Hubungan Kesehatan Reproduksi dengan Kebudayaan
Aspek Sosial Budaya Pada Kesehatan Remaja
Pengetahuan dan pemahaman remaja
tentang kesehatan resproduksi dan resiko seksual merupakan hal penting,
mengingat meningkatnya penundaan usia pernikahan di kalangan perempuan,
berimplikasi pada lamanya mereka menjalani masa aktif secara seksual sebelum pernikahan.
Sementara itu, informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual masih
dianggap sebagai kebutuhan perempuan yang telah menikah, misalnya pengetahuan
tentang kontrasepsi. Namun penelitian menunjukkan minimnya pemahaman remaja
tentang masalah reproduksi, bahkan berkenaan dengan pengalaman menstruasi.
Temuan menarik menyangkut
pemahaman remaja adalah masih banyaknya mitos-mitos seputar menstruasi yang
direproduksi dan diajarkan pada remaja, antara lain: tidak boleh memakan nanas
dan ketimun, meminum air es, tidak boleh memakan makanan yang pedas, tidak
boleh tidur siang karena darah menstruasi akan naik menuju mata, dan lainnya.
Kecenderungannya orang tua atau saudara perempuan ketika mengajari atau
menasehati responden dan informan penelitian ini mereproduksi mitos-mitos
budaya seputar menstruasi yang tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Temuan studi tersebut setidaknya
menunjukkan bagaimana sebagian besar
remaja perempuan khususnya, terkesan tidak siap untuk mengalami
perubahan-perubahan fisik dan hormonal seiring dengan pubersitas yang
dialaminya. Terkesan bahwa lingkungan sosial terdekat, khususnya keluarga dan
komunitas, belum menanamkan nilai-nilai yang positif dan konstruktif berkenaan
dengan pubersitas remaja, termasuk bagaimana mereka menyikapi hasrat
seksualnya. Ketidaksiapan remaja akan pubersitasnya ini terkait dengan faktor budaya, yang terefleksi
dari mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, juga tradisi yang telah
dipraktekkan turun temurun. Selain itu, tafsir agama juga ikut berkonstribusi
atas cara pandang masyarakat tentang tubuhnya, seksualitasnya, yang langsung
atau tidak langsung terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Hal ini
mengingat seksualitas merupakan konstruksi sosial atas nilai, orientasi, dan
perilaku yang berkaitan dengan seks. Selain merujuk pada pada kondisi fisik dan
biologis, juga merujuk pada identitas pribadi maupun sosial.
Seksualitas sebagai sebuah
konstruksi sosial bisa ditunjukkan melalui berkembangnya anggapan di masyarakat
bahwa virginitas dilekatkan pada perempuan, sementara laki-laki ditolerir
karena mencerminkan keperkasaan (maskulinitasnya). Hal ini menunjukkan bagaimana dorongan
seksual individu berkonteks budaya, termasuk merupakan hasil pembelajaran
sosial berbasis gender, padahal dorongan seksual laki dan perempuan pada
dasarnya sama namun ekspresinya dikonstruksikan secara berbeda pada perempuan
karena nilai-nilai sosial budaya yang dilekatkan pada keperempuanannya.
Realitas ini menunjukkan
bagaimana kontruksi sosial tentang seksualitas yang tentunya dalam konteks
masyarakat yang berbeda akan berbeda pula pemaknaannya. Sebab itu, seiring
dengan dinamika di masyarakat, maka konstruksi sosial ini dapat berubah.
Berkenaan dengan upaya melakukan rekonstruksi sosial di masyarakat, maka agen-agen
pembelajaran sosial yang dapat peran siginifikan pada kelompok anak dan remaja
adalah keluarga, sekolah, dan media massa. Namun hal ini dimungkinkan jika
seksualitas, kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual tidak lagi dianggap
sebagai hal tabu di masyarakat. Artinya, dibutuhkan iklim sosial budaya yang
kondusif.
Sedangkan bagi ibu-ibu, memahami
perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah penting untuk mengetahui
dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Kenyataannya berbagai kalangan masyarakat
di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang
biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya
secara rutin ke bidan ataupun dokter. Ibu hamil dan yang akan bersalin
dilindungi secara adat, religi, dan moral dengan tujuan untuk menjaga kesehatan
ibu dan bayi. Mereka menganggap masa tersebut adalah masa kritis karena bisa
membahayakan janin dan/atau ibunya. Masa tersebut direspons oleh masyarakat
dengan strategi-strategi, seperti dalam berbagai upacara kehamilan, anjuran,
dan larangan secara tradisional.
Mitos dari kebudayaan lain juga
menyebutkan bahwa jika menginginkan bayi cerdas dan persalinan lancar,
sering-sering berhubungan intim selama hamil. Mitos tersebut tidak benar,
karena sperma tidak mengandung zat penyubur sehingga janin yang terkena
semburan tidak bisa tumbuh subur dan cerdas. Kesehatan dan kecerdasan janin
tidak dipengaruhi oleh kualitas sperma suami, melainkan faktor genetik dari
kedua orang tuanya. Orang tua yang cerdas tentu pula berpeluang melahirkan anak
yang cerdas pula. Mitos ini diduga muncul karena orang yang mengkaitkan kasih
sayang dan perhatian orang tua, dimana kondisi psikologis si ibu mungkin dapat
menjadi lebih tenang dan nyaman dengan sering berhubung intim. Calon ibu yang
merasa tenang dan nyaman akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin, dan
proses persalinan pun dapat berjalan lancer
Aspek Sosial Budaya Pada Setiap Perkawinan
Berdasarkan pada aspek sosial
budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap. Pada fase pertama
adalah bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, dan
hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada fase pengenalan
kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari
pasangan. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses
penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima
kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan.
Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi dan
membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati
akan diperolehnya.
Menurut aspek sosial budaya
faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak
dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling
menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut
tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar
pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta
kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan
dalam hidup berumah tangga akan tercapai.
Sedangkan menurut aspek sosial
budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas
subjek terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan
sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif
menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami
maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut
tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan,
pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan,
yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga,
sehingga masing- masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.
Apek Sosial Budaya Dalam Kematian
Kematian juga selalu terlibat dan
dikait-kaitkan dengan aspek social dan budaya, di Indonesia sendiri kematian
mempunyai berbagai budaya, tergantung dengan agama, suku dan Ras, tentunya tiap
Agama,Suku dan ras mempunyai kebudayaan masing-masing.
Melalui wadah budaya, nilai-nilai
agama dapat diekspresikan, dilindungi, dan dilembagakan, sehingga masyarakat
mudah memahami dan menerimanya sebagai suatu tradisi setiap komunitas budaya..
Ada dua budaya kematian yang melekat dalam ingatan saya. Yakni budaya Jawa dan
budaya Toraja. Pertama, ritual kematian orang Jawa. Tak cukup sehari atau sepekan
layaknya proses kematian pada umumnya. Mereka melangsungkan ritual kematian
dalam rentang waktu yang panjang.
Mulai dari saat kematian
(geblak), peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan
1000 hari. Cara orang Jawa menyikapi kematian memang manarik. Setiap kegiatan
punya makna sendiri-sendiri. Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun
kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah
memasuki dunia abadi untuk selamanya Untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah
harus melalui jalan yang sangat panjang, oleh karena itu penting sekali
diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah. Upacara
tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup
kepada orang tua dan leluhur mereka. Buat orang jawa, kematian adalah paradoks
kehidupan. Kematian bukan merupakan titik akhir, melainkan awal perjalanan
hidup yang lebih kekal. Masyarakat Jawa mempercayai adanya dunia lain sesudah
mati.
Berbeda di Toraja, upacara
kematian dikenal sebagai Rambu Solo’. Upacara kematian menjadi tontonan. Di
tempat tersebut, alam baka setelah kematian terasa begitu dekat, seperti tidak
berjarak. Upacara adat kematian pada masyakat Toraja tak pernah kehilangan daya
pikat. Suguhan upacara bisa menelan biaya milyaran. Sejumlah atraksi menarik,
dan rangkaian ritual sarat nilai budaya khas ditampilkan kepada umum. Sebelum
dimakamkan, jenazah bisa bertahun-tahun disemayamkan di rumah adat tongkonan
dan baru dimakamkan setelah keluarga besarnya siap secara materi dan rohani.
Tak jarang keluarga yang ditinggalkan harus berhutang karena merasa terikat
erat pada adat. Untuk dapat menggelar upacara, mereka menyembelih puluhan
bahkan ratusan hewan besar, terdiri dari kerbau, sapi, kuda, rusa, dan anoa.
Tak terhitung lagi jumlah ayam yang dipotong. Harga hewan besar seperti kerbau
atau tedong berkisar 30 juta hingga menyentuh 300 juta! Ritual adat kuno ini
merupakan penegasan dimana posisi status sosial mereka.
Comments
Post a Comment