HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN
DENGAN DISIPLIN KERJA PADA
PEGAWAI DI SMK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepemimpinan atau leadership merupakan
ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya
diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak
pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang
masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003)
Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan
pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu
yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang
tepat bagi situasi yang khusus. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau
kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki
kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya,
untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Macam-Macam
Gaya Kepemimpinan yaitu Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian, Gaya Kepemimpinan
Demokratis / Democratic, Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire. Keempat gaya
kepemimpinan berdasarkan kepribadian adalah Gaya Kepemimpinan Karismatis, Gaya
Kepemimpinan Diplomatis, Gaya Kepemimpinan Otoriter,Gaya Kepemimpinan Moralis
Sekolah merupakan salah satu bentuk
organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah.
Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan,
maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu
usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi (1985) yang
mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi,
menggerakkan, memberikan motivasi, dan mengarahkan orang-orang yang ada dalam
organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam organisasi pendidikan yang menjadi
pemimpin pendidikan adalah kepala sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala
sekolah memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Untuk bisa
menjalankan fungsinya secara optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat.
Peranan utama kepemimpinan
kepala sekolah tersebut, nampak pada pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich yang dikutip Indrafachrudi (1983)
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sumber energi utama ketercapaian tujuan
suatu organisasi. Di sisi lain, Owens (1991) juga menegaskan bahwa kualitas
kepemimpinan merupakan sarana utama untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk
itu, agar kepala sekolah bisa melaksanakan tugasnya secara efektif, mutlak
harus bisa menerapkan kepemimpinan yang baik.
Ada banyak teori gaya kepemimpinan
yang bisa diterapkan kepala sekolah. Bila ditelaah dari perkembangan teori, ada
banyak teori kepemimpinan yang bisa ditelaah untuk mengkaji masalah
kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang pertama-tama dikembangkan adalah teori
sifat atau trait theory. Pada dasarnya teori sifat memandang bahwa
keefektifan kepemimpinan itu bertolak dari sifat-sifat atau karakter yang
dimiliki seseorang. Keberhasilan kepe-mimpinan itu sebagian besar ditentukan
oleh sifat-sifat kepribadian tertentu, misalnya harga diri, prakarsa,
kecerdasan, kelancaran berbahasa, kreatifitas termasuk ciri-ciri fisik yang
dimiliki seseorang. Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki sifat-sifat
kepribadian yang baik. Sebaliknya, pemimpin dikatakan tidak efektif bila tidak
menunjukkan sifat-sifat kepribadian yang baik.
Penelitian tentang kepemimpinan
berdasarkan trait theory ini telah banyak dilakukan. Stogdil
membedakan tiga karakteristik yang menunjukkan pemimpin yang efektif, yaitu (1)
kepribadian, (2) kemampuan, dan (3) ketrampilan sosial (Feldmon & Arnold,
1983). Pada perkembangan selanjutnya, oleh Bass dan Stogdil, diklasifikasi
menjadi dua, yaitu traits yang antara lain mencakup karakter tegas, bekerja
sama, berpengaruh, memiliki keyakinan diri, energik, dan bertanggung jawab, dan
skill yang antara lain mencakup pandai, kreatif, lancar berbicara, memiliki
kemampuan konseptual dan ketrampilan sosial. Dari sejumlah traits tersebut,
selanjutnya diklasifikasi menjadi lima dimensi besar, yaitu surgence,
agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan intellectance
(Lunenburg & Ornstein, 2000).
Berdasarkan beberapa hasil studi,
ditemukan keterbatasan trait theory yakni terlalu menekankan pada
karakter personal pemimpin. Keberhasilan kepemimpinan tidak semata-mata
ditentukan oleh karakter personal, tetapi justru banyak ditentukan dari apa
yang dilakukan pemimpin. Keefektifan kepemimpinan banyak tergantung pada
perilaku yang diterapkan pemimpin dalam situasi organisasi. Untuk itu, muncul
teori-teori yang bertolak dari pendekatan perilaku yang dikenal dengan istilah behavior
theory.
Teori kepemimpinan berdasarkan pendekatan
perilaku tersebut tidak didasarkan pada sifat atau ciri-ciri kepribadian
seseorang, tapi lebih cenderung berdasarkan perilaku atau proses kepemimpinan
yang ditunjukkan dalam organisasi yang dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak
dinilai dari karakter personal, tapi lebih ditekankan pada fungsi, peranan,
atau perilaku yang ditampilkan dalam kelompok. Salah satu teori kepemimpinan
yang dikembangkan berdasarkan perilaku adalah teori kepemimpinan dua dimensi
(two dimensional theory).
Berdasarkan teori kepemimpinan dua
dimensi, gaya kepemimpinan itu mengacu pada dua sisi, yaitu sisi tugas atau
hasil, dan sisi hubungan manusia atau proses. Gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas (task oriented) adalah gaya kepemimpinan yang
lebih menekankan pada tugas atau pencapaian hasil. Gaya kepemimpinan ini
ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola,
penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan. Sedangkan gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia (people
oriented) adalah gaya kepemimpinan yang meneknakan pada hubungan
kemanusiaan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan
pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan
kehangatan hubungan antar anggota (Owens, 1991).
Banyak ahli yang mengkaji teori
kepemimpinan dua dimensi dengan istilah yang berbeda-beda. Cartwright dan
Zander menggunakan istilah pencapaian tujuan (goal achievement), dan
pertahanan kelompok (group maintenance). Halpin dan Winner mengemukakan
dengan istilah struktur inisiasi (initiating structure) dan konsiderasi
(consideration). Danil Cartz menyebut dengan istilah orientasi pada
produksi (production oriented) dan orientasi pada pekerja (employee
oriented). Likert menyebut dengan istilah berpusat pada tugas (job centered)
dan berpusat pada pekerja (employee centered). Blake dan Mouton
menggunakan istilah perhatian pada aspek hasil (concern for production)
dan perhatian pada aspek manusia (concern for people) (Owens, 1991).
Semua istilah dimensi kepemimpinan
tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987) diklasifikasi menjadi dua, yaitu perhatian
pada organisasi (concern for organization) dan perhatian pada hubungan
individual (concern for individual relationship).
Ada beberapa ciri perilaku yang
menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan
manusia. David dan Sheasor mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan,
menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan (Hoy dan
Miskel, 1987). Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi
pada tugas, yaitu merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen
menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu
memberikan dukungan dan menjalin interaksi.
Di sisi lain, Halpin mengemukakan
delapan komponen. Empat komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas, yaitu menetapkan peranan, menetapkan prosedur kerja,
melakukan komunikasi satu arah, dan mencapai tujuan organisasi. Empat komponen
menunjukkan perilaku yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu menjalin
hubungan akrab, menghargai anggota, bersikap hangat dan menaruh kepercayaan
kepada anggota (Hoy dan Miskel, 1987).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut,
dapat digarisbawahi karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada tugas adalah melakukan komunikasi satu arah, menyusun rencana kerja,
merancang tugas-tugas, menetapkan prosedur kerja, dan menekankan pencapaian tujuan
organisasi. Sedangkan karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada hubungan manusia adalah menjalin hubungan yang akrap,
menghargai anggota, bersikap hangat, dan menaruh kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan
tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat,
yaitu: (1) task oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang
berorientasi tinggi pada tugas, dan rendah pada hubungan manusia, (2) relationship
oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada
hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas, (3) integrated leadership,
yakni gaya kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan
manusia, dan (4) impoverished leadership, yakni gaya kepemimpinan yang
berorientasi rendah pada tugas dan hubungan manusia (Rossow, 1990). .
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui
bahwa tidak setiap organisasi bisa digunakan pendekatan kepemimpinan yang sama.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang
menekankan pada orang cenderung lebih efektif. Beberapa penelitian lain
menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru
lebih efektif (Feldmon & Arnold, 1983; Hoy & Miskel, 1987; Gorton,
1991). Hal ini disebabkan oleh karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan landasan tersebut, lalu
dikembangkan pendekatan kepemimpinan baru yang dikenal dengan pendekatan
kepemimpinan situasional. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang
bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi. Beberapa komponen yang
perlu dipertimbangkan adalah keadaan bawahan, tuntutan pekerjaan, dan
lingkungan organisasi itu sendiri (Newell, 1978).
Selanjutnya ada banyak teori
kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor situasi organisasi. Beberapa teori
yang cukup dominan, antara lain sistem manajemen yang dikembangkan Likert,
teori kepemimpinan tiga dimensi yang dikembangkan Reddin, teori kepemimpinan
kontingensi yang dikembangkan Fiedler, teori kontingensi normatif yang dikembangkan
oleh Vroom dan Yetton, teori substitutes yang dikembangkan oleh Kerr dan
Jermier, teori path goal yang dikembangkan House, dan teori kepemimpinan
situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (Owens, 1981; Hoy &
Miskel, 2005).
Berdasarkan teori kepemimpinan
situasional, yang menekankan bahwa keberhasilan kepemimpinan
ditentukan oleh perilaku pemimpin dan faktor-faktor situasional organisasi,
seperti jenis pekerjaan, lingkungan organisasi, dan karakteristik individu yang
terlibat dalam organisasi. Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling efektif
untuk semua organisasi. Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan
yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan
bawahan.
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui
bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak hanya ditekankan pada perilaku yang
ditampilkan pimpinan dalam kelompok, tetapi perlu ditelaah dari sisi perilaku
yang ditampilkan anggota dalam organisasi. Untuk itu, pimpinan harus bisa
mentransformasi nilai kepada bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Salah
satu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan adalah kepemimpinan
transformasional.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah
dasar bisa memilih teori dan menerapkan gaya kepemimpinan yang
tepat dari beberapa gaya kepemimpinan yang ada sesuai dengan karakter pribadi,
dan kondisi organisasi sekolah yang dipimpin. Yang penting kepala sekolah
dasar, harus bisa menampilkan peranan kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan
peranan kepemimpinan kepala sekolah tersebut, Sergiovanni
(1991) mengemukakan enam peranan kepemimpinan kepala sekolah,
yaitu kepemimpinan formal, kepemimpinan administratif, kepemimpinan
supervisi, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan tim.
Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah untuk merumuskan visi,
misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar dan peraturan yang berlaku.
Kepemimpinan administratif, mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membina
administrasi seluruh staf dan anggota organisasi sekolah. Kepemimpinan supervisi
mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membantu dan membimbing anggota agar
bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kepemimpinan organisasi mengacu pada tugas
kepala sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif, sehingga anggota
bisa bekerja dengan penuh semangat dan produktif. Kepemimpinan tim mengacu pada
tugas kepala sekolah untuk membangun kerja sama yang baik diantara semua
anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah secara optimal.
Gaya
kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan kerja bagi guru atau
karyawan sekolah, Menurut
Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati
semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan
dapat diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya,
mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan
dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan harus ditegakkan dalam suatu
organisasi perusahaan, karena tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik maka
sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya.
Berdasarkan pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja pegawai merupakan sikap atau tingkah
laku yang menunjukkan kesetiaan dan ketaatan seseorang atau sekelompok orang
terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh instansi atau organisasinya baik
yang tertulis maupun tidak
tertulis sehingga diharapkan pekerjaan yang dilakukan
efektif dan efesien.
Ujar dari salah satu pekerja SMK, tidak akan
tercapai dari sebuah kedisiplinan dan kedisiplinan tidak akan terwujud jika seorang
pemimpin tidak tepat menerapkan gaya kepemimpinanya. Oleh karena itu peneliti
tertarik mengambil judul “Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja
pada SMK XXX”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
data maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Hubungan Gaya
Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk
mengetahui Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX.
2. Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui Hubungan Gaya
Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX
b.
Untuk mengetahui kualitas disiplin kerja
bidan SMK XXX.
c.
Untuk mengetahui sejauhmana disiplin
kerja bidan SMK XXX.
D. Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui
disiplin kerja di SMK XXX apakah ada Hubungan Gaya Kepemimpinan
terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX, populasi seluruh pegawai SMK XXX dari
bulan mei sampai bulan juli 2015. Teknik penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif deskriptif. Adapun yang melatarbelangi dilakukannya penelitian ini
adalah hasil wawancara dengan siswa-siswi SMK XXX para pegawainya tingkat disiplin
sangat tinggi dengan selalu tepatnya hadirdi sekolah.
E. Kegunaan
Penelitian
1.
Guna Teoritik
a.
Bagi
institusi SMK
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
dan memotivasi untuk selalu menerapkan gaya kepemimpinannya yang baik.
b.
Bagi
Peneliti
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi sarana
untuk menerapkan antara ilmu pengetahuan dan teori yang diperoleh di bangku
kuliah.
2.
Manfaat
Praktis
a.
Bagi SMK
Diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemegang
kebijakan Sekolah, terutama kepala sekolah
tentang Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin
Kerja pada SMK XXX
b.
Bagi
Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan
sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
Comments
Post a Comment