Konsep Dasar Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi
merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di
dalam arteri menyebabkan meningkatkan risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal
jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Seseorang dikatakan mengalami
hipertensi jika memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg atau keduanya (Aisyiyah, 2009).
Menurut
Price & Wilson (2006) hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
darah sistolik setidaknya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Hipertensi adalah keadaan dimana peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang akan berlanjut untuk suatu organ terget seperti stroke pada otak, penyakit
jantung koroner pada pembuluh darah jantung dan ventrikel kiri, hipertropi pada
otot jantung (Guyton & Hall, 2007).
2. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi
menurut Shep (2006) terbagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu :
a. Hipertensi
primer
Hipertensi primer disebut
juga hipertensi esensial atau idiopatik adalah suatu peningkatan persisten
tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakaturan mekanisme kontrol homeostatik
normal. Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup ± 90% dari
kasus hipertensi.
b. Hipertensi
sekunder
Hipertensi
sekunder adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain
hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan menyangkut ±10%
dari kasus hipertensi.
Klasifikasi
hipertensi berdasarkan hasil ukur tekanan darah menurut Joint National
Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Preassure
(JNC) dalam Smeltzer & Bare (2006) yaitu <130 mmHg untuk
tekanan darah sistol dan <85 mmHg untuk
tekanan darah diastol.
Klasifikasi hipertensi menurut
JNC secara
detail dapat dilihat di tabel 2.1.
Tabel 2.1
Klasifikasi
Tekanan Darah Orang Dewasa 18 Tahun ke Atas Tidak Sedang Memakai Obat
Antihipertensi dan Tidak Sedang Sakit Akut
|
Kategori
|
Tekanan
darah sistolik
|
Tekanan
darah
|
|
|
(mmHg)
|
diastolik
(mmHg)
|
Normal
|
|
<
130
|
<85
|
Normal tinggi
|
130-139
|
85-89
|
Stadium 1 (Hipertensi ringan)
|
140-159
|
90-99
|
Stadium 2
|
(Hipertensi sedang)
|
160-179
|
100-109
|
Stadium 3
|
(hipertensi berat)
|
180-209
|
110-119
|
Stadium 4
|
(Hipertensi maligna)
|
210
atau lebih
|
120
atau lebih
|
Sumber:
JNC VII dikutip dari Smeltzer & Bare
(2006).
3. Etiologi
Etiologi dai hipertensi
terbagi dalam dua kelompok yaitu factor yang tidak dapat diubah dan
faktor yang dapat diubah.
a. Faktor
yang tidak dapat diubah
1)
Genetik
Adanya
faktor genetik pada
kelurga tertentu akan menyebabkan keluarga
itu mempunyai resiko
menderita hipertensi. Hal
ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler
dan rendahnya rasio
antara potassium terhadap sodium,
individu dengan orang
tua yang menderita hipertensi daripada
orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi
(Anggaraini, dkk, 2009).
2)
Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria
dan wanita sama, akan tetapi
wanita pramenopause prevalensinya lebih terlindungi daripada pria
pada usia yang sama. Wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam menigkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL
yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
ateroklerosis yang dapat menyebabkan hipertensi (Price & Wilson, 2006).
Namun Saat ini, prevalensi hipertensi
mencapai 80% pada lansia wanita yang berusia 65 tahun keatas (Junior dalam
Braz, 2011). Selain itu dalam penelitian Astari pada tahun 2012 ditemukan
penderita hipertensi adalah wanita sebesar 62,50% dan laki-laki sebesar 37,50%.
3)
Usia
Insiden hipertensi meningkat seiring pertambahan usia.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh perifer bertanggung
jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan
tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensi aorta
dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung
dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer & Bare, 2006).
b. Faktor
yang dapat diubah
1) Pola
Makan
Pola makan tinggi gula akan menyebabkan
penyakit Diabetes Melitus (DM). Diabetes menginduksi hiperkolesterolimia dan
berkaitan juga dengan proliferasi sel otot polos dalam pembuluh darah arteri
koroner, sintesis kolesterol, trigliserida dan fosfolipid, peningkatan kadar Low
Density Lipoprotein-Cholesterol (LDL-C) dan penurunan kadar High
Density Lipoprotein-Cholesterol (HDL-C).
Makanan tinggi kalori, lemak total, lemak
jenuh, gula dan garam turut berperan dalam berkembangnya hiperlipidemia dan
obesitas. Obesitas dapat meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan akan
oksigen, serta obesitas akan berperan dalam gaya hidup pasif (malas
beraktivitas). Lemak tubuh yang berlebihan dan ketidakaktifan fisik berperan
dalam resistensi insulin (Price &
Wilson, 2006).
2) Kebiasaan
Merokok
Menurut Bowman (2007) dikutip dalam
Anggaraini (2009), resiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap
perhari, bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok satu pak rokok per
hari menjadi dua kali lebih rentang dari pada mereka yang tidak merokok yang
diduga penyebabnya adalah pengaruh nikotin terhadap pelepasan katelodamin oleh
sistem saraf otonom.
3) Aktivitas
Fisik
Ketidakaktifan fisik meningkatkan resiko Cardiac
Heart Desease (CHD) yang setara dengan hiperlipidemia, dan seseorang
yang tidak aktif secara fisik memiliki resiko 30-50% lebih besar untuk
mengalami hipertensi. Selain meningkatkan perasaan sehat dan kemampuan untuk
mengatasi stres, keuntungan latihan aerobik yang teratur adalah meningkatnya
kadar HDL-C, menurunnya kadar LDL, menurunnya tekanan darah, berkurangnya
obesitas, berkurangnya frekuensi denyut jantung saat istirahat, dan konsumsi
oksigen miokardium (MVO2), dan menurunnya resistensi insulin (Price
& Wilson, 2006).
4. Patofisiologi
Mekanisme
yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula dari saraf
sinpatis, yang berkelanjutan ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medulla spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem
saraf simpatis ke ganglia simpatis, pada titik ini neuron preganglion melepaskan
asetikolin yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimna dengna dilepaskannya neropinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respons
pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor (Price & Wilson, 2006).
Saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenalin juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktifasi vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya yang
dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin.
Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin
II, suatu vasokonstriktor kuat yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Price & Wilson, 2006).
Hipertensi
pada lansia terjadi karena adanya perubahan struktural dan fungsional pada
sistem pembuluh perifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah.
Perubahan tersebut meliputi ateroklorosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya
aorta dan arteri besar kurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah
yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Smeltzer & Bare, 2006).
5. Manifestasi
klinik
Pemeriksaan
fisik mungkin tidak ditemukan kelainan selain tekanan darah yang tinggi, akan
tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina seperti perdarahan, eksudat,
penyempitan pembuluh darah dan pada kasus berat terdapat edema pupil (Smeltzer
& Bare, 2002). Tanda gejala lain yang meskipun secara tidak sengaja terjadi
bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi yaitu sakit
kepala, perdarahan di hidung, pusing yang terkadang juga terjadi pada seseorang
dengan tekanan darah normal. Jika hipertensi berat atau menahun dan tidak
terobati, dapat timbul gejala-gejala seperti sakit kepala, kelelahan, mual,
muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan kabur (karena adanya kerusakan pada
otak, mata, jantung dan ginjal) (Ruhyanuddin, 2007).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada
hipertensi terbagi menjadi 2 bagian yaitu penatalaksanaan farmakologi dan non
farmakologi:
a. Penatalaksanaan
farmakologi
Pemilihan
obat pada penderita hipertensi tergantung pada derajat meningkatnya tekanan
darah dan keberadaan compeling indication yaitu gagal jantung,
pasca infark miokardial, resiko tinggi penyakit koroner, diabetes
melitus, gagal ginjal kronik, dan pencegahan serangan stroke berulang. Pilihan
obat tanpa compeling indication pada hipertensi ringan (tahap 1)
adalah diuretic thiazide umumnya dapat dipertimbangkan inhibitor Angiotensin
Converting Enzyme (ACE), ARB, β bloker, Celluler Calsium Bloker (CCB)/kombinasi. Sedangkan
pada hipertensi sedang (tahap II) biasanya kombinasi dua obat yaitu diuretik
thiazide dengan inhibitor ACE
atau ARB, atau β bloker.
Diuretik
dipilih untuk menangani efek peningkatan volume dan natrium karena menurunnya
fungsi ginjal sehingga menyebabkan cairan dan natrium terakumulasi yang dapat
mempengaruhi tekanan darah arteri. Diuretik berguna untuk menurunkan tekanan
darah dengan cara mendeplesi (mengosongkan) natrium tubuh dan menurunkan volume
darah. Sediaan diuretik yang beredar antara lain Bendrofluazid, Furosemid,
Torasemid, Manitol, dan Bumetamid (Sukandar, dkk, 2009).
ACE
membantu produksi angiotensin II yang berperan penting dalam regulasi tekanan
darah arteri. Inhibitor ACE mencegah perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II (vasokonstriktor potensial dan stimulus sekresi aldosteron).
Inhibitor ACE ini juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis
senyawa vasodilator lainnya termasuk prostaglandin E2 dan
prostasiklin. Sediaan inhibitor ACE yang beredar antara lain captopril, Benazepril,
Delapril, Fasonopril, dan Perindopril (Sukandar, et al 2009).
Hipotensi
β bloker dapat melibatkan menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif
dan inotropik jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal. Penghambat
saluran kalsium (CCB) menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage
sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstra seluler ke dalam
sel.
Relaksasi otot polos
vaskuler menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah.
Antagonis kanal kalsium dihidropidini dapat menyebabkan aktivasi refleks
simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amilodopilin) memberikan efek
inotropik negatif. Hipertensi pada orang tua (>50 tahun) obat pilihan
pertama yang diberikan adalah β bloker jika dengan angina dan inhibitor ACE
jika dengan diabetes atau gagal jantung (Sukandar, dkk, 2009).
b. Penatalaksanaan
non farmakologi
Penatalaksanaan
non farmakologi yaitu modifikasi gaya hidup dan terapi. JNC memberikan alur
penanganan pada pasien hipertensi yang paling utama adalah modifikasi gaya
hidup, jika respon tidak adekuat maka dapat diberikan pilihan obat dengan
efektifitas tertinggi dengan efek samping terkecil dan penerimaan serta kepatuhan
pasien (Smeltzer & Bare, 2006).
Penderita
hipertensi yang mengalami berat badan dianjurkan untuk menurunkan berat
badannya sampai batas ideal. Merubah pola makan pada penderita diabetes,
kegemukan atau kadar kolesterol darah tinggi. Mengurangi pemakaian garam sampai
kurang dari 2,3 garam natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya
(disertai dengan asupan kalsium, magnesium, kalium yang cukup) dan mengurangi
alkohol (Soeharto, 2004).
Kebiasaan
merokok juga harus dikurangi bahkan dihindari, karena keadaan jantung dan
paru-paru mereka yang merokok tidak akan dapat bekerja secar efesien. Asap
rokok mengandung nikotin yang memacu pengeluaran zat-zat adrenalin yang dapat
merangsang denyutan jantung dan tekanan darah. Selain itu, asap rokok
mengandung karbon monoksida (CO) yang memiliki kemampuan jauh lebih kuat
daripada sel darah merah (hemoglobin) untuk menarik atau
menyerap oksigen, sehingga
menurunkan kapasitas darah merah
untuk membawa oksigen ke jaringan termasuk jantung (Soeharto, 2006).
Comments
Post a Comment