Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

STRATEGI KESEHATAN MASYARAKAT DALAM PELAYANANAN KEBIDANAN



STRATEGI KESEHATAN MASYARAKAT
DALAM PELAYANANAN KEBIDANAN


A.    STRATEGI PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN
Promosi kesehatan adalah salah satu bentuk upaya pelayanan kesehatan yang berorientasi pada penyampaian informasi tentang kesehatan guna penanaman pengetahuan tentang kesehatan sehingga tumbuh kesadaran untuk hidup sehat. Salah satu tujuan dan untuk melakukan promosi kesehatan yang diselenggarakan, mendukung tumbuhnya gerakan hidup sehat di masyarakat, serta meningkatkan mutu layanan kesehatan yang dapat memberikan kepuasan pada masyarakat. 
Maka dari itu perlu dilakukan strategi pendekatan pada promosi kesehatan agar tujuan yang dicanangkan dapat terealisasikan. Strategi ialah upaya bagaimana mewujudkan tujuan promosi kesehatan atau cara pendekatan agar tujuan promkes tercapai secar efektif dan efisien. Strategi promosi kesehatan diarahkan untuk:
1.    Mengembangkan kebijakan guna mewujudkan masyarakat yang sehat
2.    Membina suasana, iklim, dan lingkungan yang mendukung
3.    Memperkuat, mendukung, dan mendorong kegiatan masyarakat
Strategi promosi kesehatan diarahkan untuk:
4.    Memperkuat, mendukung, dan mendorong kegiatan masyarakat
5.    Meningkatkan kemampuan dan keterampilan perorangan
6.    Mengupayakan pembangunan kesehatan yang lebih memberdayakan masyarakat
Terdapat dua Strategi Promokes, yaitu:
a.    Strategi Global menurut WHO (1984)
b.    Strategi Promkes berdasarkan Piagam Ottawa

B.     PENDEKATAN PROMKES MENURUT STRATEGI GLOBAL
Strategi global promosi kesehatan diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1984, di mana ada tiga strategi pokok untuk mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan yaitu Advokasi, Dukungan Sosial (Social Support), dan Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment).

1.        Advokasi
Melakukan pendekatan atau lobi (lobbying) dengan para pembuat keputusan agar mereka menerima commited dan akhirnya mereka bersedia mengeluarkan kebijakan atau keputusan-keputusan untuk membantu dan mendukung program yang akan dilaksanakan. Kegiatan ini disebut advokasi. Dengan kata lain, advokasi dapat diartikan sebagai upaya pendekatan (approaches) terhadap orang lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan. Dalam pendidikan kesehatan para pembuat keputusan baik baik di tingkat pusat maupun daerah disebut sasaran tersier. Bentuk kegiatan advokasi bias dilakukan secara formal dan informal.
Bentuk kegiatan advokasi antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Lobi politik (political lobbying)
Lobi adalah berbincang-bincang secara informal dengan para pejabat untuk menginformasikan dan membahas masalah dan program kesehatan yang akan dilaksanakan. Langkah-langkah yang akan dilaksanakan dimulai dari penyampaian masalah kesehatan yang ada, dampak dari masalah kesehatan, kemudian solusi untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut. Pada saat lobi harus disertai data yang akurat (evidence based) tentang masalah kesehatan tersebut.
b.      Seminar dan atau presentasi
Seminar atau persentasi menyajikan masalah kesehatan di hadapan para pembuat keputusan baik lintas program maupun lintas sektoral. Penyajian masalah kesehatan disajikan secara lengkap dengan data dan ilustrasi yang menarik, serta rencana program dan pemecahannya. Kemudian masalah tersebut dibahas bersama-sama dan pada akhirnya akan diperoleh komitmen dan dukungan terhadap program yang akan dilaksanakan.
c.       Media
Advokasi media adalah melakukan kegiatan advokasi dengan menggunakan media, khusunya media massa (media cetak dan media elektronik). Masalah kesehatan disajikan dalam bentuk tulisan dan gambar, berita, diskusi interaksif, dan sebagainya. Media massa mempunyai kemampuan yang kuat untuk membentuk opini publik dan dapat mempengaruhi bahkan merupakan tekanan (pressure) terhadap para penentu kebijakan dan para pengambil keputusan.
d.      Perkumpulan (asosiasi) peminat
Asosiasi atau perkumpulan orang-orang yang mempunyai minat atau keterkaitan terhadap masalah tertentu, termasuk juga perkumpulan profesi. Misalnya perkumpulan masyarakat peduli AIDS, kemudian kelompok ini melakukan kegeiatan-kegiatan untuk menanggulangi AIDS. Kegiatan tersebut dapat memberikan dampak terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil para birokrat di bidang kesehatan dan para pejabat lain untuk peduli HIV/AIDS.
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan para penentu kebijakan atau para pembuat keputusan sehingga mereka memberikan dukungan, baik kebijakan, fasilitas, maupun dana terhadap program yang ditawarkan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang dapat memperkuat argumentasi pada saat melakukan advokasi, yaitu sebagai berikut :
a. Meyakinkan (credible)
Program yang ditawarkan harus meyakinkan para penentu kebijakan dan pembuat keputusan. Oleh karena itu, harus didukung oleh data dari sumber yang dapat dipercaya. Dengan kata lain program yang diajukan harus didasari oleh permasalahan yang utama dan factual artinya masalah tersebut memang ditemukan di lapangan dan penting untuk segera diatasi. Kalau tidak diatasi akan membawa dampak yang lebih besar dari masyarakat.
b. Layak (feasible)
Program yang diajukan harus tersebut secara teknis, politik, dan ekonomi harus memungkinkan atau layak. Layak secara teknis artinya program tersebut dapat dilaksanakan dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Layak secara politik artinya program yang diajukan tidak akan membawa dampak politik pada masyarakat. Layak secara ekonomi artinya program tersebut didukung oleh dana yang cukup, dan apabila program tersebut merupakan program layanan, maka masyarakat mampu membayarnya


c. Relevan (relevant)
Program yang diajukan tersebut minimal harus mencakup dua kriteria yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat dan benar-benar dapat memecahkan masalah yang dirasakan masyarakat. Oleh sebab itu semua program harus ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat dengan cara membantu pemecahan masalah masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
d. Penting (urgent)
Program yang diajukan tersebut harus mempunyai urgensi yang tinggi dan harus segera dilaksanakan, kalau tidak akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Oleh sebab itu, program yang diajukan adalah program yang paling penting di antara program-program yang lain.
e. Prioritas tinggi (high priority)
Program mempunyai prioritas tinggi apabila feasible baik secara teknis, politik maupun ekonomi, relevan dengan kebutuhan masyarakat dan mampu memecahkan masalah kesehatan masyarakat

2.        Dukungan Sosial (Social support)
Dukungan sosial ialah menjalin kemitraan untuk pembentukan opini publik dengan berbagai kelompok opini yang ada di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha / swasta media massa, organisasi profesi, pemerintah, dll. Bina suasana dilakukan untuk sasaran sekunder atau petugas pelaksana di berbagai tingkat administrasi (dari pusat hingga desa).
Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan social melalui tokoh masyarakat, baik formal maupun informal. Kegiatan promkes memperoleh dukungan sosial atau bina suasana dari tokoh masyarakat atau tokoh keluarga sehingga dapat menjembatani antara pengelola promkes dengan masyarakat. Kegiatan mencari dukungan sosial melalui tokoh masyarakat pada dasarnya adalah mensosialisasikan program-program kesehatan agar masyarakat mau menerima dan berpartisipasi terhadap program kesehatan.
Oleh sebab itu, strategi ini dapat dikatakan sebagai upaya bina suasana atau membina suasana yang kondusif terhadap kesehatan yaitu upaya untuk membuat suasana atau iklim yang kondusif atau menunjang pembangunan kesehatan sehingga masyarakat terdorong untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat. Beberapa bentuk kegiatan tersebut adalah pelatihan-pelatihan para tokoh masyarakat, seminar, lokakarya, pendidikan / penyuluhan, sarasehan, pertemuan berkala, kunjungan lapangan, study banding dan sebagainya. Sasaran pada dukungan social adalah sasaran sekunder, misalnya tokoh masyarakat dan tokoh keluarga.

3.        Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kemampuan masyarakat agar dapat berdiri sendiri, serta memiliki keterampilan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan mereka sendiri
Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (visi promosi kesehatan). Bentuk kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan, antara lain: penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk misalnya: koperasi, pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (income generating skill). Sasaran pemberdayaan masyarakat adalah sasaran primer.
Dengan meningkatnya kemampuan ekonomi keluarga akan berdampak terhadap kemampuan dalam pemeliharan kesehatan mereka, misalnya: terbentuknya dana sehat, terbentuknya pos obat desa, berdirinya polindes, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan semacam ini di masyarakat sering disebut "gerakan masyarakat" untuk kesehatan.



C.    STRATEGI BERDASARKAN OTAWA CHARTER
Konferensi lnternasional Promosi Kesehatan di Ottawa Canada pada tahun 1986 menghasilkan Piagam Ottawa (Ottawa Charter). Di dalam Piagam Ottawa tersebut dirumuskan pula strategi baru promosi kesehatan, yang mencakup 5 butir, yaitu:
1.    Kebijakan Berwawasan Kebijakan (Healthy Public Policy)
Adalah suatu strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada para penentu atau pembuat kebijakan, agar mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik yang mendukung atau menguntungkan kesehatan. Dengan perkataan lain, agar kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan, perundangan, surat-surat keputusan, dan sebagainya, selalu berwawasan atau berorientasi kepada kesehatan publik. Misalnya, ada paraturan atau undang-undang yang mengatur adanya analisis dampak lingkungan untuk mendirikan pabrik, perusahaan, rumah sakit, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan (kesehatan masyarakat).
2.    Lingkungan yang Mendukung (Supportive Environment)
Strategi ini ditujukan kepada para pengelola tempat umum, termasuk pemerintah kota, agar mereka menyediakan sarana¬prasarana atau fasilitas yang mendukung terciptanya perilaku sehat bagi masyarakat, atau sekurang-kurangnya pengunjung tempat-tempat umum tersebut. Lingkungan yang mendukung kesehatan bagi tempat-tempat umum antara lain: tersedianya temp at sampah, tersedianya temp at buang air besar / kecil, tersedianya air bersih, tersedianya ruangan bagi perokok dan non-perokok, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, para pengelola tempat-tempat umum, pasar, terminal, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, mall, dan sebagainya, harus menyediakan sarana-prasarana untuk mendukung perilaku sehat bagi pengunjungnya.
3.    Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Services)
Sudah nienjadi pemahaman masyarakat pada umumnya, bahwa dalam pelayanan kesehatan itu ada "provider" dan "consumer". Penyelenggara (penyedia) pelayanan kesehatan adalah pemerintah dan swasta dan masyarakat adalah sebagai pemakai atau pengguna pelayanan kesehatan. Pemahaman semacam ini harus diubah, harus direorientasi lagi, bahwa masyarakat bukan hanya sekadar pengguna atau penerima pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga sebagai penyelenggara juga, dalam batas-batas tertentu. Realisasi dari reorientasi pelayanan kesehatan ini adalah, para penyelenggara pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta harus melibatkan, bahkan memberdayakan masyarakat agar mereka juga dapat berperan bukan hanya sebagai penerima pelayanan kesehatan, tetapi juga sekaligus sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan masayarakat. Dalam mereorientasikan pelayanan kesehatan ini peran promosi kesehatan sangat penting.
4.    Keterampilan individu (Personel Skill)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat, yang rerdiri dari individu, keluarga, dan kelompok-kelompok. Oleh sebab, itu, kesehatan masyarakat akan terwujud apabila kesehatan individu-individu, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok tersebut terwujud. Oleh sebab itu, strategi untuk mewujudkan keterampilan individu-individu (personel skill) dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah sangat penting. Langkah awal dari peningkatan keterampilan dalam memelihara dan meningkatan kesehatan mereka ini adalah memberikan pemahaman-pemahaman kepada anggota masyarakat tentang cara-cara memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengenal penyakit, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan profesional, meningkatkan kesehatan, dan sebagainya. Metode dan teknik pemberian pemahaman ini lebih bersifat individual daripada massa.
5.    Gerakan Masyarakat (Community Action)
Untuk mendukung perwujudan masyarakat yang mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya seperti tersebut dalam visi promosi kesehatan ini, maka di dalam masyarakat itu sendiri harus ada gerakan atau kegiatan-kegiatan untuk kesehatan. Oleh sebab itu, promosi kesehatan harus mendorong dan memacu kegiatan-kegiatan di masyarakat dalam mewujudkan kesehatan mereka. Tanpa adanya kegiatan masyarakat di bidang kesehatan, niscaya terwujud perilaku yang kondusif untuk kesehatan, atau masyarakat yang mau dan mampu memelihara serta meningkatkan kesehatan mereka.

D.    LIMA PENDEKATAN PROMKES (Similarly, Ewles dan Simnett (1999))
1.     Pendekatan Medik
Tujuan dari pendekatan ini adalah kebebasan dari penyakit dan kecacatan yang didefinisikan secara medic, seperti penyakit infeksi, kanker, dan penyakit jantung. Pendekatan ini melibatkan kedokteran untuk mencegah atau meringankan kesakitan, mungkin dengan metode persuasive maupun paternalistic. Sebagai contoh, memberitahu orang tua agar membawa anak mereka untuk imunisasi, wanita untuk memanfaatkan klinik keluarga berencana dan pria umur pertengahan untuk dilakukan screening takanan darah. Pendekatan ini memberikan arti penting dari tindakan pencegahan medik dan tanggung jawab profesi kedokteran untuk membuat kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.
2.        Pendekatan Perubahan Perilaku
Tujuan dari pendekatan ini adalah mengubah sikap dan perilaku individu masyarakat, sehingga mereka mengambil gaya hidup “sehat’’. Contohnya antara lain mengajarkan orang bagaimana menghentikan merokok, mendorong orang untuk melakukan latihan olahraga, memelihara gigi, makan makanan yang baik dan seterusnya.
Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini akan merasa yakin bahwa gaya hidup “sehat’’ merupakan hal paling baik bagi kliennya dan akan melihatnya sebagai tanggung jawab mereka untuk mendorong sebanyak mungkin orang untuk mengadopsi gaya hidup sehat yang menguntungkan.
3.        Pendekatan Edukasional
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberikan informasi dan memastikan pengetahuan dan pemahaman tentang perihal kesehatan dan membuat keputusan yang ditetapkan atas dasar informasi yang ada. Informasi tentang kesehatan disajikan dan orang dibantu untuk menggali nilai dan sikap, dan membuat keputusan mereka sendiri.
Bantuan dalam melaksanakan keputusan-keputusan itu dan mengadopsi praktek kesehatan baru dapat pula ditawarkan, program pendidikan kesehatan sekolah, misalnya menekankan membantu murid mempelajari ketrampilan hidup sehat, tidak hanya memperoleh pengetahuannya. orang-orang yang mendukung pendekatan ini akan memberi arti tinggi bagi proses pendidikan, akan menghargai hal individu untuk memilih perilaku mereka sendiri, dan akan melihatnya sebagai tanggung jawab mereka mengangkat bersama persoalan-persoalan kesehatan yang mereka anggap menjadi hal yang paling baik bagi klien mereka.
Promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan
Hal ini bukan hal umum untuk promosi kesehatan dikelirukan dengan pendidikan kesehatan. Istilah ini tidak seharusnya digunakan dengan dapat dipertukarkan. Promosi kesehatan mencakup seluruh aktivitas yang bertujuan untuk mempromosikan gaya hidup sehat; pendidikan kesehatan merupakan bagian integral dari prosesnya. Dines dan Crib (1993) menggambarkan promosi kesehatan sebagai istilah cakupan luas dibandingkan pendidikan kesehatan dan menunjuk kepada pendidikan kesehatan plus.
Penjelasan ini menyediakan sedikit kejelasan untuk cakupan promosi kesehatan. Aktivitas promosi kesehatan yang termasuk, contohnya, pengembangan komunitas kerja dan aksi politik menyimpang di luar jangkauan promosi kesehatan dan dicakup dalam didiplin promosi kesehatan yang lebih luas. Pendekatan tradisional ke dalam pendidikan kesehatan ditujukan untuk mencegah penyakit, dalam meningkatkan gaya hidup sehat.
Pendekatan ini dimulai sejak abad ke-19 di mana masyarakat diajari dan meningkat kegelisahannya dipandu ke gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit. Sasaran dari pendidikan kesehatan modern adalah bekerja dengan pendekatan individual sebuah tingkat atau bagian dari kesehatan melalui strategi kemungkinan. Hal ini menggunakan dasar yang terfasilitasi. Pengenalan pendekatan membujuk dan peningkatan kegelisahan diproduktifkan untuk hal pokok dan penghargaan kesehatan. Landasan dari pendidikan kesehatan modern adalah pemberdayaan (Tones 1992). Pendidikan kesehatan modern dilihat sebagai elemen penting dalam promosi kesehatan. perawat secara aktif termasuk ke dalam bagian antara promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan dan memiliki relasi yang unik dengan perempuan dan keluarganya untuk mempengaruhi penggunaan gaya hidup sehat.
4.     Pendekatan Berpusat Pada Klien
Tujuan dari pendekatan ini adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu mereka mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat keputusan dan pilihan mereka sendiri sesuai dengan kepentingan dan nilai mereka. Peran promotor kesehatan adalah bertindak sebagai fasilitator, membantu orang mengidentifikasi kepedulian-kepedulian mereka dan memperoleh pengetahuan serta ketrampilan yang mereka butuhkan agar memungkinkan terjadi perubahan. Pemberdayaan diri sendiri klien dilihat sebagai central dari tujuan ini. Klien dihargai sama yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan berkontribusi dan siapa yang mempunyai hak absolute untuk mengontrol tujuan kesehatan mereka sendiri.
5.        Pendekatan Perubahan Sosial
Tujuan dari pendekatan ini adalah melakukan perubahan-perubahan pada lingkungan fisik, social dan ekonomi, supaya dapat membuatnya lebih mendukung untuk keadaan yang sehat. Hal utama bukan untuk mengubah tetapi mempengaruhi kesehatan masyarakat. Contohnya adalah mengubah masyarakat, bukan pada pengubahan perilaku individu-individunya.
Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan nilai penting bagi hak demokrasi mereka mengubah masyarakat, mempunyai komitmen pada penempatan kesehatan dalam agenda politik di berbagai tingkat dan pada pentingnya pembentukan lingkungan yang sehat daripada pembentukan kehidupan individu-individu orang yang tinggal di tempat itu. Pendekatan ini menyatakan kemunduran sosial ekonomi sebagai faktor dari sakit. Hal ini dipusatkan dengan membuat lingkuangan, perubahan sosial dan ekonomi dengan rencana kebijakan, aksi perubahan politik dan kolaborasi yang lebih luas dengan pembuat keputusan.


Penerapan Strategi Kesehatan Masyarakat dalam Pelayanan Kebidanan
Penerapan Strategi Kesehatan Masyarakat dalam Pelayanan Kebidanan yaitu memberikan pelayanan pada antenatal, intranatal, post partum dan BBL terintegritas sesuai standar operasional (SOP)


SKRINING DAN SUPORT KASUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN, IBU DAN BAYI
a.      KEKERASAN PADA PEREMPUAN
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah utama bagi setiap negara-negara di dunia termasuk negara-negara maju yang disebut sangat menghargai dan peduli terhadap Hak Asasi Manusia. Sudah seharusnya dalam suatu Negara dibutuhkan adanya perlindungan bagi para wanita yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang salah satunya adalah hak-hak perempuan terutama korban kekerasan seksual.
Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Dalam Konvensi Penghapusaan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan terdapat 30 Pasal, diantaranya lima pasal pertama memuat dasar pemikiran penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pasal 6-16 memuat hak-hak substantif dan kewajiban pemerintah. Pasal 17-30 memuat ketentuan-ketentuan mengenai struktur kelembagaan, prosedur dan mekanisme pelaporan pelaksanaan Konvensi, ratifikasi san aksesi Konvensi, dan apabila terjadi perselisihan mengenai penerapan dan penafsiran Konvensi.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan memang tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 3 memuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan atas warga negaranya, negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia kelompok perempuan sama seperti jaminan kepada kelompok lainnya. Karena perempuan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang juga harus dilindungi hak asasinya, maka pelanggaran terhadap hak asasi perempuan harus juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM secara umum.
Perempuan harus dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak asasinya, karena perempuan dalam kajian dan pengaturan beberapa konvensi internasional dimasukan ke dalam kelompok yang rentan, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok yang rentan lainnya. Kelompok perempuan dimasukan ke dalam kelompok yang lemah, tak terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko serta sangat rentan terhadap bahaya, yang salah satu diantaranya adalah adanya kekerasan yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi daripada laki-laki.
Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lebih khusus lagi, jaminan atas hak asasi perempuan dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Pengesahan Konvensi Perempuan. Didalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tersebut dinyatakan bahwa negara akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk adanya kekerasan terhadap perempuan, baik yang meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di wilayah domestik.
Melalui hukum, hak-hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan diakui dan dilindungi, karenanya hukum akan selalu dibutuhkan untuk mengakomodasi adanya komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia warganya, termasuk perempuan.
Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi diruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap perempuan sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi Negara, seperti tercantum dalam pasal 28 UUD 1945, UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Anak dan perempuan harus mendapat perhatian dan penanganan yang lebih serius dari aparat penegak hukum. Termasuk lembaga negara yang memiliki mandat dalam isu perempuan dan anak. Perlu juga partisipasi aktif masyarakat dan media masa.
Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1983) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai:

“Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin barakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”

Hak asasi manusia haruslah dijunjung tinggi sebagai perhormatan terhadap umat manusia agar manusia dapat hidup dengan penuh kedamaian dan keadilan tanpa dibayang-bayangi oleh perlakuan atau tindakan diskriminasi. Dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrminisi Terhadap Perempuan memberikan definisi tentang diskriminasi terhadap perempuan, yaitu:

Pasal 1 “Setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”.

Dari definisi tersebut maka kita bisa mengetahui bahwa diskriminasi terhadap perempuan jelas sekali bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena diskriminasi jelas melakukan pengucilan dan melakukan pembatasan terhadap ruang gerak kaum perempuan, sehingga perempuan tidak dapat menikmati hak yang seharusnya menjadi miliknya.
Sesuai dengan hukum yang ada di negara Indonesia yang menjamin kelangsungan hidup dan pemenuhan hak serta kewajiban warga negaranya tanpa pembedaan berdasarkan golongan, etnis, suku, agama, dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Baik dalam hal pemerintahan, sosial, ekonomi maupun politik. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) negara menyatakan bahwa:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Artinya, setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan tanpa perbedaan apapun termasuk perbedaan jenis kelamin.
Diskriminasi pada era sekarang ini tidak lagi sekedar perlakuan yang tidak adil kepada perempuan, namun lebih dari pada itu. Diskriminasi sudah menjelma menjadi beberapa bentuk yang itu ternyata tidak didasari oleh kaum perempuan bahkan dianggap benar dan wajar.
Dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam lima pasal pertama yang memuat dasar pemikiran penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dapat diklasifikasikan, yaitu: Pasal 1 memuat definisi kerja (working definition) mengenai arti diskriminasi terhadap perempuan, Pasal 2 memuat Langkah kebijaksanaan untuk menghapus diskriminasi, Pasal 3 memuat Jaminan Hak Asasi, Pasal 4 memuat Ketentuan-ketentuan khusus untuk mencapai persamaan, Pasal 5 memuat Mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya dan stereotype, Pasal 6 memuat Eksploitasi pelacuran.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa negara berkewajiban untuk terus berusaha menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk perdagangan terhadap perempuan dan juga eksploitasi seksual yang dapat merendahkan martabat kaum perempuan dan dapat menghapuskan penikmatan terhadap hak-hak perempuan.

b.      KEKERASAN PADA IBU
Prevalensi kekerasan pada ibu selama kehamilan berkisar antara 0,9%-20,1%. Kesempatan untuk melakukan penganiayaan meningkat 60% saat seorang wanita hamil. Selama kehamilan kekerasan dalam rumah tangga meningkat karena kehamilan menimbulkan tanggung jawab dan masalah baru pada pasangan (Gazmararian, dkk dalam Jasinski, 2004; Bobak, 2005; Deveci, 2007).
Selain kekerasan fisik, beberapa peneliti menemukan bentuk lain dari kekerasan, seperti kekerasan verbal dan pelecehan seksual dapat berdampak pada kehamilan (Jasinski & Kaufman Kantor; Parker, McFarlane & Soeken; Shumway, dkk dalam Jasinski, 2004).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT selama kehamilan meliputi kehamilan yang tidak diharapkan, stres akibat kehamilan, jumlah anak yang banyak (multipara), penggunaan alkohol dan obat- obatan (subtance abuse).
Kehamilan yang tidak direncanakan beresiko membuat wanita mengalami KDRT empat kali lebih besar dari wanita dengan kehamilan yang direncanakan (Gazmararian dalam O’Reilly, 2007). Kekerasan juga terjadi jika pasangan atau suami merasa kehamilan lebih cepat dari waktu yang diharapkan (Jasinski dalam O’Reilly, 2007).
Peningkatan stres yang dialami oleh pasangan dapat memicu kekerasan selama kehamilan. Stres tersebut disebabkan karena pasangan merasa tanggung jawab materi yang harus dipenuhi semakin banyak. Hal ini mengakibatkan pasangan harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Stres juga terjadi akibat pasangan belum siap menjadi seorang ayah dan pria lebih enggan mencari bantuan untuk mengatasi stres atau kebutuhan emosional sehingga menimbulkan stres yang bekepanjangan (Condon dalam O’Reilly, 2007).
Selain stres, Sagala (2010) mengatakan bahwa pada saat hamil, pasangan (pria) lebih cenderung menggunakan alkohol sehingga ia lebih mudah marah,
depresi dan mempunyai sikap yang negatif. Penyalahgunaan alkohol pada pria ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Masalah sosial ekonomi seperti pendapatan yang rendah, pendidikan yang rendah, pengangguran juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (O’Reilly, 2007).
Menurut Suryakusuma (1995), efek psikologis dari tindakan penganiayaan terhadap perempuan lebih parah dibandingkan dengan efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, stress post traumatic, serta gangguan pola makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan tersebut. Tidak jarang bahwa akibat dari tindakan kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan secara sosiologis. Istri yang mengalami kekerasan sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan terhadap mereka.
Efek fisik yang ditimbulkan dari kekerasan selama kehamilan yaitu memar, lebam, patah tulang, trauma abdomen, penurunan berat badan, infeksi pada serviks, vagina dan ginjal, perdarahan vagina, peningkatan penyakit kronis, perawatan pra lahir yang tertunda, komplikasi selama kehamilan, infeksi rahim, berat bayi lahir rendah, ruptur membran, abruption placenta, keguguran, dan dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan janin (Anonim, 1992).
Perawatan kehamilan yang tertunda merupakan faktor resiko terjadinya komplikasi kehamilan seperti persalinan prematur dan berat bayi lahir rendah. Hal ini dibuktikan dalam penelitian bahwa saat ibu megalami kekerasan maka perawatan kehamilan dua kali lebih mungkin untuk mulai dilakukan pada trimester ketiga. Padahal perawatan kehamilan seharusnya mulai dilakukan pada semester pertama kehamilan. (Dietz, dkk; Gazmararian, dkk; Goodwin, dkk; McFarlane, dkk; Parker; Parker, dkk; Parker, McFarlane, Soeken, Torres & Campbell dalam Jasinski, 2004).
Selain trauma fisik dan psikis pada ibu hamil, trauma janin merupakan salah satu efek negatif yang paling serius dari kekerasan selama kehamilan. Dampak buruk dari trauma janin adalah keguguran, dan aborsi spontan (Jasinski, 2004).
Perilaku yang tidak sehat dari ibu hamil seperti merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan konsumsi minuman beralkohol merupakan efek yang ditimbukan dari kekerasan yang diterimanya. Beberapa studi menemukan bahwa perempuan korban kekerasan lebih mungkin untuk merokok dibandingkan perempuan yang tidak mendapatkan perilaku kekerasan (Cokkinides & Coker; Cokkinides, dkk; Grimstad, dkk; Martin, dkk; McFarlane & Parker; Wiemann, dkk, dalam Jasinski, 2004).
Selain perilaku tidak sehat yang dilakukan oleh ibu hamil, beberapa studi menemukan bahwa kekerasan berhubungan dengan buruknya kondisi kesehatan ibu. Dari ulasan literatur yang dilakukan oleh Bohn dan Holz dalam Jasinski (2004) mengidentifikasi masalah kesehatan lain yang timbul seperti diet yang tidak sehat, depresi berat setelah melahirkan, dan kesulitan menyusui dialami oleh korban yang mengalami kekerasan selama kehamilan. Peneliti lain menemukan bahwa perempuan korban kekerasan yang mengalami stres kurang mendapat dukungan dari pasangan mereka dan orang lain. Selain itu, terdapat masalah kesehatan pada ibu seperti depresi berat, harga diri rendah, infeksi ginjal, berat badan rendah, anemia, dan perdarahan pada trimester pertama atau kedua (Curry & Harvey; Horrigan, dkk; Cokkinides, dkk; Parker, dkk dalam Jasinski, 2004).
Peneliti lain yang berfokus pada interval antara kehamilan, menemukan bahwa korban kekerasan cenderung memiliki interval yang sangat singkat antara kehamilan (disebut kehamilan ulang yang cepat) (Jacoby dkk; Parker, dkk dalam Jasinski, 2004).

Kekerasan dalam rumah tangga memiliki efek buruk pada kesehatan ibu hamil dan janinnya baik sebelum dan setelah lahir. Beberapa studi telah menemukan hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan berat lahir rendah, keguguran dan persalinan prematur (Bacchus, dkk 2004).
Menurut Wadhwa (2005) stress yang dialami ibu selama kehamilan memicu respon Hipotalamus-hipofisis Adrenal ibu (HPA) untuk melepaskan kortisol dan meningkatkan Cortico-Tropin Releasing Hormone (CRH) dalam plasenta manusia. Peningkatan kadar CRH plasenta berhubungan dengan kelahiran prematur dan keterlambatan pertumbuhan janin.
Stres psikososial selama kehamilan mengakibatkan hasil perkembangan yang buruk pada janin, seperti berat bayi lahir rendah dan durasi kehamilan yang lebih pendek, berkurangnya perawatan neonatal dan adanya kebiasaan anak dengan rangsangan serta peningkatan risiko Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), skizofrenia, gangguan berbicara dan kelainan sosial (Schneider & Moore, 2003).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jika seorang ibu mengalami stres, cemas atau depresi saat hamil, janinnya berisiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah, seperti gangguan emosional, ADHD, gangguan perilaku dan gangguan perkembangan kognitif. Dalam penelitian tersebut ditemukan pola sidik jari anak berubah, sebuah perubahan yang mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan dalam perkembangan otak, perubahan struktur dan fungsi otak terbukti berhubungan dengan stres selama kehamilan (Glover, 2011).
Penelitian yang dilakukan secara berkelompok di beberapa negara menghubungkan antara stres atau kecemasan selama kehamilan dengan perkembangan janin yang dilahirkan. Hasil temuan dari penelitian tersebut adalah kemampuan kognitif dan bahasa yang rendah, pertumbuhan yang sulit atau terhambat, temperamen emosional yang reaktif, mengalami masalah dengan perilaku, dan buruknya perkembangan saraf. Gangguan pertumbuhan ini berhubungan dengan stres atau kecemasan yang dialami selama kehamilan (O’Connor, 2011).
Kecemasan atau depresi yang dialami oleh ibu mengakibatkan masalah temperamen pada bayi, reaktivitas perilaku terhadap rangsangan baru, perkembangan motorik dan kognitif yang mengalami keterlambatan dan masalah-masalah lain pada anak seperti kecemasan, rentang perhatian yang berkurang dan masalah perilaku (Austin dkk, 2005; Huizink dkk, 2002; Wadhwa, 2005; Huizink dkk, 2003; Glover, 2005;
O'Connor dkk, 2002; O'Connor dkk, 2003).
c.       KEKERASAN PADA BAYI
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sudah tentu dalam proses belajar, anak cenderung melakukan kesalahan. Namun, dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun, orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
Kekerasan anak dapat terjadi dimana saja, dan oleh siapa saja. Di rumah kekerasan biasanya di lakukan oleh orangtua, kakak, dan pembantu. Sedangkan di lingkungan sekolah kekerasan tersbut dapat di lakukan oleh guru, teman-teman, dan kakak kelasnya. Dan juga di di lingkungan tempat dia bermain kekerasan juga dapat terjadi.
Beberapa faktor memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
1)      Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan Universitas Sumatera Utara mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.

2)      Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
3)      Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
4)      Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak
1)      Kekerasan secara Fisik (physical abuse)
Kekerasan fisik (Physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak,dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika.    
Seorang gadis Kristen yang memar dan dibakar selama kekerasan Orissa pada bulan Agustus 2008. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang berharga.
2)      Kekerasan Emosional (emotional abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.


3)      Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
4)      Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Seorang anak laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual. Dipublikasikan pada tanggal 1 Februari 1910.
5)      Kekerasan Anak Secara Sosial
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Lia. 2010 .Promosi Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Novita, Nesi. 2011.Promosi Kesehatan dalam pelayanan kebidanan. Jakarta: Salemba Medika



Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)