Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Tanggung Jawab Bidan Dalam Setting Pelayanan Kesehatan Serta Regulasinya dan Hak Asasi Reproduksi



MAKALAH
TANGGUNG JAWAB BIDAN DALAM SETTING PELAYANAN KESEHATAN SERTA REGULASINYA
&
HAK ASASI BEREPRODUKSI






KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji hanya bagiNya. Semoga sholawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, dan juga kepada para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Puji syukur Alhamdulilah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah-Nya. Sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul “Tanggung Jawab Bidan Dalam Setting Pelayanan Kesehatan Serta Regulasinya dan Hak Asasi Reproduksi” sebagai tugas mata kuliah profesionalisme kebidanan.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa Akbid Stikes Rajawali Bandung. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Maka kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk meyempurnakan makalah ini.
Dengan makalah ini,kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kami serta pembaca pada umumnya.


Penyusun




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C.     Tujuan........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN TEORI
A.    Tanggung Jawab Bidan Dalam Setting Pelayanan Kesehatan Dan Regulasinya             3
B.     Hak Asasi Bereproduksi............................................................................... 11

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................... 15
B.     Saran............................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 17






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan pelayanan kebidanan di Indonesia dimulai pada tahun 1807 ketika angka kematian ibu dan bayi tinggi sehingga dukun dilatih untuk pertolongan persalinan. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan (pada zaman Gubernur Daendles). Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851 dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja di rumah sakit juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesehatan secara fisik, mental, dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti bahwa orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan  mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan keinginannya, kapan dan frekuensinya. Hak-hak reproduksi merupakan hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap berbagai metode keluarga berencana yang mereka pilih, aman, efektif, terjangkau serta metode-metode pengendalian kelahiran lainnya yang mereka pilih dan tidak bertentangan dengan hukum serta perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak ini mencakup hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai sehingga para wanita mengalami kehamilan dan proses melahirkan anak secara aman, serta memberikan kesempatan bagi para pasangan untuk memiliki pasangan yang sehat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Tanggung Jawab Bidan Dalam Setting Pelayanan Kesehatan Dan Regulasinya
2.      Hak Asasi Manusia Dalam Bereproduksi

C.    Tujuan Penulisan
1.      Tanggung Jawab Bidan Dalam Setting Pelayanan Kesehatan Dan Regulasinya
2.      Hak Asasi Manusia Dalam Bereproduksi




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tanggung Jawab Bidan Dalam Setting Pelayanan Kesehatan Dan Regulasinya
Perkembangan pelayanan kebidanan di Indonesia dimulai pada tahun 1807 ketika angka kematian ibu dan bayi tinggi sehingga dukun dilatih untuk pertolongan persalinan. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan (pada zaman Gubernur Daendles). Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851 dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja di rumah sakit juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Kursus untuk dukun masih berlangsung sampai dengan sekarang yang memberikan kursus adalah bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lain. Seiring dengan pelatihan tersebut, didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dimana bidan sebagai penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, post natal, dan pemeriksaan bayi dan anak termasuk imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberikan pertolongan persalinan di rumah keluarga dan pergi melakukan kunjungan rumah sebagai upaya tindak lanjut dari pasca persalinan.
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam dan di luar gedung. Puskesmas berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan Posyandu mencakup kegiatan yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan ibu dan anak khususnya pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin, dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir termasuk pembinaan dukun bayi. Selain itu, bidan juga mengembangkan pondok bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat di desa. Pelayanan yang diberikan berorientas pada kesehatan masyarakat berbeda dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada kesehatan reproduksi, memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi safe motherhood termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus, keluarga berencana, penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan reproduksi pada orang tua.
Melalui Permenkes Nomor 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain. Selanjutnya, Permenkes Nomor 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes Nomor 623/1989, wewenang bidan dibagi menjadi wewenang umum dan khusus, untuk melaksanakan tindakan tertentu bidan harus di bawah pengawasan dokter. Hal ini tidak selalu dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, dikeluarkan Permenkes Nomor 572/VI/1996 yang mengatur registrasi dan praktik bidan. Dalam permenkes tersebut, bidan dalam melaksanakan prakteknya diberikan kewenangan yang mandiri. Kewenangan disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Kewenangan mencakup pelayanan kebidanan pada ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Kewenangan bidan yang terkait dengan ibu dan anak misalnya tindakan kuretasi digital untuk sisa jaringan konsepsi, vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul, resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfeksia dan hipotermia dan sebagainya. Pelayanan kebidanan dalam bidang keluarga berencana, bidan diberi wewenang antara lain memberikan alat kontrasepsi melalui oral, suntikan, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), memasang dan mencabut Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK), kondom, tablet serta tisu vaginal.
Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Bidan diwajibkan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia, meminta persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan, memberikan informasi serta melakukan rekam medis dengan baik. Untuk memberikan petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan, dikeluarkan Juklak yang dituangkan dalam Lampiran Keputusan Dirjen Binkesmas Nomor 1506 Tahun 1997. Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidaklah mudah karena kewenangan yang diberikan Departemen Kesehatan mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut dapat diawali dari institusi pendidikan yang berpedoman pada kompetensi inti bidan dan melalui institusi pelayanan dengan meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan kebutuhan.
Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar atau diregister yang dapat dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau rujukan. Praktik kebidanan adalah implementasi dari ilmu kebidanan oleh bidan yang bersifat otonom, kepada perempuan, keluarga dan komunitasnya didasari etika dan kode etik bidan. Manajemen asuhan kebidanan adalah pendekatan dan kerangka pikir yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari pengumpulan data, analisa data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Asuhan kebidanan adalah proses pengambilan keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan. Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebutuhan atau masalah dalam bidang kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana.
Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak-anak. Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan kebidanan dpaat dibedakan meliputi:
1.      Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung jawab bidan
2.      Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
3.      Layanan rujukan yaitu pengalihan tanggung jawab layanan oleh bidan kepada sistem layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun pengambil-alihan tanggung jawab layanan atau menerima rujukan dari penolong persalinan lainnya.

Di dalam Permenkes Nomor 1646/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, pelayanan kebidanan mencakup:
1.      Pelayanan kesehatan ibu
Pelayanan diberikan pada masa sebelum kehamilan, kehamilan, persalinan, nifas, menyusui dan masa antara dua kehamilan yang meliputi:
a.       Episiotomi atau disebut juga perineotomi adalah prosedur di mana kulit antara vagina dan anus dipotong (daerah ini disebut perineum) untuk memperbesar jalan lahir sebelum persalinan. Episiotomi dilakukan untuk mencegah sobekan vagina selama melahirkan.
b.      Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
c.       Penanganan kegawatdaruratan dilanjutkan degan perujukan
d.      Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
e.       Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
f.       Fasilitasi atau bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
g.      Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum (setelah melahirkan). Uterotonik adalahzat yang meningkatkan kontraksi uterus. Uterotonik banyak digunakan untuk induksi, penguatan persalinan, pencegahan serta penanganan perdarahan post partum, pengendapan perdarahan akibat abortus inkompletikus dan penanganan aktif pada kala persalinan. Pemberian obat uterotonik adalah salah satu upayauntuk mengatasi pendarahan pasca persalinan atau setelah lahirnya plasenta. Namun, pemberian obat ini sama sekali tidak dibolehkan sebelum bayi lahir. Keuntunganpemberian uterotonika ini adalah untuk mengurangi perdarahan kala tiga dan mempercepat lahirnya plasenta.
h.      Penyuluhan dan konseling
i.        Bimbingan pada kelompok ibu hamil
j.        Pemberian surat keterangan kematian
k.      Pemberian surat keteranan cuti bersalin

Persalinan merupakan proses alamiah dimana terjadinya dilatasi serviks lahirnya bayi dan plasenta dari rahim ibu. Adapun tanda-tanda persalinan adalah ibu merasakan ingin mengedan bersamaan dengan terjadinya kontraksi, ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum atau vagina, perineum terlihat menonjol, vulva vagina dan sfingter ani terlihat membuka dan peningkatan pengeluaran lendir dan darah. Pembagian kala persalinan dibagi menjadi empat kala, yaitu
a.       Kala I adalah persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm). persalinan kala I dibagi menjadi dua fase yaitu fase laten dan fase aktif. Fase laten adalah fase yang lambat yang dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks secara bertahap, pembukaan kurang dari 4 cm dan biasanya memerlukan waktu selama 8 jam pada saat primipara. Fase aktif adalah fase yang ditandai dengan frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya meningkat (kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika terjadi tiga kali atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik atau lebih, serviks membuka dari 4 ke 10 cm dan terjadi penurunan bagian terbawah janin.
b.      Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap dan berakhir dengan lahirnya bayi.
c.       Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhirnya dengan lehirnya plasenta dan selaput ketuban
d.      Kala IV persalinan dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir dua jam setelah itu. Pemantauan pada kala IV menjadi sangat penting terutama untuk menilai apakah terdapat risiko atau terjadinya perdarahan pasca persalinan.

2.      Pelayanan kesehatan anak
Pelayanan kesehatan anak diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita dan anak pra sekolah yang meliputi:
a.       Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi vitamin K1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0 hingga 28 hari) dan perawatan tali pusat.
b.      Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
c.       Penanganan kegawatdaruratan dilanjutkan dengan perujukan
d.      Pemberian imunisasi rutin sesuai degan program pemerintah
e.       Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
f.       Pemberian konseling dan penyuluhan
g.      Pemberian surat keterangan kelahiran
h.      Pemberian surat keterangan kematian

3.      Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana berwenang untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana dan memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.
Selain itu, bidan juga mempunyai wewenang menjalankan program pemerintah. Pelayanan yang diberikan seperti:
a.       Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
b.      Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di bawah supervisi dokter
c.       Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
d.      Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja dan penyehatan lingkungan
e.       Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
f.       Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
g.      Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap infeksi menular seksual termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya
h.      Pencegahan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya melalui informasi dan edukasi
i.        Pelayanan kesehatan lain yang merupkan program pemetitnnah.
Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, pelaksanaan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap infeksi menular seksual dan penyakit lainnya serta penceghan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, NAPZA hanya dapai dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
Asuhan kebidanan merupakan proses pengambilan keputusna dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan.
Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter (kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota) dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan. Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang, bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Dalam keadaan darurat yang dianjurkan untuk penyelamatan jiwa, seorang bidan berwenang melakukan pelayanan kebidanan selain kewenangannya.


B.     Hak Asasi Manusia Dalam Bereproduksi
Hak-hak reproduksi meliputi hal-hal berikut ini:
1.      Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
Setiap remaja berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi. Contohnya: seorang remaja harus mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2.      Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
Setiap remaja memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kehidupan reproduksinya termasuk perlindungan dari resiko kematian akibat proses reproduksi. Contoh: seorang remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan harus tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik agar proses kehamilan dan kelahirannya dapat berjalan dengan baik.
3.      Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
Setiap remaja berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan akan tetapi dengan melakukan upaya advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Contoh: seseorang dapat saja mempunyai pikiran bahwa banyak anak menguntungkan bagi dirinya dan keluarganya. Bila ini terjadi maka orang tersebut tidak boleh serta merta dikucilkan atau dijauhi dalam pergaulan. Upaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan setelah mempertimbangkan berbagai hal sebagai dampak dari advokasi dan KIE yang dilakukan petugas.
4.      Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
Setiap perempuan yang hamil dan akan melahirkan berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam arti mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sehingga terhindar dari  kemungkinan kematian dalam proses kehamilan dan melahirkan tersebut. Contoh: Pada saat melahirkan seorang perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya secara cepat terutama jika proses kelahiran tersebut berisiko untuk terjadinya komplikasi atau bahkan kematian. Keluarga tidak boleh menghalangi dengan berbagai alasan.
5.      Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.
Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimilikinya serta jarak kelahiran yang diinginkan. Contoh: Dalam konteks program KB, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan tidak boleh melakukan pemaksaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah besar. Yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai dampak negative dari memiliki anak jumlah besar dan dampak positif dari memiliki jumlah anak sedikit. Jikapun klien berkeputusan untuk memiliki anak sedikit, hal tersebut harus merupakan keputusan klien itu sendiri.
6.      Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Contoh: Dalam konteks adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi” pemaksaaan” atau “pengucilan” atau munculnya ketakutan dalam diri individu karena tidak memiliki hak kebebasan tersebut.
7.      Hak untuk bebas dari penganiyaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
Remaja laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan perlindungan dari kemungkinan berbagai perlakuan buruk di atas karena akan sangat berpengaruh pada kehidupan reproduksi. Contoh: Perkosaan terhadap remaja putrid misalnya dapat berdampak pada munculnya kehamilan yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan maupun oleh keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja berpengaruh pada kehidupan reproduksinya.
8.      Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya.
Setiap remaja berhak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, serta mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya dan kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja. Contoh: Jika petugas mengetahui tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, maka petugas berkewajiban untuk memberi informasi kepada remaja, karena mungkin pengetahuan tersebut adalah hal yang paling baru untuk remaja.
9.      Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga
Setiap individu dijamin haknya: kapan, dimana, dengaan siapa, serta bagaimana ia akan membangun keluarganya.Tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari norma agama,sosial dan budaya yang berlaku (ingat tentang adanya kewajiban yang menyertai adanya hak reproduksi). Contoh: Seseorang akan menikah dalam usia yang masih muda, maka petugas tidak bisa memaksa orang tersebut untuk membatalkan pernikahannya. Yang bisa diupayakan adalah memberitahu orang tersebut tentang peraturan yang berlaku di Indonesia tentang batas usia terendah untuk menikah dan yang penting adalah memberitahu tentang dampak negatif dari menikah dan hamil pada usia muda.
10.  Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam segala kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
Setiap orang tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena ras, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, keyakinan/agamanya dan kebangsaannya. Contoh: Orang tidak mampu harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas (bukan sekedar atau asal-asalan) yang tentu saja sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Demikian pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi hanya karena yang bersangkutan memiliki keyakinan berbeda dalam kehidupan reproduksi. Misalnya seseorang tidak mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan secara benar, hanya karena yang bersangkutan tidak ber-KB atau pernah menyampaikan suatu aspirasi yang berbeda dengan masyarakat sekitar. Pelayanan juga tidak boleh membedakan apakah seseorang tersebut perempuan atau laki-laki. Hal ini disebut dengan diskriminasi gender.
11.  Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya baik melalui pernyataan pribadi atau pernyataan melalui suatu kelompok atau partai politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Contoh: seseorang berhak menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap aborsi baik sebagai individu maupun bersama dengan kelompok. Yang perlu diingatkan adalah dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi tersebut harus memperhatikan azas demokrasi dan dalam arti tidak boleh memaksakan kehendak dan menghargai pendapat orang lain serta taat kepada hokum dan peraturan peraturan yang berlaku.
Penentuan kesehatan secara umum dan kesehatan reproduksi secara khusus, meliputi beberapa faktor diluar pelayanan kesehatan. Gaya gidup, perilaku dan keadaan sosial ekonomi memegang peranan penting dalam mempromosikan kesehatan reproduksi.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Melalui Permenkes Nomor 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain. Selanjutnya, Permenkes Nomor 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes Nomor 623/1989, wewenang bidan dibagi menjadi wewenang umum dan khusus, untuk melaksanakan tindakan tertentu bidan harus di bawah pengawasan dokter. Hal ini tidak selalu dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, dikeluarkan Permenkes Nomor 572/VI/1996 yang mengatur registrasi dan praktik bidan. Dalam permenkes tersebut, bidan dalam melaksanakan prakteknya diberikan kewenangan yang mandiri. Kewenangan disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Kewenangan mencakup pelayanan kebidanan pada ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Di dalam Permenkes Nomor 1646/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, pelayanan kebidanan mencakup: Pelayanan kesehatan ibu, Pelayanan kesehatan anak serta Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
Hak-hak reproduksi meliputi hal-hal berikut ini:
1.      Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2.      Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
3.      Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
4.      Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
5.      Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.
6.      Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
7.      Hak untuk bebas dari penganiyaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
8.      Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya.
9.      Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga
10.  Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam segala kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
11.  Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.



DAFTAR PUSTAKA

Sofyan, Mustika, dkk. 2008. 50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia: Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: Pengurus Pusat IBI.
Lisnawati, Lilis. 2012. Panduan Praktis Menjadi Bidan Komunitas (Learn to be Great Midwife in Community). Jakarta: TIM. Hlm. 9-10.
Sari, Rury Narulita. 2012. Konsep Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)