Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Hubungan Kesehatan Reproduksi dengan Kebudayaan



Hubungan Kesehatan Reproduksi dengan Kebudayaan



Aspek Sosial Budaya Pada Kesehatan Remaja

Pengetahuan dan pemahaman remaja tentang kesehatan resproduksi dan resiko seksual merupakan hal penting, mengingat meningkatnya penundaan usia pernikahan di kalangan perempuan, berimplikasi pada lamanya mereka menjalani masa aktif secara seksual sebelum pernikahan. Sementara itu, informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual masih dianggap sebagai kebutuhan perempuan yang telah menikah, misalnya pengetahuan tentang kontrasepsi. Namun penelitian menunjukkan minimnya pemahaman remaja tentang masalah reproduksi, bahkan berkenaan dengan pengalaman menstruasi.
Temuan menarik menyangkut pemahaman remaja adalah masih banyaknya mitos-mitos seputar menstruasi yang direproduksi dan diajarkan pada remaja, antara lain: tidak boleh memakan nanas dan ketimun, meminum air es, tidak boleh memakan makanan yang pedas, tidak boleh tidur siang karena darah menstruasi akan naik menuju mata, dan lainnya. Kecenderungannya orang tua atau saudara perempuan ketika mengajari atau menasehati responden dan informan penelitian ini mereproduksi mitos-mitos budaya seputar menstruasi yang tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Temuan studi tersebut setidaknya menunjukkan bagaimana  sebagian besar remaja perempuan khususnya, terkesan tidak siap untuk mengalami perubahan-perubahan fisik dan hormonal seiring dengan pubersitas yang dialaminya. Terkesan bahwa lingkungan sosial terdekat, khususnya keluarga dan komunitas, belum menanamkan nilai-nilai yang positif dan konstruktif berkenaan dengan pubersitas remaja, termasuk bagaimana mereka menyikapi hasrat seksualnya. Ketidaksiapan remaja akan pubersitasnya ini  terkait dengan faktor budaya, yang terefleksi dari mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, juga tradisi yang telah dipraktekkan turun temurun. Selain itu, tafsir agama juga ikut berkonstribusi atas cara pandang masyarakat tentang tubuhnya, seksualitasnya, yang langsung atau tidak langsung terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Hal ini mengingat seksualitas merupakan konstruksi sosial atas nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks. Selain merujuk pada pada kondisi fisik dan biologis, juga merujuk pada identitas pribadi maupun sosial.
Seksualitas sebagai sebuah konstruksi sosial bisa ditunjukkan melalui berkembangnya anggapan di masyarakat bahwa virginitas dilekatkan pada perempuan, sementara laki-laki ditolerir karena mencerminkan keperkasaan (maskulinitasnya).  Hal ini menunjukkan bagaimana dorongan seksual individu berkonteks budaya, termasuk merupakan hasil pembelajaran sosial berbasis gender, padahal dorongan seksual laki dan perempuan pada dasarnya sama namun ekspresinya dikonstruksikan secara berbeda pada perempuan karena nilai-nilai sosial budaya yang dilekatkan pada keperempuanannya.
Realitas ini menunjukkan bagaimana kontruksi sosial tentang seksualitas yang tentunya dalam konteks masyarakat yang berbeda akan berbeda pula pemaknaannya. Sebab itu, seiring dengan dinamika di masyarakat, maka konstruksi sosial ini dapat berubah. Berkenaan dengan upaya melakukan rekonstruksi sosial di masyarakat, maka agen-agen pembelajaran sosial yang dapat peran siginifikan pada kelompok anak dan remaja adalah keluarga, sekolah, dan media massa. Namun hal ini dimungkinkan jika seksualitas, kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual tidak lagi dianggap sebagai hal tabu di masyarakat. Artinya, dibutuhkan iklim sosial budaya yang kondusif.
Sedangkan bagi ibu-ibu, memahami perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Kenyataannya berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Ibu hamil dan yang akan bersalin dilindungi secara adat, religi, dan moral dengan tujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi. Mereka menganggap masa tersebut adalah masa kritis karena bisa membahayakan janin dan/atau ibunya. Masa tersebut direspons oleh masyarakat dengan strategi-strategi, seperti dalam berbagai upacara kehamilan, anjuran, dan larangan secara tradisional.
Mitos dari kebudayaan lain juga menyebutkan bahwa jika menginginkan bayi cerdas dan persalinan lancar, sering-sering berhubungan intim selama hamil. Mitos tersebut tidak benar, karena sperma tidak mengandung zat penyubur sehingga janin yang terkena semburan tidak bisa tumbuh subur dan cerdas. Kesehatan dan kecerdasan janin tidak dipengaruhi oleh kualitas sperma suami, melainkan faktor genetik dari kedua orang tuanya. Orang tua yang cerdas tentu pula berpeluang melahirkan anak yang cerdas pula. Mitos ini diduga muncul karena orang yang mengkaitkan kasih sayang dan perhatian orang tua, dimana kondisi psikologis si ibu mungkin dapat menjadi lebih tenang dan nyaman dengan sering berhubung intim. Calon ibu yang merasa tenang dan nyaman akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin, dan proses persalinan pun dapat berjalan lancer


Aspek Sosial Budaya Pada Setiap Perkawinan

Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap. Pada fase pertama adalah bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, dan hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada fase pengenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
Menurut aspek sosial budaya faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.
Sedangkan menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing- masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.


Apek Sosial Budaya Dalam Kematian

Kematian juga selalu terlibat dan dikait-kaitkan dengan aspek social dan budaya, di Indonesia sendiri kematian mempunyai berbagai budaya, tergantung dengan agama, suku dan Ras, tentunya tiap Agama,Suku dan ras mempunyai kebudayaan masing-masing.
Melalui wadah budaya, nilai-nilai agama dapat diekspresikan, dilindungi, dan dilembagakan, sehingga masyarakat mudah memahami dan menerimanya sebagai suatu tradisi setiap komunitas budaya.. Ada dua budaya kematian yang melekat dalam ingatan saya. Yakni budaya Jawa dan budaya Toraja. Pertama, ritual kematian orang Jawa. Tak cukup sehari atau sepekan layaknya proses kematian pada umumnya. Mereka melangsungkan ritual kematian dalam rentang waktu yang panjang.
Mulai dari saat kematian (geblak), peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari. Cara orang Jawa menyikapi kematian memang manarik. Setiap kegiatan punya makna sendiri-sendiri. Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya Untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang, oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah. Upacara tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leluhur mereka. Buat orang jawa, kematian adalah paradoks kehidupan. Kematian bukan merupakan titik akhir, melainkan awal perjalanan hidup yang lebih kekal. Masyarakat Jawa mempercayai adanya dunia lain sesudah mati.
Berbeda di Toraja, upacara kematian dikenal sebagai Rambu Solo’. Upacara kematian menjadi tontonan. Di tempat tersebut, alam baka setelah kematian terasa begitu dekat, seperti tidak berjarak. Upacara adat kematian pada masyakat Toraja tak pernah kehilangan daya pikat. Suguhan upacara bisa menelan biaya milyaran. Sejumlah atraksi menarik, dan rangkaian ritual sarat nilai budaya khas ditampilkan kepada umum. Sebelum dimakamkan, jenazah bisa bertahun-tahun disemayamkan di rumah adat tongkonan dan baru dimakamkan setelah keluarga besarnya siap secara materi dan rohani. Tak jarang keluarga yang ditinggalkan harus berhutang karena merasa terikat erat pada adat. Untuk dapat menggelar upacara, mereka menyembelih puluhan bahkan ratusan hewan besar, terdiri dari kerbau, sapi, kuda, rusa, dan anoa. Tak terhitung lagi jumlah ayam yang dipotong. Harga hewan besar seperti kerbau atau tedong berkisar 30 juta hingga menyentuh 300 juta! Ritual adat kuno ini merupakan penegasan dimana posisi status sosial mereka.
 


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)