) sertipikat atau lebih yang datanya berlainan.

Terjadinya sertifikat ganda ini merupakan salah satu akibat adanya tumpang tindih dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah yang disebut cacat hukum administrasi. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan, Sertifikat Hak Atas Tanah yang cacad hukum administratif adalah sertifikat Hak Atas Tanah yang mengandung kesalahan antara lain sebagai berikut :

1.      Kesalahan prosedur

2.      Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan

3.      Kesalahan subjek hak

4.      Kesalahan objek hak

5.      Kesalahan jenis hak

6.      kesalahan perhitungan luas

7.      terdapat tumpang tindih hak atas tanah

8.      data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau

9.      kesalahan lainnya yang bersifat administratif.

Yang tidak dikategorikan sebagai sertifikat ganda adalah

1.      Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang hilang;

2.      Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang rusak.

3.      Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang dibatalkan

 

2.1.13    Contoh Kasus dan Pembahasan Kasus

1.      Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL)

Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang tersebar di dua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang, Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo.

Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan menempatkan 185 keluarga prajurit. Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja. Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan pindah dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati Pasuruan mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi per KK.

Pembahasan Kasus

Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.

Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).

Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu :

a.       Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.

b.      Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

c.       Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.

 

2.      Sengketa Tanah Muhammadiyah

Sengketa tanah antara Yayasan Al Kautzar Bumiayu dan Muhammadiyah cabang Bumiayu bermula pada tahun 2001 lalu ketika Muhammadiyah cabang Bimiayu menerima surat ikrar wakaf dari dr. Lisa Maulida, warga asal Bumiayu yang tinggal di Bekasi. Dalam surat tersebut, Lisa mewakafkan tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana kepada Muhammadiyah Bumiayu. Upaya sertifikasi pembagian tanah ternyata mengalami hambatan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Brebes. Karena merasa dipersulit, pengurus muhammadiyah, H. Abdul Karim Nagib, menyampaikan masalah tersebut kepada Lisa. Dalam sebuah pengajian akbar di Bumiayu pada 2002 lalu, Lisa lalu memberikan seluruh tanah wakaf kepada Muhammdiyah. Selang beberapa bulan berdirilah Pondok Pesantren Al Kautzar. Melalui rapat organisasi, Ketua Cabang Muhammdiyah, H. Sudarmo, memberikan wewenang kepada H. Abdul Kodir untuk megelola pondok tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, pengurus Muhammadiyah menilai bahwa Kodir telah melampaui batas wewenang. Dia yang mendirikan Yayasan Al Kautzar mengklaim sebagai pemilik pesantren. Atas hal itu, Muhammadiyah mengirimkan surat peringatan. Dalam waktu enam bulan terakhir, Muhammdiyah melayangkan tiga kali surat peringatan. Namun, hingga tiga kali peringatan itu dilayangkan, Kodir tidak juga mengindahkan peringatan tersebut. Malahan ia melaporkan kasus tersebut ke polisi. Pengurus Muhammdiyah cabang Bumiayu, Fahrudin Abdul Kafi, membantah tindak pemalsuan tanda tangan dalam surat ikrar wakaf tersebut. Dia mengatakan surat itu sah dan diketahui pemilik tanah, Lisa, dan orang tuanya, Hj. Afifah. Pemberian wakaf bahkan dilakukan di depan khalayak ramai dan diadakan pada pengajian akbar. Sebaliknya, ia telah menuduh Abdul Kodir telah menyerobot hak tanah wakaf milik muhammadiyah. Dia memberi bukti pendirian Yayasan Al Kautzar tanpa sepengetahuan Muhammadiyah

Pembahasan Kasus

Kasus diatas ialah mengenai permasalahan Pewakafan Hak Milik yang lalu timbul sengketa karena telah terjadi penyalah gunaan dan pengambil-ahlihan hak milik atas tanah wakaf tadi. Wakaf adalah  Perbuatan hukum seseorang/badan hukum untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian dari harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (ps. 1 ayat (1) PP No. 28/1977).

Jadi, dalam kasus, terdapat suatu perbuatan hukum seorang yaitu dr. Lisa Maulida untuk menyerahkan sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana kepada Muhammadiyah Bumiayu dan pada tahun 2001 memberikan tanah wakaf sepenuhnya dengan keperluan ibadah atau kesejahteraan umum. Yang menjadi Unsur-Unsur Wakaf dan syarat-syarat wakaf (ps. 3 – 6 PP No.28/1977)

a.       Wakif : Pihak yang mewakafkan tanah miliknya.

b.      Harta benda wakaf

c.       Ikrar :Pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya (sighat).

d.      Nadzir : Kelompok orang/badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Perseorangan, syaratnya WNI, Islam, dewasa, amanah, mampu secara rohani dan jasmani dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; Organisasi; dan Badan hokum

e.       Peruntukan Harta Benda Wakaf

f.       Jangka waktu wakaf

Tata Cara Wakaf (ps. 9 PP No.28/1977)

1.      Diperlukan ikrar;

2.      Ditujukan kepada Nadzir;

3.      Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW);

4.      Disaksikan 2 orang saksi;

5.      Harus dibuat secara tertulis;

6.      Harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat dalam jangka waktu maksimum 3 bulan sesudah ikrar;

7.      Segala penyimpangan harus mendapat persetujuan dari Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia

Dalam proses pewakafan, disebutkan dalam kasus bahwa dengan berdasar pada ikrar wakaf yang ditujukan kepada Nadzir yaitu Muhammadiyah Bumiayu dr. Lisa Maulida menyerahkan sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana dan pada tahun 2001 memberikan tanah wakaf sepenuhnya. Walau tidak dijelaskan mengenai apakah prosesnya disaksikan 2 orang saksi, dihadapanan PPAIW atau tidak. Pada prinsipnya, proses pewakafan ini yelah sesuai. Tetapi terdapat permasalahan disini ialah pada proses pendaftaran Tanah wakaf tersebut. Pengaturan Pendaftaran Tanah Wakaf (ps. 10 PP No.28 Tahun 1977)

1.      Didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya;

2.      Diajukan oleh PPAIW selambat-lambatnya 3 bulan sesudah ikrar wakaf; Harus melampirkan:

·         Sertipikat/tanda bukti tanah milik yang bersangkutan

·         akta ikrar wakaf

·         Surat Pengesahan Nadzir (KUA)

Disini terdapat beberapa kejanggalan dan permasalahan yang mengakibatkan sengketa dari pewakafan tanah tersebut. Sebelumnya, telah disebutkan bahwa dalam ikrar wakaf yang menjadi Nadir (penerima tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf) yaitu Muhammadiah Bumiayu (kelompok/badan hukum), tetapi pada pendaftaran tanah yang diupayakan Kodir, yang menjadi Nadir ialah pengurus muhammadiyah, H. Abdul Kodir (perorangan). Maka terdapat pengingkaran terhadap ikrar wakaf. Dalam perkembangan selanjutnya, H. Abdul Kodir juga telah menyalahgunakan wewenang dan tugas pemeliharaan & pengurusan tanah tersebut, dengan tanpa seizin dari Muhammadiah dia mendirikan Yayasan Al Kautzar dan mengklaim sebagai pemilik pesantren. Kemudian dalam waktu 6 bulan terakhir Muhammadiyah mengirimkan tiga kali surat peringatan, tapi Kodir tidak juga mengindahkan peringatan tersebut. Malahan ia melaporkan kasus tersebut ke polisi. Maka dalam hal ini, pihak Muhammadiah dapat mengajukan gugatan terhadap Kodir atas perampasan Hak tanah wakaf milik Muhammadiah dan juga menyalahgunakan wewenanng yang ada padanya yaitu mendirikan yayasan tanpa seizin organisasi Muhammadiah.

Catatan: Masalah wakaf diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri sesuai dengan hubungan antara masalah dengan yurisdiksi masing-masing pengadilan (pasal 12 PP No. 28/1977).
DASAR HUKUM

·         Pasal 49 ayat 3 UUPA;

·         PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Hak Milik;

·         PMDN No. 6/1977 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Hak Milik;

 

3.      Sengketa Tanah Senayan City

Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming terus berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) turut gerah. Mereka tidak terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK GBK menantang di peradilan jika ahli waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki bukti otentik atas lahan yang diperebutkan itu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta meminta pemerintah DKI Jakarta segera menutup pusat belanja dan perkantoran Senayan City. Menurutnya, langkah itu perlu ditempuh agar penyelesaian sengketa tidak berlarut-larut.

Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) menyatakan kerja sama dengan proyek Senayan City sudah sesuai aturan. Pada saat ini, eksekutif, termasuk Government Public Relations diharapkan dapat membantu mengambil tindakan tegas. Kasus sengketa lahan Senayan City, Jakarta, muncul karena adanya pengaduan atau klaim atas tanah yang digunakan untuk Senayan City oleh orang yang mengaku ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Sengketa lahan yang ditempati Senayan City mencuat setelah ahli waris Toyib bin Kiming mengklaim tanah seluas 6,2 hektare di Jalan Asia Afrika itu sebagai miliknya.

Pengelola GBK yang ada di bawah Sekretariat Negara (Setneg) membantah klaim bahwa tanah tempat Senayan City adalah lahan sengketa. Tanah yang digunakan oleh PT Manggala Gelora Perkasa untuk proyek Senayan City adalah tanah milik negara atau PPK GBK atau Setneg dan apabila ada pihak-pihak lain yang mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut tentunya dapat melakukan upaya hukum. Sebab tanah GBK adalah tanah eks Asian Games IV tahun 1962 yang kepemilikannya adalah milik negara. Namun, menurut Government Public Relations Senayan City, sengketa itu adalah masalah antara pihak Gelora Bung Karno dan keluarga ahli waris. Kepastian dari Sekretariat Negara sangat dibutuhkan, karena ini tanah negara. Hak kepemilikan tanah berada di tangan Sekretaris Negara dan pengelolaannya dipercayakan kepada Gelora Bung Karno. Sebagai penyewa, Senayan City mengajukan permohonan kepada pengelola Gelora Bung Karno mengenai perjanjian sewa-menyewa akan penggunaan lahan itu selama 35 tahun, terhitung sejak 2006.

Kuasa hukum ahli waris Toyib bin Kiming, Tony Arif, mengatakan, lahan yang di klaim kliennya berada di luar lahan yang dikuasai Sekretariat Negara. Kesimpulan itu sudah diverfikasi Badan Pertanahan Nasional, P2U, pajak, camat, dan lurah setempat. Di sisi lain, Public Relations Manager Senayan City membantah anggapan bahwa pihaknya menganggap remeh persoalan sengketa tanah itu. Ia menjelaskan, Senayan City sebagai pihak ketiga harus menyerahkan persoalan kepemilikan lahan kepada pemerintah. Menurut pendapatnya, mereka hanya penyewa, tidak berwenang menentukan siapa pemilik tanah, Government Public Relations Senayan City berkomentar bahwa mereka hanya sebagai pihak ketiga dan penyewa tanah. Kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum, karena sengketa lahan itu tidak akan menemui jalan keluar dan tidak menemukan kepastian jika pihak yang bersengketa tetap berkukuh dengan pendirian mereka.

Pembahasan Kasus

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan.

Melalui BPN, seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat  pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya  perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Pembatalan keputusan tata usaha negara di  bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan  pembatalan keputusan tersebut antara lain :

1.      Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2.      Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

3.      Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.

4.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.

Melalui Badan Peradilan, setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala BPN dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan TUN yang telah dikeluarkan oleh Pejabat BPN tersebut. Sebagai konsekuensi dari  penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang  bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang  bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun  pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)

 

2.2    Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan hak karena warisan.

Muhammad Yamin Lubis menyebutkan bila ada kehendak yang disengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik, maka didalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan Negara maka disebut dicabut atau mungkin dinasionalisasikan. Dan ini pun harus dengan menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan di dalamnya.

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa peralihan hak atas tanah adalah suatu peristiwa/perbuatan hukum yang mengakibatkan berpindahnya hak dari subyek hukum yang satu ke subyek hukum lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan kewenangannya terhadap tanah tersebut.

Salah satu cara untuk menguasai atau memiliki hak atas tanah adalah melalui proses jual beli. Pengertian jual beli menurut ketentuan Pasal 1457 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu berjanji mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Disamping itu, lembaga hukum jual beli juga diatur dalam hukum adat. Dalam hukum adat, hak milik dapat beralih maupun dialihkan. Jual beli tanah yang mengakibatkan berlihnya hak milik tanah kepada penjual disebut dengan istilah jual lepas.

Jual beli ada dua subjek yaitu penjual dan pembeli, yang masing-masing mempunyai kewajiban dan berbagai hak, maka mereka masing-masing dalam beberapa hal merupakan pihak yang berwajib dan dalam hal-hal lain merupakan pihak yang berhak. Ini berhubungan dengan sifat timbal balik dari persetujuan jual beli (Werdering overenkomst).

Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam praktek disebut jual beli tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.

Sistem jual beli tanah dalam hukum adat menganut sistem tunai/konkrit/terang/nyata artinya setiap hubungan harus terlihat nyata. Hal ini karena masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual tanah tersebut baru mengikat apabila transaksi tersebut terlihat secara konkrit dan nyata telah terjadi yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah sebagai objek dengan sekaligus penyerahan uang secara tunai sebagai pembayaran.

”Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan setiap peralihan hak atas tanah melalui jual-beli, hibah, pemasukan modal dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali lelang. “Dalam UUPA juga menentukan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak konsumen dari masyarakat”.

Ketentuan di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa setiap terjadi peralihan hak atas tanah harus dibuat akta oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak. Bila suatu perjanjian jual beli tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) perjanjian jual beli tersebut tetap sah bagi para pihak, namun bila tanpa akta jual beli, tanah tersebut tidak dapat didaftarkan atau dibalik nama ke atas nama pemilik yang baru di kantor pertanahan.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditetapkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak untuk membuat akta jika :

1.      Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

2.      Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan sebagai berikut :

a.       Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa tanah yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)

b.      Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari Kantor Pertanahan surat keterangan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.

Objek tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat, misalnya tanah hak milik adat yang belum dimohonkan konversi oleh pemegang haknya menjadi hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA.

Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang sama sekali belum pernah didaftarkan di Kantor Pertanahan. Tanah tersebut pada umumnya tidak mempunyai alat bukti tertulis selain bahwa tanah tersebut secara nyata (de facto) berada dalam kekuasaan pemilik tana, seperti ada rumah di atasnya atau ditanami dengan tanaman tumbuh (tanah ladang).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa jual beli terhadap tanah yang belum bersertipikat dapat dilaksanakan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mendapatkan akta jual beli sebagai dasar peralihan hak atas tanah untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan jika tanah tersebut akan dibuatkan sertipikatnya.

Jual beli tanah pada umumnya dilakukan dengan pembayaran tunai menggunakan uang tunai. Jual beli tanah dapat pula dilakukan menggunakan alat pembayaran lain yang sah seperti cek/bilyet giro. Namun hal ini jarang dilakukan oleh masyarakat. Cek merupakan surat berharga yang dapat dipergunakan untuk melakukan pembayaran tunai secara giral. Artinya pembayaran tidak dilakukan dengan uang tunai namun menggunakan sebuah surat berharga dengan nilai uang tertentu kepada pihak tertentu.

Pembayaran menggunakan cek merupakan pengganti uang chartal. Pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan cek yaitu penerbit merupakan orang yang menerbitkan atau menarik sejumlah dana dari rekeningnya ke dalam cek; tersangkut yaitu pihak Bank yang memberikan fasilitas cek; pembawa yaitu orang yang ditunjuk untuk mencairkan cek; pemegang yaitu orang yang diberi hak atau yang membawa cek untuk mencairkan cek; pengganti, merupakan orang yang menggantikan pemegang atau kepada endosemen.

Pembayaran cek dilakukan oleh tersangkut atas perintah penerbit atas sejumlah uang tertentu kepada pihak tertentu, yaitu pembawa maupun pemegang cek. Pembayaran cek dapat dilakukan selama cek tidak dibatalkan oleh penerbit. Meskipun cek tersebut dapat dibatalkan namun tetap harus menunggu masa berakhir yaitu setelah 70 hari sejak diterbitkan selama cek tersebut belum diambil atau diuangkan kepada bank oleh pemegang. Selain itu cek mempunyai masa kadaluarsa salama enam bulan lamanya.

Jual beli tanah menggunakan cek berarti pembayaran atas harga tanah dibayar menggunakan cek. Pembayarana dengan cek pada umumnya tidak langsung dapat dicarikan dananya, tergantung dari ketersedian dana dari penerbit. Hal ini menyebabkan pembayaran harga tanah tergantung dari ketersediaan dana dari penerbit cek. Hal ini menyebabkan waktu pembayaran harga tanah juga tergantung dari ketersediaan dana pada cek. Selain itu pembayaran dengan cek tergantung pula dengan waktu jatuh tempo cek. Pada perjanjian jual beli tanah menggunakan cek sebagai alat pembayaran antara penjual dan pembeli dapat menimbulkan masalah mengenai waktu pembayarannya maupun ketersediaan dana dalam cek. Masalah tersebut seperti kapan penjual menyerahkan sertipikat tanah, apakah saat pembeli menyerahkan cek atau saat penjual mencairkan cek dan dana sudah diterimanya.

Masalah tersebut berlanjut pada saat penandatanganan akta jual beli tanah, yaitu kapan ditandanganinya akta jual beli. Apakah akta jual beli tanah ditandatangani setelah atau sebelum pembayaran tanah dilunasi sementara pembayaran menggunakan cek/bilyet giro pada umumnya tidak dilakukan seketika namun terdapat jangka waktu, misalnya menunggu ketersediaan dana dari penerbit.

Fenomena yang terjadi di Kabupaten Pekalongan jual beli tanah menggunakan cek/bilyet giro jarang dilakukan. Namun ada masyarakat yang melakukan jual beli tanah menggunakan cek/bilyet giro. Jual beli tanah menggunakan cek/bilyet giro ada yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) saat terjadinya transaksi jual beli dan ada juga yang dilakukan di bawah tangan. Pada jual beli tanah yang dilakukan di bawah tangan pembuatan akta jual beli diserahkan kepada pembeli kapan akan dilakukan pembuatan akta jual beli tanah tersebut beserta pendaftaran peralihan hak atas tanah pada kantor pertanahan.

Transaksi jual beli tanah menggunakan cek/bilyet giro di Kabupaten Pekalongan pada umumnya dilakukan oleh para pihak yaitu penjual dan pembeli yang sudah saling kenal. Hal ini menyangkut masalah kepercayaan antara para pihak karena pembayaran dengan cek/bilyet giro bukan merupakan transaksi jual beli secara kontan atau tunai namun ada jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan pembayaran.

Pada transaksi jual beli tanah tanah menggunakan cek/bilyet giro di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pembayaran dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selanjutnya penandatanganan akta jual beli dilakukan setelah penjual mencairkan cek/bilyet giro yang diterimanya. Untuk mengantisipasi halhal yang tidak diinginkan seperti adanya cek/bilyet giro kosong sertipikat tanah objek jual beli disimpan di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Proses selanjutnya dilakukan setelah pembayaran jual beli tanah selesai.

Jual beli tanah menggunakan cek/bilyet giro sebagai alat pembayaran lebih rumit karena tidak tuntas seperti jual beli menggunakan uang cash. Hal inilah peran notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dibutuhkan untuk merumuskan bagaimana perjanjian jual beli tanah menggunakan cek/bilyet giro sebagai alat pembayaran. Perumusan akta jual beli tanah yang tepat diperlukan agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.

Perkembangan sekarang transaksi perbankan dilakukan secara elektronik, termasuk pemindahbukuan dana cek/bilyet giro. Pemindahbukuan cek/bilyet giro dilakukan oleh petugas bank. Pemindahbukuan dana cek/bilyet giro oleh petugas bank melalui sarana elektronik dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik. Menurut Pasal 1 ke 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

 

2.3    Penertiban Dan Penggunaan Tanah Terlantar

2.3.1        Pengertian

Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

 

2.3.2        Faktor-Faktor Tanah Terlantar.

Faktor-faktor terjadinya tanah terlantar itu menyangkut masalah teknis manajemen dan sosial-ekonomi. Berikut diuraikan keadaan faktor-faktor yang pada hakekatnya kedua faktor ini tidak dapat dipisah secara tegas karena saling terkait satu sama lain.

1.      Faktor Teknis Manajemen Usaha

Tanah terlantar pada sebagian daerah disebabkan karena faktor teknis manajemen usaha. artinya bahwa faktor teknis manajemen usaha sangat menentukan dalam pengelolaan HGU yang dimulai pada tahap awal permohonan kegiatan sudah harus dapat diidentifikasi BPN selaku instnasi yang mempunyai kewenangan dalam pemberian HGU. Langkah awal itu antara lain menyangkut kompetensi sumberdaya pelaksana dalam proses identifikasi subjek dan objek permohonan HGU dalam Panitia B.

2.      Faktor Sosial-Ekonomi

Kasus tanah terlantar, juga berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, dimana pemegang HGU tidak mampu mengamankan haknya dan harus berhadapan dengan masyarakat sekitar lokasi HGU.

Penetapan klasifikasi perkebunan yang termasuk dalam kategori tidak produktif (Kelas IV dan Kelas V), tidak hanya parameter fisik kebun, namun mempertimbangkan aspek manajemen kebun, budidaya tanaman, pengolahan hasil dan aspek lingkungan sosial ekonomi masyarakat setempat. Pemerintah Daerah tidak ada kewenangan menanganinya karena secara teknis ijin usaha perkebunan berada di Menteri Pertanian, sementara HGUnya ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional.

 

2.3.3        Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan bagian dari sistem pengelolaan pertanahan yang meliputi kebijakan (policy), pengaturan (regulatory), pengendalian dan pengawasan (compliance) dan pelayanan (services). Dalam hal ini kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tidak cukup dengan pengaturan secara normatif serta tindakan pengendalian dan pengawasan namun perlu bermuara ke aspek pelayanan pertanahan yang berkeadilan kepada masyarakat banyak.

1.      Aspek Yuridis

Upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar diatur oleh pemerintah pusat tingkat 1 (derah provinsi). Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 adalah payung hukum Pusat masih perlu disinergikan dengan payung hukum daerah sesuai UU 32/04. Pengamatan oleh Pemerintah daerah menunjukkan bahwa kasus tanah teralantar itu terjadi, karena pemegang HGU tidak mampu mengamankan haknya dan berhadapan dengan masyarakat yang membutuhkan tanah.

Terhadap indikasi terjadinya tanah terlantar pada umumnya tanahnya tidak digarap/dimanfaatkan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya, Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan khususnya terhadap Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2004 yaitu dengan kriteria sebagai berikut : kepada perusahaan pemegang HGU yang pemanfaatannya selama 5 (lima) tahun itu kurang dari 25% diusulkan sebagai tanah terlantar, yang pemanfatan 25% sampai 50% diberi peringatan 12 (dua belas) bulan, di atas 50% diberi peringatan 24 (dua puluh) empat bulan.

Seharusnya BPN juga mengambil langkah tegas berupa pernyataan sebagai tanah terlantar, dengan tidak perlu lagi peringatan secara bertahap seperti ditentukan dalam ketentuan dimaksud, misalnya dalam hal ini cukup dengan satu kali peringatan (12 bulan), dan apabila dalam masa peringatan tersebut ada kemajuan dalam penggarapan maka hanya yang tidak digarap/dimanfaatkan oleh perusahaan saja yang diusulkan dinyatakan sebagai tanah terlantar sedangkan yang dimanfaatkan tetap dimanfaatkan sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2002.

Apabila dari penilaian Panitia Penilai cukup bukti bahwa hampir seluruh tanah telah diterlantarkan, maka langsung saja oleh Kepala Kantor Wilayah BPN diusulkan kepada Kepala BPN untuk dinyatakan sebagai tanah terlantar tanpa harus melalui tahapan-tahapan peringatan seperti dimaksud dalam PP dan Keputusan Kepala BPN dimaksud. Hal ini tentunya dapat dilakukan apabila ada revisi (penyempurnaan) terhadap peraturan dimaksud, dalam rangka lebih mengoptimalkan penertiban tanah terlantar, dan selanjutnya mendayagunakan tanah tersebut untuk kepentingan masyarakat yang lebih memerlukan.

Secara normatif, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar meliputi tanah yang dikuasai dengan HM, HGU, HGB, H. Pakai, Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan. Dengan demikian, tanah terlantar dapat meliputi tanah yang sudah ada haknya atau tanah yang belum dimohon haknya. Tanah terlantar bisa sebagian atau seluruhnya.

Tanah-tanah tersebut dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Kepada pemegang hak atasnya sudah diberikan kesempatan untuk mempergunakan tanahnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, sebidang tanah hak, baru memenuhi kriteria untuk dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila kepada pemegang haknya sudah diberikan kesempatan untuk menggunakan tanahnya sesuai ketentuan melalui peringatan-peringatan yang diatur dalam PP No.36/1998 jo. Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2002.
Oleh karena itu, diperlukan koridor hukum yang memberi kejelasan kepada pemegang hak atas tanah mencakup hak dan kewajiban yang harus dilakukan, tanpa harus mengorbankan hak keperdataan atas tanah yang dikuasainya. Bidang-bidang tanah yang telah secara jelas dinyatakan sebagai tanah terlantar, perlu ada payung hukum yang menetapkan bahwa pengelolaan (penggunaan dan pemanfaatannya) ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota, tanpa mengurangi hak keperdataan pemilik/penguasa tanah yang bersangkutan.

 

2.      Aspek Sosiologis

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Keputusan Kepala BPN Nomor 24 Tahun 2002, terhadap tanah yang diindikasi terlantar oleh Kakanwil BPN dapat dilakukan rekomendasi, pembinaan atau peringatan. Setelah melalui peringatan ketiga tidak ada respon dari pemegang HGU, atas usul Kakanwil BPN Propinsi menetapkan bidang tanah sebagai tanah terlantar. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam rangka pendayagunaannya, baik yang berupa pola kemitraan, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, atau pemberian hak atas tanah kepada pihak lain.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 (2) PP 36 kepada bekas pemegang hak dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan berdasarkan bukti-bukti tertulis untuk memperoleh hak, dan Pasal 23 ayat ayat (3) Keputusan Kepala BPN Nomor 24 Tahun 2002 menentukan, terhadap obyek tanah terlantar yang pengaturannya melalui proses redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan pemberian hak kepada pihak lain, kepada bekas pemegang haknya diberikan ganti rugi, yang ekskalasinya dilakukan menurut perhitungan biasa. Harus diingat bahwa penentuan harga ganti rugi ini merupakan sanksi terhadap pemegang hak yang menelantarkan tanahnya. Dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ini, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mengajukan usulan agar kegiatan tersebut dapat dibiayai melalui anggaran yang diperoleh dari BPHTB yang dialokasikan dalam dana perimbangan Pemerintah Daerah setempat.

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai leading sektor penanganan tanah terlantar merupakan tindak lanjut kewenangan yang telah dimilikiantara lain ijin lokasi dan perencanaan penggunaan tanah sesuai Keputusan Presiden No.34 Tahun 2001. Dalam pelaksanaannya memerlukan input data dari instansi tekni, termasuk data/informasi pertanahan dan pertimbangan teknis dari instansi BPN di daerah. Selanjutnya diperlukan pemberdayaan fungsi aparat desa/kelurahan guna melakukan pengendalian dan pengawasan pendayagunaan tanah. Sebenarnya masyarakat sekitar lokasi dapat berperan serta dalam bentuk melaporkan keberadaan tanah terlantar serta mengusulkan pemanfaatan tanah sesuai peraturan dan kebutuhan setempat. Laporan dan usulan itu disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Bupati/Walikota, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi serta Gubernur.

 

3.      Aspek Ekonomis

Pendayagunaan tanah terlantar akan bersentuhan dengan aspek ekonomis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pemanfaatan tanah yang sudah memperoleh HGU sampai akhir tahun 2003 adalah 1 824 kebun dari 1 437 perusahaan, dengan luas areal 5 265 428 Ha. Areal yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian areal HGU itu, mencapai sekitar 20 % atau sekitar 1 juta hektar, akibat diokupasi masyarakat maupun areal secara pisik tidak dapat ditanami dan areal yang belum dibangun menjadi kebun. Apabila mendasarkan pada nilai ekspor perkebunan yang menjadi devisa Negara pada tahun 2003 pada kapasitas pemanfaatan tanah 80 % areal HGU, memberikan nilai tambah sekitar US $ 5,16 milyar, maka apabila tanah HGU dapat dimanfaatkan seluruhnya akan memberi tambahan devisa Negara sekurang-kurangnya sekitar US $ 1,0 milyar atau sekitar Rp 10 trilyun. Sementara itu tambahan tenaga kerja yang terserap diperkirakan sekitar 3,5 juta orang. Dari segi ekonomi makro keadaan ini memberi dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun wilayah.

 


 

BAB III

PENUTUP

 

3.1    KESIMPULAN

Pendaftaran Tanah adalah  Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan hak karena warisan.

Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan bagian dari sistem pengelolaan pertanahan yang meliputi kebijakan (policy), pengaturan (regulatory), pengendalian dan pengawasan (compliance) dan pelayanan (services).

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju) 1990

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria, Pertanahn Indonesia, Jilid 2, (Jakarta, Prestasi Pustaka), 2004

Bahtiar Efendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung : Alumni), 2005

CST. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka) 1986

Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona Sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, (Jakarta, Ghalia Indonesia) 1985

Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta: Universitas Trisakti), 2005, cet I 

Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)