Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Contoh Kasus Psikologi Pendidikan


CONTOH KASUS PSIKOLOGI PENDIDIKAN


Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan ‘logos’ yang artinya ilmu paengetahuan. Jadi secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik maengenai macam-macam gejalanya’ prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa


Kasus 1

Sheyna, 13 tahun, memiliki orangtua yang overprotective dan sangat menuntut supaya Sheyna mengikuti apa saja perintah yang diberikan kepadanya.
Sheyna merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, dan hanya ia yang perempuan. Sheyna menganggap dirinya sangat bergantung pada orangtua, ditambah lagi orangtua memperlakukan Sheyna seperti anak kecil yang berusia di bawah usia dirinya.
Kedua kakak Sheyna sangat pembangkang bahkan kakak pertama Sheyna (18 tahun) pernah blak-blakan mengaku kepada orangtua mereka bahwa ia telah melakukan aktivitas seksual dengan teman di sekolah. Tentu saja, orangtua menjadi sangat marah, apalagi orangtua sangat strict terhadap isu-isu seksual. Bahkan, orangtua selalu membahas kepada Sheyna dan kedua kakak bahwa virginity itu harus dijaga hingga kelak menikah. Kondisi kakaknya ini berbanding terbalik dengan Sheyna yang sangat pasif dan penurut, serta menjadi satu-satunya anak yang dianggap “baik” oleh orangtuanya sehingga Sheyna dijuluki “Little Miss Perfect”.
Ada riwayat sakit mental di dalam keluarga Sheyna. Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah sama-sama menderita depresi.
Sheyna mengalami insomnia sejak ia berusia 10 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya mengganggu kegiatan belajar di sekolah. Nilai Sheyna sampai mengalami penurunan yang cukup parah, sehingga orangtua memutuskan supaya Sheyna menjalani home-schooling saja supaya Sheyna dapat mengatur waktu kapan untuk belajar. Perilaku insomnia ini dialami Sheyna pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, di mana kakak pertama Sheyna ternyata sampai menghamili temannya di sekolah. Pada saat itu, kondisi rumah sangat “panas”, Ayah dan Ibu selalu bertengkar setiap ada kesempatan di pagi-siang-sore-malam. Keadaan semakin memanas karena kakak pertama Sheyna sempat kabur dari rumah bersama teman yang ia hamili, sehingga memicu pertengkaran antara keluarga Sheyna dengan keluarga yang anaknya dihamili oleh kakak Sheyna tersebut. Kondisi tersebut berlangsung hingga kurang-lebih dua bulan dan sejak itu, Sheyna sulit sekali memejamkan mata seberapa pun dirinya mengantuk karena bayangan pertengkaran dan suasana memanas itu selalu menghantui Sheyna. Untuk pertama kalinya, di masa sebulan itu, Sheyna mengalami ledakan emosi yang tinggi.
Sejak saat itu, Sheyna juga semakin sering menyendiri di dalam kamar untuk menghindari pertengkaran. Bagi Sheyna, dia menjadi lebih rileks dengan berada di dalam kamar. Dia juga semakin bisa berpikir, mencari tahu, dan menganalisa segala hal yang ia senangi. Sheyna tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik, misalnya ia percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari seorang politikus Romawi di masa lalu.
Keluarga dan teman-teman Sheyna melihat Sheyna sebagai orang yang sangat rapi dan teroganisir. Sheyna senang menuliskan apapun ide-ide yang ia miliki dan menuliskan di buku diary, komputer, bahkan dinding kamarnya penuh dengan papernote yang ditempelkan secara berantakan dan berisi ide-idenya tersebut. Kebanyakan ide yang Sheyna tuliskan berisi tentang hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan di dalam keluarganya, seperti tentang dorongan seksual dan tingkat spiritualitas. Aktivitas ini semakin menjadi-jadi saat ia merasakan gairah luar biasa untuk melakukan sesuatu.
Selama proses pertengkaran di dalam keluarganya, Sheyna sempat mengalami depresi dan depresi yang ia miliki semakin menjadi-jadi karena hingga saat ini Sheyna masih menderita insomnia. Sheyna juga menderita kesulitan untuk makan dan konsentrasi. Di puncak depresinya, Sheyna akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung, Ibu selalu menemukan Sheyna tepat waktu sehingga Sheyna masih bisa diselamatkan.


Analisa Kasus

Sheyna menunjukkan simptom perilaku yang mengarah ke Bipolar I Disorder. Sheyna meyakini bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari politisi Romawi di masa lalu, yang menunjukkan simptop psikotis ada pada dirinya. Simptom psikotis sendiri hanya muncul pada Bipolar I Disorder. Sheyna juga menunjukkan perilaku mania dengan cara menuliskan semua ide-ide yang ia miliki di buku diary, komputer, bahkan papernote yang ditempel berantakan di dinding kamarnya. Ide-ide tersebut termasuk pula ide-ide yang sebenarnya selalu tabu untuk dibicarakan di dalam keluarga (tentang seksualitas dan spiritualitas). Perilaku ini jelas berbeda dengan kebiasaan Sheyna yang selalu rapi dan terorganisir. Kemunculan perilaku mania ini dibarengi pula dengan kemunculan perilaku depresi yang membuat Sheyna sampai beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.
Pada kasus Sheyna, ditemukan bahwa ada riwayat genetis di dalam keluarga dekatnya yang memiliki gangguan depresi, yaitu Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah. Perlu ada pemeriksaan mendalam tentang apakah kasus Sheyna terkait dengan riwayat genetis di dalam keluarganya. Tetapi, kemungkinan itu tetap ada.
BD yang diderita Sheyna merupakan masalah yang perlu penanganan hingga seumur hidup karena tidak dapat dengan mudah ditentukan bahwa gejala mania dan depresi yang diderita Sheyna tidak akan lagi muncul di masa depan. Cara terbaik untuk memberikan treatment kepada Sheyna adalah dengan memberikan  pengobatan medis yang tepat serta menjalani psikoterapi. Misalnya, mengkombinasikan pemberian obat antipsychotic (seperti: Seroquel) dan mood-stabilizer (seperti: Lithium), ditambah psikoterapi (seperti: terapi regulasi emosi, anger management untuk membantu Sheyna dalam mengatasi mania dan depresi yang muncul di dirinya).




Kasus 2

Robert telah menjadi tantangan sejak hari pertamanya di kelas Martha. Ia adalah seorang bocah laki-laki yang bertubuh gemuk-pendek, yang sebelumnya bersekolah di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak dengan masalah perilaku berat. Selama dua tahun sebelumnya ia berulang kali pindah kelas karena memperlihatkan perilaku yang “tidak pantas dan agresif”.
Martha bertekad membantu anak itu. Setiap hari ia menunggu di depan pintu kelas untuk menyapa Robert dan selalu mengucapkan selamat jalan kepadanya sebelum ia meninggalkan kelas. Martha sengaja meluangkan waktu setiap hari untuk bicara apa saja dengannya, mulai tentang acara TV sampai tentang ibunya. Martha bersikeras untuk memaksanya mengikuti berbagai kegiatan di kelas—terutama dalam kelompok belajar kooperatif bersama anak-anak lain.
Karena perhatian yang diberikan Martha padanya, Robert perlahan-lahan mulai menyadari bahwa Martha memiliki komitmen terhadap dirinya. Pada November, Robert sudah diterima oleh teman-temannya, meskipun masih secara marjinal, dan menjadi anggota kelas yang cukup produktif. Ia memang masih bengal dan kadang-kadang membuat kegaduhan kecil di kelas, tetapi ia telah menunjukkan resppns yang jauh lebih positif kepada Martha dan siswa-siswa lain. Tidak satu kali pun Robert terpaksa disuruh menemui kepala sekolah atau dilarang meninggalkan kelas, dan hal itu benar-benar menjadi perubahan besar baginya. Martha mampu membantu Robert untuk berubah menjadi anak yang kompeten, akademik maupun sosial, terlepas dari stigma yang terlanjur dilekatkan kepadanya sebagai anak yang mengalami gangguan perilaku.
Pengaruh signifikan Martha atas diri Robert adalah tekadnya untuk membarikan kesempatan kepada Robert untuk meraih kesuksesan di sekolah dan memperoleh kompetensi sosial. Sama sekali tidak ada trik sulap atau reparasi teknis yang terlibat di sini—hanya mengingatkan dari hari-ke hari, dari jam ke jam, dan bahkan dari meit ke menit kepada Robert untuk menyelesaikan pekerjaannya dan menghormati orang lain. Ia sama sekali tidak mau meyerah. Martha menjelaskan, “Saya punya kecenderungan untuk tidak mau menyerah kepada siapa pun. Hal ini tanggung jawab saya.”
Martha mendorong dan mendukung pertumbuhan sosial dan akademik Robert tanpa memedulikan sistem. Robert sekarang sudah terbiasa berpartisipasi di berbagai diskusi dan kegiatan kelas, ia tampak senang datang ke sekolah, (dan pada kenyataannya ia sama sekali tidak pernah absen!), dan tampak telah memiliki beberapa teman akrab di kelas, yang semuanya bersedia datang ketika diundang ke pesta ulang tahunnya. Caring relationship di antara Martha dan Robert membentuk sebuah konteks baru bagi Robert  sebagai siswa. Dalam konteks itu, ia mampu memperbaiki perilaku maupun prestasi akademiknya.


Analisis Kasus

Dalam kasus di atas, Bu Martha menggunakan pendekatan humanistik dalam mengadapi perilaku bermasalah Robert.
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Salah satu caranya ialah dengan menciptakan kondisi di mana siswa dapat belajar secara efektif, misalnya dengan menunjukkan kepada siswa bahwa guru peduali dan mengahargai mereka sebagai manusia, serta memberikan kesempatan untuk berpedapat tentang apa yang terjadi si kelas.
Dalam kasus Robert, Bu Martha membangun hubungan yang lebih positif dengan siswanya itu dengan cara bersikap hangat kepadanya, menyapanya setiap hari sebelum jam pelajaran dimulai, mengucapkan selamat jalan kepadanya sebelum ia pulang, mengobrol dengannya, dan mengajaknya untuk aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan kelas.
Adapun siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Carl Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.  Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.      Merespon perasaan siswa
2.      Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.      Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.      Menghargai siswa
5.      Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6.      Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
7.      Tersenyum pada siswa

Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.





Kasus 3

Kesulitan Penyesuaian Diri Mahasiswi “S” dalam kehidupan kampus
S,
berusia 22 tahun, mahasiswi tingkat 1, mengalami ancaman DO. Dari hasil evaluasi 7 minggu pertama `ternyata nilai dari semua mata kuliah yang di ambilnya tidak memenuhi persyaratan lulus ke tingkat 2. PA memebritahu hal ini dengan tujuan dia bias mengejar nilainya, dengan belajar yang lebih alkif agar tidak terancam DO.
Dari hasil evaluasi 4 mata kuliahnya, “S” memperoleh 2 nilai C dan 2 nilai D. Dia sangat menyadari bahwa dia akan sulit untuk mendapat nilai yang baik untuk ke dua mata kuliahnya tersebut. Kenyataannya ini membuat “S” merasa sangat stress, hingga kadang dia merasa ingin bunuh diri, karena merasa takut gagal.
Dalam pergaulan dengan teman2nya “S” selalu merasa minder. Ketika kuliah di kelas besar, dia selalu memilih duduk di barisan yang paling belakang dan dia jarang bergaul dengan teman2 seangkatannya. Dia selalu merasa dirinya kuno, karena menurutnya “S” selalu berpakaian yang tidak fashionable. Akibatnya “S” selalu menyendiri dan lebih senang berada di perpustakaan daripada bergaul dengan teman2nya.
S lebih nyaman ketika m,asih duduk di bangku SMA, dimana kelasnya lebih kecil dan hubungan di antara siswa di rasakannya lebih akrab.
S, merupakan anak ke 2 dari dua bersaudara (keduanya wanita). Kakaknya berusia 2 tahun lebih tua darinya, dan mempunyai prestasi akademis yang cukup “cemerlang” di fakultas yang sama. Walaupun orangtua tidak pernah membandingkan kemampuan ke dua anaknya, tetapi “S” merasa bahwa kakaknya mempunyai kelebihan di segala bidang, di bandingkan dengan dirinya.



Analisa kasus

Menurut aliran humanistik-eksistensial kasus “S” bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Jika “S” melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan atau anxiety.
Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis kasus “s” terletak pada konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif.
Menurut teori humanistik-eksistensial yang melihat kasus “s” sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka teori ini lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.
Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, “s” sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya. Karena menurut pandangan teori ini sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu ditakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru. Tehnik yang digunakan adalah systematic desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarkhi ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward – jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku.


Comments

  1. Ka ini artikel yg dibuat sumbernya dari mana yaa?

    ReplyDelete
  2. Ka ini artikel yg dibuat sumbernya dari mana yaa?

    ReplyDelete
  3. Artikel ini lettak sumbernya dari mana dan hari tanggal waktu kejadiannya itu kapan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)