Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Makalah Ekstradisi, Sengketa Internasional, Penyelesaian Sengketa Internasional

 

MAKALAH

HUKUM INTERNASIONAL

(Ekstradisi, Sengketa Internasional, Penyelesaian Sengketa Internasional)

 

Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional.

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

 

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang............................................................................................... 1

1.2    Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

1.3    Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2

 

BAB II PEMBAHASAN

2.1    Ekstradisi........................................................................................................ 3

2.2    Sengketa Internasional................................................................................... 19

2.3    Penyelesaian Sengketa Internasional.............................................................. 24

 

BAB III PENUTUP

3.1    Kesimpulan..................................................................................................... 31

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 32

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak.

Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.

 

1.2    Rumusan Masalah

1.      Apa itu ekstradisi?

2.      Apa itu sengketa internasional?

3.      Bagaimana penyelesaian sengketa internasional?

 

1.3    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui ekstradisi

2.      Untuk mengetahui sengketa internasional

3.      Untuk mengetahui penyelesaian sengketa internasional

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1    Ekstradisi

2.1.1        Pengertian Ekstradisi

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.

Pada umumnya, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak.

Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.

 

2.1.2        Definisi Ekstradisi Menurut Para Sarjana

Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.

Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.

 

2.1.3        Sejarah Ekstradisi

Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279 sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan tidak dijatuhi hukuman.

Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada negara-negara lain.

Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuhuntuk memberantas kejahatan. Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.

Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.

Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Apalagi masalah hak asasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak asasi manusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang.

Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.

 

2.1.4        Unsur Ekstradisi

Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:

1.      Unsur Subjek.

Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:

a.       Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan.

b.      Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.

Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state).

Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State).

2.      Unsur objek

Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.

3.      Unsur Tata cara dan Prosedur.

Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati.

Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.

4.      Unsur Tujuan.

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta.

Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.

 

2.1.5        Ruang Lingkup Ekstradisi

Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya. Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akan dijatuhkan terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih.

Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya dinegara lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional.

Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi. Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.

Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional. Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama regional dibidang ekstradisi, misalnya:The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.The Inter America Convention Extradition. European Extradition Convention, dan lain-lain.

Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka. Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.

Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati (exgratia). Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.

Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya.

Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.

Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri.Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasionalberdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.

 

2.1.6        Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi

Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.

Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja. Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person) biasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of nationals).

Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu: Kejahatan agama.

Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offenc): Kejahatan politik, Kajahatan militer.Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan kejahatan-kejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu:

1.      Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi.

2.      Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisi.

3.      Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati.

 

2.1.7        Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi

Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam undang-undang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama. Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam perundang-perundangan.

Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah: Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta.

Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari negara peminta terhadap orang yang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan. Berikut beberapa asas yang saya kutip:

1.      Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality).

Kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara. Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan.

Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk penyerahannya kepada negara peminta.

Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara peminta atas dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semua jenis kejahatan yang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut. Oleh karena itu negara peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta penyerahannya. Kemudian negara diminta mempertimbangkan apakah penyerahan dilakukan atau ditolak.

2.      Azas Kekhusussan atau Specially.

Sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni: Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi orang yang diminta. Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari negara lain.

Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang datang meminta

a.       Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya.

b.      Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan kepada pelaku tersebut:

3.      Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of Political Criminal).Perlindungan kepadanya.

Dengan demikian negara peminta apabila memandang bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain, karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta. Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena hak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benar menghormati hak azasi manusia secara formal dan material ataupun bagi negara-negara yang kurang menghormati. Bagi negara yang sudah menghormati hak-hak azasi manusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan intropeksi bagi negaranya.

4.      Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality)

Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili dinegaranya sendiri.

Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut. Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada, maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.

Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi. Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi demikian tidak dapat diterima. Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan mendapat prioritas utama bilamana terdapat lebih dari satu negara yang menuntutsuatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.

Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak azasi manusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.

Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi kemungkinan dapat tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara dikabulkan. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.

 

2.2    Sengketa Internasional

2.2.1        Pengertian sengketa internasional

Sengketa Internasional (international dispute) adalah perselisihan yang terjadi antara negara dan negara, antara negara dan individu-individu, atau antara negara dan badan-badan atau lembaga-lembaga yang menjadi subjek hukum Internasional.

Sengketa internasional adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.

 

2.2.2        Faktor terjadinya sengketa internasional

Politik luar negeri yang terlalu luwes atau sebaliknya terlalu kaku. Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan timbulnya sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham merupakan pemicu utama terjadinya konfl ik. Salah satu contohnya adalah sikap Inggris yang terlalu luwes (fleksibel) dalam masalah pengakuan pemerintahan Cina. Pada akhirnya mengakibatkan ketersinggungan pihak Amerika Serikat yang bersikap kaku terhadap Cina.

 

2.2.3        Unsur-unsur moralitas dan kesopanan antarbangsa

Dalam menjalin kerja sama atau berhubungan dengan bangsa lain, kesopanan antarbangsa penting untuk diperhatikan dalam etika pergaulan. Sebab jika kita menyalahi etika bisa saja timbul konfl ik atau ketegangan. Hal ini pernah terjadi saat Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan Malaysia, meskipun hubungan baik telah lama mereka jalin.


 

1.      Masalah klaim batas negara atau wilayah kekuasaan

Negara-negara yang bertetangga secara geografis berpeluang besar terjadi konflik atau sengketa memperebutkan batas negara. Hal ini dialami antara lain oleh Indonesia-Malaysia, India-Pakistan, dan Cina-Taiwan.

2.      Masalah hukum nasional (aspek yuridis) yang saling bertentangan

Hukum nasional setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Jika suatu negara saling bekerja sama tanpa mempertimbangkan hukum nasional negara lain, bukan tidak mungkin konfrontasi bisa terjadi. Hal ini terjadi saat Malaysia secara yuridis menentang cara-cara pengalihan daerah Sabah dan Serawak dari kedaulatan Kerajaan Inggris ke bawah kedaulatan Malaysia.

3.      Masalah ekonomi

Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali memicu terjadinya konflik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan memihak adalah penyebab terjadinya konflik. Hal ini dapat terlihat ketika Amerika Serikat mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian menjadikan konflik tegang antara Amerika Serikat dan Irak.

 

2.2.4        Macam-macam sengketa internasional

1.      Sengketa justisiabel

Sengketa justisiabel adalah sengketa yang dapat diajukan ke pengadilan atas dasar hukum internasional. Sengketa justisiabel sering disebut sebagai sengketa hukum, karena sengketa tersebut timbul dari hukum internasional dan diselesaikan dengan menerapkan hukum internasional.

2.      Sengketa non-justisiabel

Sengketa non-justisiabel adalah sengketa yang bukan merupakan sasaran penyelesaian pengadilan. Sengketa non-justisiabel sering dikenal sebagai sengketa politik karena hanya melibatkan masalah kebijaksanaan atau urusan lain di luar hukum, sehingga penyelesaian lebih banyak menggunakan pertimbangan politik. Penyelesaian politik ini ditempuh dengan jalan diplomasi melalui keahlian diplomasi dari para diplomatnya.

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:

1.      Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak

2.      Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.

3.      Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/ diputuskan oleh pihak ketiga.

4.      Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa.Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.

Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.

Perkembangan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa secara damai secara formal lahir dari diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag (The Hague Peace Conference) tahun 1899 dan tahun 1907. Konferensi perdamaian ini menghasilkan: “The Convention on the Pacific Settlement of International Disputes (1907)”

 

2.2.5        Karakteristik dari Sengketa Internasional

Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:

1.      Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

2.      Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport.

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :

1.      Negosiasi;

2.      Enquiry atau penyelidikan;

3.      Mediasi;

4.      Konsiliasi

5.      Arbitrase

6.      Judicial Settlement atau Pengadilan;

7.      Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.

Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.

Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

 

2.3    Penyelesaian Sengketa Internasional

2.3.1        Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:

1.      Prinsip itikad baik (good faith);

2.      Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;

3.      Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;

4.      Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;

5.      Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);

6.      Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);

7.      Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:

1.      Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;

2.      Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;

3.      Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;

4.      Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

 

2.3.2        Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik

Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

1.      Negosiasi

Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:

a.       Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;

b.      Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;

c.       Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;

d.      Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.

Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:

a.       Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;

b.      Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.

Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :

a.       Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka

b.      Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya

c.       Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.

d.      Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak

2.      Enquiry atau Penyelidikan

J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.

3.      Mediasi

Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.

Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).

Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.

Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

4.      Konsiliasi

Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.

Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).

Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

5.      Good Offices atau Jasa-jasa Baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

 


 

BAB III

PENUTUP

 

3.1    Kesimpulan

Pada umumnya, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.

Sengketa Internasional (international dispute) adalah perselisihan yang terjadi antara negara dan negara, antara negara dan individu-individu, atau antara negara dan badan-badan atau lembaga-lembaga yang menjadi subjek hukum Internasional.

Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa internasional secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju) 1990

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria, Pertanahn Indonesia, Jilid 2, (Jakarta, Prestasi Pustaka), 2004

Bahtiar Efendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung : Alumni), 2005

CST. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka) 1986

Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona Sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, (Jakarta, Ghalia Indonesia) 1985

Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta: Universitas Trisakti), 2005, cet I


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)