Makalah Ruptur Perineum (Pengertian, Klasifikasi, Faktor Penyebab,
Tanda Gejala dan Komplikasi)
rupture perineum
adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun
dengan menggunakan alat atau tindakan persalinan.
A. Pengertian
Perineum merupakan daerah tepi
bawah vulva dengan tepi depan anus. Perineum meregang pada saat persalinan
kadang perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah
robekan.
Ruptur adalah luka pada perineum
yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan
kepala janin atau bahu pada saat persalinan. Bentuk ruptur biasanya tidak
teratur sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan.
Ruptur perineum adalah robeknya
perineum pada jalan lahir. Berbeda dengan episiotomi, robekan ini bersifatnya
traumatik karena perineum tidak kuat menahan regangan pada saat janin lewat.
Menurut Oxorn, robekan perineum
adalah robekan obstetrik yang terjadi pada daerah perineum akibat
ketidakmampuan otot dan jaringan lunak pelvik untuk mengakomodasi lahirnya
fetus. Persalinan sering kali menyebabkan perlukaan jalan lahir. Luka yang
terjadi biasanya ringan tetapi seringkali juga terjadi luka yang luas dan
berbahaya, untuk itu setelah persalinan harus dilakukan pemeriksaaan vulva dan
perineum.
Robekan perineum terjadi hampir
pada semua persalinan pertama dan tidak jarang pada persalinan berikutnya.
Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.
B. Anatomi perineum
Perineum merupakan ruang
berbentuk jajaran genjang yang terletak dibawah dasar panggul.
Gambar 2.1 Anatomi
Perineum Eksternal
Perineum terletak antara vulva
dan anus, panjangnya rata – rata antar 4 cm. Jaringan yang mendukung perineum
terutama ialah diafragma pelvis dan diafragma urogenitalis.
Gambar 2.2 Anatomi
Perineum Internal
Diafragma pelvis terdiri atas
otot levatorani dan otot koksigis posterior serta fasia (jaringan ikat yang
akan berkurang elastisitasnya pada perempuan yang lanjut usia) yang menutupi
kedua otot ini. Difragma urogenitalis terletak eksternal dari diafragma pelvis,
yaitu di daerah segitiga antara tuber isiadika dan simfisis pubis. Diafragma
urogenitalis meliputi muskulus tranversus perinei profunda, otot konstriktor
uretra dan fasia internal maupun eksternal yang menutupinya. Perineum mendapat
pasokan darah trutama dari arteria pudenda interna dan cabang – cabangnya.
Persyarafan perineum terutama oleh nervus pudendus dan cabang – cabangnya. Oleh
sebab itu, dalam menjahit robekan perineum dapat dilakukan anestesi blok
pudendus. Otot levator ani kiri dan kanan bertemu di tengah – tengah di antara
anus dan vagina yang diperkuat oleh tendon sentral perineum. Di tempat ini
bertemu otot –otot bulbokavernosus, muskulus tranversus perinei superfisialis
dan sfingter ani eksternal. Struktur ini membentuk perineal body yang
memberikan dukungan bagi perineum. Dalam persalinan sering mengalami laserasi,
kecuali dilakukan episiotomi yang adekuat.
C. Klasifikasi Ruptur Perineum
1. Ruptur Perineum Spontan
Yaitu luka pada perineum yang
terjadi karena sebab – sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau
disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
Tabel
2.1 Derajat Ruptur Perineum dan Penatalaksanaanya
Ruptur Perineum
|
Derajat Satu
|
Derajat Dua
|
Derajat Tiga
|
Derajat Empat
|
Lokasi
|
·
Mukosa Vagina
·
Komisura Posterior
·
Kulit Perineum
|
·
Mukosa Vagina
·
Komisura Posterior
·
Kulit Perineum
·
Otot Perineum
|
·
Mukosa Vagina
·
Komisura Posterior
·
Kulit Perineum
·
Otot Perineum
·
Otot Sfinter ani
|
·
Mukosa Vagina
·
Komisura Posterior
·
Kulit Perineum
·
Otot Perineum
Otot Sfinter ani
|
Tata Laksana
|
Tidak
perlu dijahit jika tidak ada
perdarahan
Dan
aposisi baik
|
Jahit
menggunakan teknik yang sesuai dengan kondisi pasien
|
Penolong APN tidak
dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi perineum derajat tiga atau
deraja empat. Segera rujuk ke fasilitas rujukan
|
(JNPK-KR,2008)
2. Ruptur Perineum yang
Disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi
karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada perineum.
Dahulu episiotomi dianjurkan
untuk mengurangi ruptur yang berlebihan pada perineum agar memudahkan dalam
penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, namun hal
itu tidak didukung oleh bukti ilmiah yang cukup. Episiotomi boleh dilakukan
bila ada indikasi tertentu.
Indikasi dilakukan episiotomy
diantaranya indikasi janin seperti distosia bahu dan persalinan bokong, operasi
ekstraksi vakum atau forsep, dan posisi oksiput posterior.
D. Faktor-Faktor Terjadinya
Ruptur Ruptur Perineum
Ruptur perineum dapat terjadi
karena beberapa faktor, diantaranya adalah faktor ibu, faktor janin, dan faktor
penolong persalinan.
1. Faktor Ibu
Meliputi partus presipitatus, ibu
primipara, pasien tidak mampu berhenti mengejan, edema dan kerapuhan perineum,
varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum, arkus pubis yang sempit
dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke
arah posterior.
Primipara adalah seorang wanita
yang melahirkan bayi hidup untuk pertama kalinya. Robekan perineum terjadi
hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan
berikutnya. Pada primipara atau orang yang baru pertama kali melahirkan factor
risikonya adalah kelenturan perineum. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan
menghambat persalinan kala II dan dapat meningkatkan risiko terhadap janin.
Perineum yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi tidak dapat menahan
tegangan yang kuat sehingga robek pada pinggir depannya. Luka biasanya ringan
tetapi kadang-kadang juga terjadi luka yang luas dan berbahaya.
2. Faktor penolong
Diantaranya adalah pimpinan
persalinan yang salah, cara menahan perineum dan cara berkomunikasi penolong
dengan ibu bersalin dapat mempengaruhi terjadinya rupture perineum.
3. Faktor janin
Salah satu penyebabnya adalah
berat badan bayi lahir, posisi kepala yang abnormal, ekstraksi forceps yang
sukar, distosia bahu, dan anomaly congenital seperti hydrocephalus. Hal ini
terjadi karena berat bayi yang besar sehingga sulit melewati panggul dan
menyebabkan terjadinya ruptur perineum pada ibu bersalin. Pada bayi dengan
berat badan lahir cukup besar, ruptur spontan pada perineum dapat terjadi pada
saat kepala dan bahu dilahirkan. Pada saat melewati jalan lahir, berat badan
bayi berpengaruh terhadap besarnya penekanan terhadap otot-otot yang berada di
sekitar perineum sehingga perineum menonjol dan meregang sampai kepala dan
seluruh bagian tubuh bayi lahir. Semakin besar tekanan pada perineum, semakin
besar pula risiko terjadinya ruptur perineum.
E. Tanda – Tanda dan Gejala
Robekan Jalan Lahir
Bila perdarahan masih berlangsung
meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya retensi plasenta maupun
adanya sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir.
Tanda dan gejala robekan jalan
lahir diantaranya adalah perdarahan, darah segar yang mengalir setelah bayi
lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal.
Ciri khas robekan jalan lahir;
Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil, perdarahan terjadi langsung setelah
anak lahir, perdarahan ini terus menerus setelah massase atau pemberian
uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam hal
apapun, robekan jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang
perdarahan terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat yang fatal seperti
terjadinya syok.
F. Komplikasi Ruptur
Perineum
Resiko komplikasi yang mungkin
terjadi jika ruptur perineum tidak segera diatasi, yaitu :
1. Perdarahan
Perdarahan robekan jalan lahir
selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan
yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi , yaitu sumber dan jumlah
perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari
perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptur uteri). Perdarahan dapat
dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat
arteril atau pecahnya pembuluh darah vena.
Seorang wanita dapat meninggal
karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan.
Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat
persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau
tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah
perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot.
2. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa
diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina menembus kandung kencing
atau rektum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing akan segera keluar
melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rektum yang lama
antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia.
3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat
trauma partus pada persalinan karena adanya penekanan kepala janin serta
tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva
berwarna biru dan merah. Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva
perineum dan fosa iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa
juga dengan varikositas vulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan
nyeri. Kesalahan yang menyebabkan disgnosis tidak diketahui dan memungkinkan
banyak darah yang hilang. Dalam waktu yang singkat, adanya pembengkakkan biru
yang tegang pada salah satu sisi introitus di daerah ruptur perineum.
4. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah
peradangan di sekitar alat genital pada kala nifas. Perlukaan pada persalinan
merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi.
Dengan ketentuan meningkatkan suhu tubuh melebihi 38o celcius, tanpa menghitung
pireksia nifas. Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan,
diisolasi dan dilakukan inspeksi pada traktus genitalis untuk mencari laserasi,
robekan atau luka episiotomi.
Comments
Post a Comment