ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN GANGGUAN SISTEM HEMATOLOGI
DAN IMUNOLOGI
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang diridhoi Allah SWT.
Maksud penulis membuat makalah ini
adalah untuk dapat lebih memahami tentang Asuhan Keperawatan Anak Dengan
Gangguan Sistem Hematologi Dan Imunologi.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kulia Keperawatan Anak. Mudah-mudahan makalah ini bisa membantu bagi
mahasiswa untuk bekal nanti di lapangan.
Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang membaca
makalah ini. Amin.
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang........................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah....................................................................................... 2
C.
Tujuan
Penulisan......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1
Konsep
Penyakit Thalasemia Pada Anak.................................................. 3
2.2
Konsep
Penyakit Anemia Pada Anak....................................................... 7
2.3
Konsep
Penyakit ITP Pada Anak.............................................................. 12
2.4 Konsep Penyakit Leukomia Pada Anak.................................................... 16
BAB II KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1
Konsep
Asuhan Keperawatan Thalasemia Pada Anak.............................. 20
3.2
Konsep
Asuhan Keperawatan Anemia Pada Anak................................... 27
3.3
Konsep
Asuhan Keperawatan ITP Pada Anak......................................... 33
3.4 Konsep Asuhan Keperawatan Leukomia
Pada Anak............................... 38
BAB
IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................................ 44
B.
Saran
.......................................................................................................... 44
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hematologi
adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk darah
dan penyakitnya. Khususnya jumlah dan
morfologi sel-sel darah, serta
sumsum tulang. Darah adalah jaringan
khusus yang berbeda dengan organ lain, karena berbentuk cairan. Jumlah darah
dalam tubuh adalah 6-8% berat tubuh total.
Empat puluh lima sampai 60% darah terdiri dari sel-sel, terutama
eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah adalah sebagai media
transportasi, serta memelihara suhu tubuh dan
keseimbangan cairan (Atul dan
Victor, 2008 cit. Arifin dkk, 2015).
Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari
leukosit, eritrosit, hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit dan
trombosit. Pemeriksaan hitung darah lengkap terdiri dari hemogram ditambah
leukosit diferensial yang terdiri dari neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit
dan monosit (Menkes RI, 2011).
Darah merupakan bagian dari tubuh yang berperan penting dalam
mempertahankan kehidupan. Sebab, ia berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
virus atau bakteri. Darah berbentuk cairan, sehingga dapat didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Volume dalam tubuh bervariasi, pada orang
dewasa volume darah sekitar 6 liter atau sekitar 7-8 % dari berat badan. Darah
terdiri dari komponen berbentuk dan komponen plasma. Komponen berbentuk kurang
lebih 45% (eritrosit, lekosit dan trombosit). Angka (45 %) ini dinyatakan dalam
nilai hermatokrit atau volume sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar
antara 40 sampai 47 (Erna dan Supriyadi, 2015).
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit
terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan
dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi
sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep penyakit dan konsep asuhan
keperawatan thalasemia pada anak
2. Bagaimana konsep penyakit dan konsep asuhan
keperawatan anemia pada anak
3. Bagaimana konsep penyakit dan konsep asuhan
keperawatan ITP pada anak
4. Bagaimana konsep penyakit dan konsep asuhan
keperawatan leukomia pada anak
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep penyakit dan konsep
asuhan keperawatan thalasemia pada anak
2. Untuk mengetahui konsep penyakit dan konsep
asuhan keperawatan anemia pada anak
3. Untuk mengetahui konsep penyakit dan konsep
asuhan keperawatan ITP pada anak
4. Untuk mengetahui konsep penyakit dan konsep
asuhan keperawatan leukomia pada anak
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Konsep Penyakit Thalasemia Pada Anak
2.1.1
Pengertian
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitikdimana terjadi kerusakan sel
darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur erirosit menjadi pendek (kurang
dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997 : 377).
Thalasemia merupakan penyakit anemua hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif, secara molekuler dibedakan menjadi thalasemia alfa dan beta, sedangkan
secara klinis dibedakan menjadi thalasemia mayor dan minor (Mansjoer, Kapita Selekta
Kedokteran, 2000 : 497).
2.1.2
Macam – macam Thalasemia :
1. Thalasemia beta
Merupakan anemia yang sering dijumpai yang diakibatkan oleh defek yang diturunkan dalam sintesis rantai beta hemoglobin.
Thalasemia
beta meliputi:
a. Thalasemia beta mayor
Bentuk
homozigot merupakan anemia hipokrom mikrositik yang berat dengan hemolisis di dalam
sumsum tulang dimulai pada tahun pertama kehidupan.Kedua orang tua merupakan pembawa
“ciri”.
b. Thalasemia Intermedia dan minor
Pada
bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda – tanda anemia ringan dan splenomegali.
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan kadar Hb bervariasi, normal agak rendah atau
meningkat (polisitemia).
2. Thalasemia alpa
Merupakan thalasemia dengan defisiensi pada rantai a.
2.1.3
Etiologi
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan
sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana
mestinya. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah
merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang
atau tidak ada,maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi, sehingga
fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara
normal.
Adapun etiologi dari thalasemia
adalah faktor genetik (herediter). Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi
pendek(kurang dari 100 hari). Penyebab kerusakan tersebut karena hemoglobin yang
tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan
pembentukan yang disebabkan oleh :
a.
Gangguan struktur pembentukan
hemoglobin (hb abnormal)
b.
Gangguan jumlah (salah satu
atau beberapa) rantai globin seperti pada Thalasemia)
Thalasemia mayor terjadi apabila
gen yang cacat diwarisi oleh kedua orang tua. Jika bapa atau ibu merupakan pembawa
thalasemia,mereka boleh menurunkan thalasemia kepada anak-anak mereka. Jika kedua
orang tua membawa ciri tersebut maka anak-anak mereka mungkin pembawa atau mereka
akan mnderita penyakit tersebuat
2.1.4
Patofisiologi
Hemoglobin paska kelahiran yang normal
terdiri dari dua rantai alpa dan beta polipeptide. Dalam beta thalasemia ada penurunan
sebagian atau keseluruhan dalam proses sintesis molekul hemoglobin rantai beta.
Konsekuensinya adanya peningkatan compensatori dalam proses pensintesisan rantai
alpa dan produksi rantai gamma tetap aktif, dan menyebabkan ketidaksempurnaan formasi
hemoglobin. Polipeptid yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil, mudah terpisah
dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia yang parah. Untuk menanggulangi
proses hemolitik, sel darah merah dibentuk dalam jumlah yang banyak, atau setidaknya
bone marrow ditekan dengan terapi transfusi. Kelebihan fe dari penambahan RBCs dalam
transfusi serta kerusakan yang cepat dari sel defectif, disimpan dalam berbagai
organ (hemosiderosis).
2.1.5
Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin
ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid
akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang,
tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat
anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan
epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi
peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun
dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia
akibat hipersplenisme.
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin
(keterlambatan dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes),
hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan pericardium
(perikerditis). Secara
umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain: Letargi, Pucat, Kelemahan,
Anoreksia, Sesak nafas, Tebalnya tulang kranial, Pembesaran limpa, Menipisnya tulang
kartilago.
2.1.6
Pemeriksaan Penunjang
Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel darah merah, yaitu
mikrositosis, hipokromia, anosositosis, poikilositosis, sel target, eritrosit yang
immature, penurunan hemoglobin dan hematrokrit. Elektroforesis hemoglobin : peningkatan
hemoglobin. Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang
hiperaktif terutama seri eritrosit. Hasil foto rontgen meliputi perubahan pada tulang akibat
hiperplasia sumsum yang berlebihan. Perubahan meliputi pelebaran medulla,
penipisan korteks, dan trabekulasi yang lebih kasar. Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan PCR (Polymerase
Chain Reaction) merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju.
2.1.7
Penatalaksanaan
1.
Transfusi sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar
11 g/dl. Pemberian
sel darah merah sebaiknya 10 – 20 ml/kg berat badan.
2. Pemberian
chelating agents (Desferal) secara intravena atau subkutan. Desferiprone
merupakan sediaan dalam bentuk peroral. Namun manfaatnya lebih rendah dari desferal
dan memberikan bahaya fibrosis hati.
3. Tindakan
splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda – tanda hipersplenisme
atau kebutuhan transfusi meningkat atau karena sangat besarnya limpa.
4. Transplantasi
sumsum tulang biasa dilakukan pada thalasemia beta mayor.
2.2
Konsep Penyakit Anemia Pada Anak
2.2.1
Definisi
Suatu keadaan menurunnya kadar
hemoglobin dan atau jumlah eritrosit lebih rendah dari nilai normal. (Mansjoer,
2001)
Anemia adalah berkurangnya jumlah
eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume
sel yang dipadatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah.
(Ngastiyah, 1997)
2.2.2
Etiologi
Penyebab terjadinya anemia
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.
Perdarahan
a.
Akut : karena trauma yang terjadi secara mendadak
b.
Kronis : karena perdarahan pada saluran
pencernaan atau menorhagia
2.
Gangguan pembentukan sel darah merah (eritrosit)
a.
Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma
b.
Perubahan sintesa hemoglobin (Hb) sehingga dapat
menimbulkan anemia defisiensi zat besi, thalasemia, dan anemia infeksi kronik
c.
Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien
yang dapat menimbulkan anemia pernisiosa dan anemia defisiensi asam folat
d.
Gangguan pada sel induk (stem sel) sehingga
menimbulkan anemia aplastik dan leukimia
e.
Bahan baku pembentukan eritrosit tidak ada, seperti
asam folat, zat besi, dan vitamin B12.
3.
Meningkatnya proses pemecahan eritrosit (hemolisis)
a.
Faktor didapat : adanya zat yang dapat merusak
eritrosit, misalnya ureum pada darah karena gangguan ginjal atau penggunaan
obat acetosal
b.
Faktor bawaan : kekurangan enzim G6PD (untuk
mencegah kerusakan eritrosit)
2.2.3
Klasifikasi, Manifestasi Klinis, dan
Pemeriksaan Laboratorium
Anemia dapat klasifikasikan secara
morfologis (ukuran, bentuk dan warna) sel darah merah dan berdasarkan
etiologinya.
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologis :
1.
Normochromic, normocytic
anemia (normal MCHC, normal MCV).
a. Anemias of chronic
disease
b. Hemolytic
anemias
c. Anemia of acute
hemorrhage
d. Aplastic anemias
2. Hypochromic,
microcytic anemia (low MCHC, low MCV).
a. Iron deficiency
anemia
b. Thalassemias
c. Anemia of chronic
disease (rare cases)
3. Normochromic,
macrocytic anemia (normal MCHC, high MCV).
a. Vitamin B12
deficiency
b. Folate deficiency
Klasifikasi anemia
berdasarkan etiologi:
1.
Anemia Aplastik
Merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya
sel darah merah dalam darah perifer, sebagai akibat terhentinya pembentukan sel
hemopoetik dalam sumsum tulang. Aplasia dapat terjadi hanya pada satu, dua, atau
ketiga sistem hemopoetik (eritropoetik, granulopoetik, dan trombopoetik).
a.
Eritroblastopenia: aplasia yang hanya mengenai
sistem eritropoetik
b.
Agranulositosis: aplasia yang mengenai sistem
granulopoetik
c.
Amegakariositik Trombositopenik Purpura (ATP) :
aplasia yang mengenai sistem trombopoetik
d.
Panmieloptisis/Pansitopenia (anemia aplastik) :
aplasia pada ketiga sistem hemopoetik
2. Anemia Hemolitik
Biasanya terjadi pada bayi baru
lahir. Merupakan dampak apabila ada ketidaksesuaian atau isoimunisasi antara
darah fetal dan darah ibu. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit
menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari).
Gejala umum disebabkan oleh
adanya penghancuran eritrosit dan keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan
kompensasi terhadap penghancuran tersebut. Sehingga akan terbentuk lebih banyak
sistem eritropoetik dalam darah perifer, yang ditunjukkan dengan banyaknya
eritrosit berinti dan peningkatan jumlah retikulosit. Limpa umumnya membesar
karena merupakan tempat penyimpanan eritrosit yang dihancurkan, sehingga
kemungkinan terjadinya peningkatan bilirubin. Pada kondisi kronis, terdapat
kelainan tulang rangka akibat hiperplasia sumsum tulang.
Penyebab anemia hemoilitik diduga sebagai
berikut :
a. Kongenital,
misalnya kelainan rantai Hb dan defisiensi enzim C6PD
b. Didapat,
misalnya infeksi, sepsis, penggunaan obat, dan maligna
3. Anemia Defisiensi Zat Besi
Diakibatkan kekurangan intake zat
besi atau tidak sesuai pemakaian didalam sumsum tulang, terhalangnya pelepasan
dalam sel-sel reticuloendotelial dan gangguan absorbsi. Anemia defisiensi zat
besi disebabkan oleh suplai zat besi yang tidak adekuat untuk pembentukan
eritrosit normal, sehingga menyebabkan bentuk eritrosit yang lebih kecil, massa
berkurang, konsentrasi hemoglobin dan kapasitas darah mengangkut oksigen
menurun.
Ditinjau dari umur penderita,
etiologi anemia defisiensi zat besi dapat digolongkan menjadi :
a. Bayi
dibawah usia 1 tahun
1) Kekurangan
zat besi sejak lahir, misalnya pada prematuritas, bayi kembar, bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang anemia
2) Pemberian
makanan tambahan yang terlambat
b. Anak
umur 1-2 tahun
1) Infeksi
berulang, misalnya enteritis, bonkopneumonia, dan sebagainya
2) Diet
yang tidak adekuat
c. Anak
umur lebih dari 5 tahun
1) Kehilangan
darah kronis karena infeksi parasit, misalnya ankilostomiasis, amubiasis
2) Diet
yang tidak adekuat
d.
Anemia Pernisiosa
Disebabkan karena tidak adanya faktor dalam darah
yang diperlukan untuk perbaikan vitamin B12 (kobalamin) dalam pembentukan
sl-sel darah merah. Pada anemia pernisiosa, bentuk eritrositnya makrositik
normokromik (ukuran RBC besar dengan bentuk abnormal tetapi kadar Hb normal).
e.
Anemia Akibat
Perdarahan
Ulkus yang berdarah, ulcerative
colitis, dan penyakit gastrointestinal yang hebat dapat kehilangan darah secara
perlahan, sehingga berakhir dengan anemia. Dapat juga setelah pembedahan dan
pada luka trauma.
Akibat kehilangan darah yang
mendadak maka akan terjadi refleks kardiovaskular yang fisiologis berupa
kontraksi arteriol, pengurangan aliran darah ke organ yang kurang vital, dan
penambahan aliran darah ke organ vital (otak dan jantung). Selain
itu, akan terjadi pergeseran cairan ekstravaskular ke intravaskular agar
tekanan osmotik dapat dipertahankan. Akibatnya terjadi hemodilusi
dengan gejala :
a.
Penurunan hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit
b.
Leukositosis
c.
Gagal jantung
d.
Kelainan cerebral akibat hipoksemia
e.
Oliguria/anuria
2.2.4
Penatalaksanaan Medis Pada Kasus Anemia
Penatalaksanaan
anemia umumnya ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang
hilang:
1.
Anemia aplastik:
§ Pemberian
steroid androgenik disertai kortikosteroid (misalnya testosteron, prednison)
untuk menstimulasi eritropoiesis
§ Pemberian
antibiotika yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang, misalnya ALG/ATG
§ Transfusi
darah diberikan pada keadaan perdarahan masif, perdarahan organ, trombosit
kurang dari 20.000/mm3
§ Transplantasi
sumsum tulang memberikan prognosis yang lebih baik sebesar 80% selama 3 tahun
(transplantasi sumsum tulang sebelum transfusi darah dapat menurunkan reaksi
penolakan tubuh)
§ Uji
dipstik untuk melihat darah dalam urine dan tes guaiac untuk darah dalam feses,
sebagai pemantauan terhadap kecenderungan perdarahan abnormal
§ Pantau
efek samping terapi steroid (iritasi lambung, edema, enfeksi, hipertensi,
peningkatan BB), androgen (peningkatan BB, suara memberat, peningkatan
pertumbuhan rambut), dan ATG/ALG (demam, menggigil, ruam, trombositopenia)
2.
Anemia pada defisiensi besi
§ Dicari penyebab defisiensi besi
§ Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat
ferosus dan fumarat ferosus.
§ Transfusi (untuk kasus yang berat, kasus infeksi
berat, disfungsi jantung, atau pembedahan darurat)
§ Awasi efek samping preparat zat besi : mual, muntah,
diare atau konstipasi, feses berwarna hitam atau hijau, dan perubahan warna
gigi
3.
Anemia megaloblastik
§ Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian
vitamin B12, bila difisiensi disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak
tersedianya faktor intrinsik dapat diberikan vitamin B12 dengan injeksi IM.
§ Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12
harus diteruskan selama hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa atau
malabsorbsi yang tidak dapat dikoreksi.
§ Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet
dan penambahan asam folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan gangguan
absorbsi.
2.3
Konsep Penyakit ITP Pada Anak
2.3.1
Definisi
ITP adalah singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura. Idiopathic berarti tidak
diketahui penyebabnya. Thrombocytopenic berarti darah yang tidak cukup memiliki
keping darah (trombosit). Purpura berarti memiliki luka memar yang banyak
(berlebihan). (Family Doctor, 2006).
Idiophatic (Autoimmune) Trobocytopenic Purpura
(ITP/ATP) merupakan kelainan autoimun dimana autoanti body Ig G dibentuk untuk
mengikat trombosit.
ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura) juga bisa
dikatakan merupakan suatu kelainan pada sel pembekuan darah yakni trombosit
yang jumlahnya menurun sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi
umumnya pada kulit berupa bintik merah hingga ruam kebiruan. (Imran, 2008)
2.3.2
Etiologi
1. Penyebab
dari ITP tidak diketahui secara pasti, mekanisme yang terjadi melalui
pembentukan antibodi yang menyerang sel trombosit, sehingga sel trombosit mati.
(Imran, 2008). Penyakit ini diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh
menghasilkan antibodi yang menyerang trombositnya sendiri. Dalam kondisi
normal, antibodi adalah respons tubuh yang sehat terhadap bakteri atau virus yang
masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk penderita ITP, antibodinya bahkan menyerang
sel-sel keping darah ubuhnya sendiri. (Family Doctor, 2006).
2. ITP
kemungkinan juga disebabkan oleh hipersplenisme, infeksi virus, intoksikasi
makanan atau obat atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan
factor pematangan (misalnya malnutrisi), koagulasi intravascular diseminata
(KID), autoimun. Berdasarkan etiologi, ITP dibagi menjadi 2 yaitu primer
(idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan awitan penyakit dibedakan tipe akut bila
kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak)
dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umunnya terjadi pada orang dewasa). (ana
information center, 2008)
3. ITP juga
terjadi pada pengidap HIV. sedangkan obat-obatan seperti heparin, minuman
keras, quinidine, sulfonamides juga boleh menyebabkan trombositopenia. Biasanya
tanda-tanda penyakit dan faktor-faktor yang berkatan dengan penyakit ini adalah
seperti yang berikut : purpura, pendarahan haid darah yang banyak dan tempo
lama, pendarahan dalam lubang hidung, pendarahan rahang gigi, immunisasi virus
yang terkini, penyakit virus yang terkini dan calar atau lebam.
2.3.3
Manifestasi Klinis
1. Bintik-bintik
merah pada kulit (terutama di daerah kaki), seringnya bergerombol dan
menyerupai rash. Bintik tersebut ,dikenal dengan petechiae, disebabkan karena
adanya pendarahan dibawah kulit .
2. Memar
atau daerah kebiruan pada kulit atau membran mukosa (seperti di bawah mulut)
disebabkan pendarahan di bawah kulit. Memar tersebut mungkin terjadi tanpa
alasan yang jelas. Memar tipe ini disebut dengan purpura. Pendarahan yang lebih
sering dapat membentuk massa tiga-dimensi yang disebut hematoma.
3. Hidung
mengeluarkan darah atau pendarahan pada gusi. Ada darah pada urin dan feses.
Beberapa macam pendarahan yang sukar dihentikan dapat menjadi tanda ITP.
Termasuk menstruasi yang berkepanjangan pada wanita. Pendarahan pada otak
jarang terjadi, dan gejala pendarahan pada otak dapat menunjukkan tingkat
keparahan penyakit.
4. Jumlah
platelet yang rendah akan menyebabkan nyeri, fatigue (kelelahan), sulit
berkonsentrasi.
2.3.4
Patologi Dan Patofisiologi
ITP
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibody
terhadap gliko protein yang terdapat pada membran trombosit. Penghancuran
terjadi terhadap trombosit yang diselimuti antibody, hal tersebut dilakukan
oleh magkrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikulo endotelial lainnya.
Megakariosit pada sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. Sedangkan
kadar trombopoitein dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan
maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP
kronis.
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemologis
antara ITP akut dan kronis, menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme
patofisiologi terjadinya trombsitopenia diantara keduanya. Pada ITP akut, telah
dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibody yang
dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi bakteri atau virus atau pada
imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit.
Mediator lainnya yang meningkat selama terjadinya
respon imun terhadap produksi trombosit. Sedangkan pada ITP kronis mungkin
telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun seperti pada penyakit
autoimun lainnya yang berakibat terbentuknya antibodi spesifik terhadap
antibodi.
Saat ini telah didefinisikan (GP) permukaan trombosit
pada ITP, diantaranya GP Ib-lia, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibodi
antitrombosit meningkat pada ITP, perbedaan secara pasti patofisiologi ITP akut
dan kronis, serta komponen yang terlibat dalam regulasinya masih belum
diketahui.
Gambaran klinik ITP yaitu: 1) onset pelan dengan
perdarahan melalui kulit atau mukosa berupa : petechie, echymosis, easy
bruising, menorrhagia, epistaksis, atau perdarahan gusi. 2) perdarahan SSP
jarang terjadi tetapi dapat berakibat fatal. 3) splenomegali pada <10
kasus.="kasus." o:p="o:p">
2.3.5
Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung
darah lengkap dan jumlah trombosit menunjukkan penurunan hemoglobin,
hematokrit, trombosit (trombosit < 20.000 / mm3).
2. Anemia
normositik: bila lama berjenis mikrositik hipokrom.
3. Leukosit
biasanya normal: bila terjadi perdarahan hebat dapat terjadi
leukositosis.Ringan pada keadaan lama: limfositosis relative dan leucopenia
ringan.
4. Sum-sum
tulang biasanya normal, tetapi megakariosit muda dapat bertambah dengan
maturation arrest pada stadium megakariosit.
5. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal,
prothrombin consumption memendek, test RL (+).
2.3.6
Pencegahan
1. Idiopatik
Trombositopeni Purpura (ITP) tidak dapat dicegah, tetapi dapat dicegah
komplikasinya.
2. Menghindari
obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat mempengaruhi platelet dan
meningkatkan risiko pendarahan.
3. Lindungi
dari luka yang dapat menyebabkan memar atau pendarahan. Lakukan terapi yang
benar untuk infeksi yang mungkin dapat berkembang.
4. Konsultasi
ke dokter jika ada beberapa gejala infeksi, seperti demam. Hal ini penting bagi
pasien dewasa dan anak-anak dengan ITP yang sudah tidak memiliki limfa.
2.4
Konsep Penyakit Leukomia Pada Anak
2.4.1
Pengertian
Leukimia adalah
proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk darah.
(Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175).
Leukimia adalah
proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang
menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 :
248 ).
Leukimia adalah suatu
keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum
tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh
yang lain. (Arief Mansjoer, 2002).
Berdasarkan dari
beberapa pengetian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukimia
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh prolioferasi abnormal dari sel-sel
leukosit yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.
2.4.2
Etiologi
Penyebab yang pasti
belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi
yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
1. Faktor
genetik : virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (Tcell
Leukemia – Lhymphoma Virus/ HLTV).
2. Radiasi
3. Obat-obat
imunosupresif, obat-obat kardiogenik seperti diethylstilbestrol.
4. Faktor
herediter, misalnya pada kembar monozigot.
5. Kelainan
kromosom, misalnya pada down sindrom. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal.
177)
6. Leukemia
biasanya mengenai sel-sel darah putih.
7. Penyebab
dari sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui.
8. Pemaparan
terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya benzena) dan
pemakaian obat antikanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia. Orang yang
memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma
Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
2.4.3
Gambaran Klinik
Manifestasi klinik
yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut :
1. Pilek
tidak sembuh-sembuh
2. Pucat,
lesu, mudah terstimulasi
3. Demam
dan anorexia
4. Berat
badan menurun
5. Ptechiae,
memar tanpa sebab
6. Nyeri
pada tulang dan persendian
7. Nyeri
abdomen
8. Lumphedenopathy
9. Hepatosplenomegaly
10. Abnormal
WBC (Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177)
2.4.4
Insiden
ALL (Acute Lymphoid
Leukemia) adalah insiden paling tinggi terjadi pada anak-anak yang berusia
antara 3 dan 5 tahun. Anak perempuan menunjukkan prognosis yang lebih baik dari
pada anak laki-laki. Anak kulit hitam mempunyai frekuensi remisi yang lebih
sedikit dan angka kelangsungan hidup (survival rate) rata-rata yang juga lebih
rendah.
ANLL (Acute
Nonlymphoid Leukemia) mencakup 15% sampai 25% kasus leukemia pada anak. Resiko
terkena penyakit ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan kromosom
bawaan seperti Sindrom Down. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi
(angka remisi 70%). Remisinya lebih singkat pada anak-anak dengan ALL. Lima
puluh persen anak yang mengalami pencangkokan sumsum tulang memiliki remisi
berkepanjangan. (Betz, Cecily L. 2002. hal : 300).
2.4.5
Patofisiologi
Normalnya tulang
marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya proliferasi
sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan
anemia dan trombositipenia. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan
menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
Manifestasi akan tampak
pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem saraf pusat.
Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yangt akan
berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan
tekanan jaringan. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat
terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus limfe, dan nyeri persendian. (Suriadi,
& Yuliani R, 2001: hal. 175)
2.4.6
Pemeriksaan
Laboratorium dan Diagnostik
1.
Hitung darah lengkap
complete blood cell (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat
didiagnosis memiliki memiliki prognosis paling baik; jumlah lekosit lebih dari
50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
2.
Pungsi lumbal untuk
mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat
3.
Foto toraks untuk
mendeteksi keterlibatan mediastinum.
4.
Aspirasi sumsum
tulang. Ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis.
5.
Pemindaian tulang atau
survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang.
6.
Pemindaian ginjal,
hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik.
7.
Jumlah trombosit
menunjukkan kapasitas pembekuan. (Betz, Cecily L. 2002).
2.4.7
Penatalaksanaan Medis
Protokol pengobatan
bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada anak.
Proses induksi remisi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi,
dan rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima
berbagai agens kemoterapeutik untuk menimbulkan remisi. Periode intensif
diperpanjang 2 sampai 3 minggu selama fase konsolidasi untuk memberantas
keterlibatan sistem saraf pusat dan organ vital lain. Terapi rumatan diberikan
selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk memperpanjang remisi. Beberapa
obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah prednison (antiinflamasi),
vinkristin (antineoplastik), asparaginase (menurunkan kadar asparagin (asam
amino untuk pertumbuhan tumor), metotreksat (antimetabolit), merkaptopurin,
sitarabin (menginduksi remisi pada pasien dengan leukemia granulositik akut),
alopurinol, siklofosfamid (antitumor kuat), dan daunorubisin (menghambat
pembelahan sel selama pengobatan leukemia akut). (Betz, Cecily L. 2002. : 302).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Konsep Asuhan Keperawatan Thalasemia Pada
Anak
3.1.1
Pengkajian
1.
Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah
(Mediteranial) seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup
banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2.
Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas,
gejala telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia
minor biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
3.
Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan
atas atau infeksi lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat
transport.
4.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Seirng didapatkan data adanya kecenderungan gangguan
terhadap tumbang sejak masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan
fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak
juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat pertumbuhan
dan perkembangan anak normal.
5.
Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan,
sehingga BB rendah dan tidak sesuai usia.
6.
Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya.
Anak lebih banyak tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
7.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi
perlu diperiksa apakah orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak
beresiko terkena talasemia mayor.
8.
Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante
natal Core – ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji
secara mendalam adanya faktor resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko,
maka ibu perlu diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah
lahir.
9.
Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a. KU = lemah
dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
b. Kepala
dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu
kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata
lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan
konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan
bibir terlihat kehitaman
e. Dada, Pada
inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan disebabkan
oleh anemia kronik.
f. Perut,
Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
g. Pertumbuhan
fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
h. Pertumbuhan
organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan baik. Misal
tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak dapat
mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i.
Kulit, Warna kulit pucat kekuningan,
jika anak telah sering mendapat transfusi warna kulit akan menjadi kelabu seperti
besi. Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
3.1.2
Diagnosa
Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan
dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2.
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
3.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan
mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah
normal.
4.
Resiko terjadi kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
5.
Resiko infeksi berhubungan dengan
pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6.
Kurang pengetahuan tentang prognosis
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal
sumber informasi.
3.1.3
Intervensi
Keperawatan
1.
Dx 1 Perubahan perfusi jaringan
berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
Kriteria
hasil :
a.
Tidak terjadi palpitasi
b.
Kulit tidak pucat
c.
Membran mukosa lembab
d.
Keluaran urine adekuat
e.
Tidak terjadi mual/muntah dan
distensil abdomen
f.
Tidak terjadi perubahan tekanan
darah
g.
Orientasi klien baik.
Intervensi :
a.
Awasi tanda-tanda vital, kaji
pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar kuku.
b.
Tinggikan kepala tempat tidur
sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan hipotensi).
c.
Selidiki keluhan nyeri dada,
palpitasi.
d.
Kaji respon verbal melambat,
mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung.
e.
Catat keluhan rasa dingin, pertahankan
suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai indikasi.
f.
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium,
Hb, Hmt, AGD, dll.
g.
Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
h.
Awasi ketat untuk terjadinya
komplikasi transfusi.
2.
Dx. 2 intoleransi aktivitas
berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria
hasil :
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi,
misalnya nadi, pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi
:
a.
Kaji kemampuan pasien untuk
melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan dalam beraktivitas.
b.
Awasi tanda-tanda vital selama
dan sesudah aktivitas.
c.
Catat respin terhadap tingkat
aktivitas.
d.
Berikan lingkungan yang tenang.
e.
Pertahankan tirah baring jika
diindikasikan.
f.
Ubah posisi pasien dengan perlahan
dan pantau terhadap pusing.
g.
Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan
untuk meningkatkan istirahat.
h.
Pilih periode istirahat dengan
periode aktivitas.
i.
Beri bantuan dalam beraktivitas
bila diperlukan.
j.
Rencanakan kemajuan aktivitas
dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
k.
Gerakan teknik penghematan energi,
misalnya mandi dengan duduk.
3.
Dx. 3 perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna / ketidakmampuan
mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah normal.
Kriteria hasil :
a.
Menunjukkan peningkatan berat
badan/ BB stabil.
b.
Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
a.
Kaji riwayat nutrisi termasuk
makanan yang disukai.
b.
Observasi dan catat masukan
makanan pasien.
c.
Timbang BB tiap hari.
d.
Beri makanan sedikit tapi sering.
e.
Observasi dan catat kejadian
mual, muntah, platus, dan gejala lain yang berhubungan.
f.
Pertahankan higiene mulut yang
baik.
g.
Kolaborasi dengan ahli gizi.
h.
Kolaborasi Dx. Laboratorium
Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
i.
Berikan obat sesuai indikasi
yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak dianjurkan.
4.
Dx. 4 Resiko terjadi kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan nourologis.
Kriteria
hasil :
a. Kulit utuh.
Intervensi
:
a.
Kaji integritas kulit, catat
perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan ekskoriasi.
b.
Ubah posisi secara periodik.
c.
Pertahankan kulit kering dan
bersih, batasi penggunaan sabun.
5.
Dx. 5. resiko infeksi berhubungan
dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan Hb, leukopenia atau penurunan
granulosit.
Kriteria hasil :
a.
Tidak ada demam
b.
Tidak ada drainage purulen atau
eritema
c.
Ada peningkatan penyembuhan
luka
Intervensi :
a.
Pertahankan teknik septik antiseptik
pada prosedur perawatan.
b.
Dorong perubahan ambulasi yang
sering.
c.
Tingkatkan masukan cairan yang
adekuat.
d.
Pantau dan batasi pengunjung.
e.
Pantau tanda-tanda vital.
f.
Kolaborasi dalam pemberian antiseptik
dan antipiretik.
6.
Dx. 6. Kurang pengetahuan tentang
prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi
dan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
a.
Menyatakan pemahaman proses
penyakit, prosedur diagnostika rencana pengobatan.
b.
Mengidentifikasi faktor penyebab.
c.
Melakukan tindakan yang perlu/
perubahan pola hidup.
Intervensi :
a.
Berikan informasi tentang thalasemia
secara spesifik.
b.
Diskusikan kenyataan bahwa terapi
tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
c.
Rujuk ke sumber komunitas, untuk
mendapat dukungan secara psikologis.
d.
Konseling keluarga tentang pembatasan
punya anak/ deteksi dini keadaan janin melalui air ketuban dan konseling perinahan:
mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama penderita thalasemia, baik mayor maupun
minor.
3.1.4
Evaluasi
Evaluasi hasil yang diharapkan :
1.
Mampu bertoleransi dengan aktivitas
normal
a.
Mengikuti rencana progresif
istirahat, aktivitas, dan latihan
b.
Mengatur irama aktivitas sesuai
tingkat energy
2.
Mencapai / mempertahanakan nutrisi
yang adekuat
a.
Makan makanan tinggi protein,
kalori dan vitamin
b.
Menghindari makanan yang menyebabkan
iritasi lambung
c.
Mengembangkan rencana makan
yang memperbaiki nutrisi optimal
3.
Tidak mengalami komplikasi
a.
Menghindari aktivitas yang menyebabkan
takikardi, palpitasi, pusing, dan dispnu
b.
Mempergunakan upaya istirahat
dan kenyamanan untuk mengurangi dispnu
c.
Mempunyai tanda vital normal
d.
Tidak mengalami tanda retensi
cairan (mis. Edema perifer, curah urin berkurang, distensi vena leher)
e.
Berorientasi terhadap nama,
waktu, tempat, dan situasi
f.
Terapi bebas dari cidera.
3.2
Konsep Asuhan Keperawatan Anemia Pada Anak
3.2.1
Pengkajian
1.
Riwayat Kesehatan
a.
Gambaran yang jelas tentang gejala-gejala antara awitan, durasi, lokasi,
dan factor pencetus. Tanda dan gejala utama mencakup:
Ø Keletihan,
sakit kepala, vertigo, iritabilitas, dan depresi.
Ø Anorexia
dan penurunan BB.
Ø Kecenderungan
perdarahan dan memar, antara menstruasi berat dan epistaksis.
Ø Infeksi
yang sering
Ø Nyeri
tulang dan sendi
b.
Kaji riwayat prenatal, individu, dan keluarga terhadap factor-faktor
resiko gangguan hematologic.
Ø Faktor
risiko riwayat prenatal: Rh bayi-ibu atau inkompatibilitas ABO.
Ø
Factor risiko riwayat individu antara lain
prematuritas, BBLR, diet kurang besi atau diet berat dengan susu sapi (selama masa bayi), perdarahan
(mis., menstruasi berat), kebiasaan diet, atau pajanan terhadap inveksi virus.
Factor resiko riwayat keluarga antara lain riwayat anemia sel sabit, atau
gangguan perdarahan.
2.
Manifestasi Umum
a.
Kelamahan otot
b.
Mudah lelah : sering istirahat, napas pendek, proses menghisap yang
buruk (bayi)
c.
Kulit pucat : pucat lilin terlihat pada anemia berat
d.
Pica
3.
Pemeriksaan Fisik
a.
Tanda-tanda vital
Perubahan tanda vital yang
nyata bukan merupakan factor pada sebagian besar gangguan hematologic. Namun
takikardi dan takipnea mungkin harus diperlukan.
b.
Inspeksi
Ø
Kulit. Pucat, kemerahan, ikterus, purpura, petekie, ekimosis,
tanda-tanda pruritus (tanda garukan), sianosis, atau warna kecklatan yang
mungkin terlihat.
Ø
Mata. Sclera ikterik, konjungtiva pucat, perdarahan retina, atau
pandangan kabur mungkin terlihat.
Ø
Mulut. Mukosa dan gusi yang pucat mungkin terlihat.
Ø
Neurologic. Kerusakan proses berpikir atau letargi mungkin terlihat.
Ø
Musculoskeletal. Pembengkakan sendi mungkin terlihat.
Ø
Genitourinaria. Darah dalam urine dan perdarahan menstruasi yang
berlebihan atau abnormal mungkin terlihat.
c.
Palpasi
Ø
Kulit. Kemungkinan terdapat pemanjangan waktu pengisian kapiler.
Ø
Nodus limfe. Limfadenopati atau nyeri tekan mungkin dapat dipalpasi.
Ø Gastrointestinal. Nyeri tekan
abdomen, hepatomegali, atau splenomegali mungkin dapat dipalpasi.
d. Auskultasi
Ø
Jantung. Murmur dapat diauskultasi.
Ø Pulmonal. Suara napas tambahan (bila terjadi
gagal jantung kongestif pada dapat diauskultasi.
4. Temuan pemeriksaan labolatorium dan uji
diagnostik
a. Hitung
darah lengkap (HDL) memberikan gambaran lengkap yang jelas tentang
elemen-elemen pembentuk darah.
Ø Hitung
SDM menentukan jumlah SDM total setiap sentimeter kubik darah.
Ø Hitung
SDP merupakan pengukuran jumlah total leukosit yang bersirkulasi.
Ø Hitung
SDP diferensial (granulosit dan agrabulosit) membedakan SDP berdasarkan lima
tipe sel – neutrófil, eosinófilo, basófilo (granulosit), limfosit, dan monosit
(agranulosit).
Ø Hemoglobin
(Hb) dikaji untuk menentukan anemia, tingkat keparahan, dan respons terhadap pengobatan.
Ø Hematokrit
(Ht) menentukan massa SDP dengan pengukuran ruang dalam kantung SDM.
Ø Hemoglobin
korpuskular rata-rata (MCH, mean
corpuscular volume) adalah untuk mengetahui ukuran SDM individu.
Ø Hemoglobin
korpuskular
rata-rata (MCH, mean corpuscular hemoglobin) mengukur
barat rata-rata hemoglobin dalam SDM.
Ø Konsentrasi
hemoglobin
korpuskular rata-rata (MCHC, mean corpuscular hemoglobin concentration)
mengukur konsentrasi rata-rata hemoglobin dalam SDM.
Ø Hitung trombosit mengukur jumlah total
trombosit yang bersirkulasi untuk mengevaluasi gangguan perdarahan.
b. Hitung
retikulosit membantu membedakan berbagai tipe anemia.
c. Pemeriksaan
hemostasis dan koagulasi sebagai alat diagnosis banding gangguan
perdarahan.
d. Kapasitas
pengikatan besi total (TIBC, total
iron-binding capacity), feritin dan zat besi, dan transferin digunakan
dalam mengevaluasi anemia.
e. Temuan
aspirasi sumsum tulang sebagai alat bantu dalam mendiagnosis anemia aplastik
dan gangguan lain.
Ø Persiapan
untuk uji ini biasanya memerlukan beberapa bentuk sedasi.
Ø Pada area luka aspirasi, harus dipantau
dengan cermat adanya perdarahan dan pembentukan hematoma setelah prosedur
selesai dilakukan.
3.2.2
Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas
2. Intoleransi
aktivitas
3. Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
3.2.3
Intervensi dan Evaluasi
1. Ansietas
berhubungan dengan prosedur diagnostik/transfusi.
Tujuan:
Ø Pasien
dan keluarga mendapatkan pengetahuan tentang gangguan, tes diagnostik, dan
pengobatan.
Intervensi (rasional):
1. Siapkan
anak untuk tes (untuk menghilangkan
ansietas/rasa takut).
2. Tetap
bersama anak selama tes dan memulai transfusi (untuk memberikan dukungan dan observasi pada kemungkinan komplikasi).
3. Jelaskan
tujuan pemberin komponen darah (untuk
meningkatkan pemahaman terhadap gangguan, tes diagnostik, dan pengobatan).
Evaluasi:
Ø Anak
dan keluarga menunjukkan ansietas yang minimal.
Ø Anak
dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang gangguan, tes diagnostik, dan
pengobatan.
2. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan pengiriman oksigen ke
jaringan.
Tujuan:
Ø Pasien
mendapatkan istirahat yang adekuat.
Ø Pasien
menunjukkan pernapasan normal.
Ø Pasien
mengalami stres emosional.
Ø Pasien
menerima elemen darah yang tepat.
Intervensi (rasional):
1. Observasi
adanya tanda kerja fisik (takikardia, palpitasi, takipnea, napas pendek,
hiperpnea, sesak napas, pusing, kunang-kunang, berkeringat, dan perubahan warna
kulit) dan keletihan (lemas, postur loyo, gerakan lambat dan tegang, tidak
dapat mentoleransi aktivitas tambahan) (untuk
merencanakan istirahat yang tepat).
2. Antisipasi
dan bantu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang mungkin di luar batas
toleransi anak (untuk mencegah kelelahan).
3. Beri
aktivitas bermain pengalihan (yang
meningkatkan istirahat dan tenang tetapi mencegah kebosanan dan menarik diri).
4. Pilih
teman sekamar yang sesuai dengan usia dan minat yang sama yang memerlukan
aktivitas terbatas (untuk mendorong
kepatuhan pada kebutuhan istirahat).
5. Rencanakan
aktivitas keperawatan (untuk memberikan
istirahat yang cukup).
6. Bantu
pada aktivitas yang memerlukan kerja fisik (mengurangi
akan kebutuhan oksigen).
7. Pertahankan
posisi semifowler – tinggi (untuk
pertukaran udara yang optimal).
8. Beri
oksigen suplemen (untuk meningkatkan
oksigen ke jaringan).
9. Ukur
tanda vital selama periode istirahat (untuk
menentukan nilai dasar perbandingan selama periode aktivitas).
10. Antisipasi
peka ransangan anak, rentang perhatian yang sempit, dan kerewelan dengan
membantu anak dalam aktivitas bukan menunggu dimintai bantuan.
11. Dorong
orang tua untuk tetap bersama anak (untuk
meminimalkan stres karena perpisahan).
12. Berikan
tindakan kenyamanan (mis., dot, menimang, musik) (untuk meminimalkan stres).
13. Dorong
anak untuk mengekspresikan perasaan (untuk
meminimalkan ansietas).
14. Berikan
darah, sel darah, trombosit sesuai ketentuan.
15. Berikan
faktor pertumbuhan hematopoietik, sesua ketentuan (untuk merangsang pembentukan sel darah).
Evaluasi:
Ø Anak
bermain dan istirahat dengan tenang dan melakukan aktivitas yang sesuai dengan
kemampuan.
Ø Anak tidak
menunjukkan tanda-tanda aktivitas fisik atau keletihan.
Ø Pasien
bernapas dengan mudah; frekuensi dan kedalaman pernapasan
normal.
Ø Anak tetap
tenang.
Ø Anak
menerima elemen darah yang tepat tanpa masalah.
3. Perubahan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan
masukan besi yang dilaporkan; kurang pengetahuan mengenai makanan yang
diperkeya dengan besi.
Tujuan:
Ø Pasien
mendapat suplai besi adekuat.
Ø Pasien
mengkonsumsi suplemen besi.
Intervensi (rasional):
1. Berikan
konseling diet pada pemberian perawatan, khususnya mengenai hal-hal berikut:
-
Sumber besi dari makanan (mis., daging, legum,
kacang, gandum, sereal bayi yang diperkaya dengan besi dan sereal kering) (untuk memastikan bahwa anak mendapat suplai
besi yang adekuat).
-
Beri susu pada bayi sebagai makanan suplemen
setelah makanan padat diberikan (karena
terlalu banyak minum susu akan menurunkan masukan makanan padat yang mengandung
besi).
-
Ajari anak yang lebih besar tentang pentingnya besi
adekuat dalam diet (untuk mendorong
kepatuhan).
2. Berikan
preparat besi sesuai ketentuan.
3. Instruksikan
keluarga mengenai pemberian preparat besi oral yang tepat:
-
Berikan dalam dosis terbagi (untuk absorpsi maksimum).
-
Berikan di antara waktu makan (untuk meningkatkan absorpsi pada traktus gastrointestinalis bagian atas).
-
Berikan dengan jus buah atau preparat multivitamin
(karena vitamin C memudahkan absorpsi
besi).
-
Jangan memberikan bersama susu atau antasida (karena bahan ini akan menurunkan absorpsi
besi).
4. Berikan
preparat cair dengan pipet, spuit, atau
sedotan (untuk menghindari kontak dengan
gigi dan kemungkinan pewarnaan).
5. Kaji
karakteristik feses (karena dosisi
adekuat besi oral akan mengubah feses manjadi berwarna hijau gelap).
Evaluasi:
Ø Anak
sedikitnya mendapatkan kebutuhan besi minimum harian.
Ø Keluarga
menghubungkan riwayat diat yang memperjelas kepatuhan anak terhadap anjuran
ini.
Ø Anak
diberikan suplemen besi yang dibuktikan dengan feses yang berwarna hijau,
seperti ter.
Ø Anak
meminum obat dengan tepat.
3.3
Konsep Asuhan Keperawatan ITP Pada Anak
3.3.1
Pengkajian
1.
Keluhan utama :
Memar, bintik-bintik pada kulit, keluarnya darah pada
hidung dan perdarahan pada gusi gigi.
2.
Riwayat penyakit sekarangang ditandai dengan
Klien mengalami ITP yg ditandai dengan Memar,
bintik-bintik pada kulit, keluarnya darah pada hidung dan perdarahan pada gusi
gigi.
3.
Riwayat penyakit dahulu
HIV AIDS yang mungkin diturunkan dari orang tua klien.
4.
Riwayat penyakit keluarga
Pihak keluarga mengalami HIV AIDS, kelainan
hematologi.
5.
Riwayat lingkungan
Kondisi lingkungan kurang baik atau kumuh karena
penyakit ini bias disebabkan oleh virus atau bakteri seperti rubella, rubiola
dan paksinasi dengan virus aktif.
a. Asimtomatik
sampai jumlah trombosit menurun di bawah 20.000.
b. Tanda-tanda
perdarahan.
1) Petekie
terjadi spontan.
2) Ekimosis
terjadi pada daerah trauma minor.
3) Perdarahan
dari mukosa gusi, hidung, saluran pernafasan.
4) Menoragie, Hematuria
5) Perdarahan
gastrointestinal.
c.
Perdarahan berlebih setelah prosedur bedah.
d.
Aktivitas / istirahat.
e.
Sirkulasi.
f.
Eliminasi.
g.
Makanan / cairan.
h. Nyeri /
kenyamanan.
1) Gejala :
Nyeri abdomen, sakit kepala.
2) Tanda :
Takipnea, dispnea.
i.
Pernafasan.
1) Gejala :
Nafas pendek pada istirahat dan aktivitas.
2) Tanda :
Takipnea, dispnea.
j.
Keamanan
1) Gejala :
Penyembuhan luka buruk sering infeksi, transfuse darah sebelumnya.
2) Tanda :
Petekie, ekimosis
3.3.2
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan
pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia yang ditandai dengan kelemahan, berat badan menurun, intake makanan
kurang, kongjungtiva.
2. Nyeri
akut berhubungan dengan cedera agen (biologis, psikologi, kimia, fisik)
ditandai dengan gangguan pola tidur, klien meringis kesakitan di daerah nyeri,
skala nyeri (data subyektif).
3. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan imobilisasi
4. Kurang
pengetahuan pada keluarga tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan salah interpretasi informasi ditandai dengan keterbatasan belajar, tidak
familiar dengan sumber informasi.
5. Resiko
tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan factor imunologis ditandai
dengan immobilisasi, kelemahan, hipertermi, perubahan turgor kulit.
6. Perubahan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel ditandai dengan sianosis, oedema,
pucat.
7. Gangguan
pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan penurunan kapasitas pembawa
oksigen darah ditandai dengan hypoxia, takikardi.
3.3.3
Intervensi Keperawatan
1. Gangguan
pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
Tujuan
Pemenuhan nutrisi klien terpenuhi dengan
Intervensi
1)
Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
2)
Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan
setiap hari.
3)
Lakukan konsultasi dengan ahli diet.
4) Libatkan
keluarga pasien dalam perencanaan makan sesuai dengan indikasi.
2.
Nyeri akut berhubungan dengan cedera agen (biologis,
psikologi, kimia, fisik).
Tujuan
Nyeri yang dirasakan klien berkurang
Intervensi
1) Tentukan
riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas
2) Evaluasi
therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan
keluarga tentang cara menghadapinya.
3) Berikan
pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan
musik atau nonton TV
4) Menganjurkan
tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira,
dan berikan sentuhan therapeutik.
5) Evaluasi
nyeri, berikan pengobatan bila perlu.
6) Diskusikan penanganan nyeri dengan dokter dan juga
dengan klien
7) Berikan
analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narkotik dll
3.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan
Klien dapat melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan
dari orang lain
Intervensi
1)
Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
normal, catat laporan kelemahan, keletihan.
2)
Awasi TD, nadi, pernafasan.
3)
Berikan lingkungan tenang.
4) Ubah
posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
4.
Kurang pengetahuan pada keluarga tentang kondisi dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
Tujuan
Keluarga mengerti akan penyakit klien
Intervensi
1) Berikan
informasi tntang ITP. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe
dan beratnya ITP.
2) Tinjau
tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic.
3) Jelaskan
bahwa darah yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperburuk
ITP.
5.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan factor imunologis
Tujuan
Kerusakan bisa berkurang
Intervensi
1) Kaji
integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati
penyembuhan luka.
2) Anjurkan
klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.
3) Ubah
posisi klien secara teratur.
4) Berikan
advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa
rekomendasi dokter.
6.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrisi
ke sel.
Tujuan
Perfusi jaringan kembali kebentuk normal
Intervensi
1)
Awasi TTV, kaji pengisian kapiler.
2)
Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
3)
Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangasang.
4) Awasi upaya
parnafasan, auskultasi bunyi nafas.
7.
Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan
dengan penurunan kapasitas pembawa oksigen darah.
Tujuan
Pola pernafasan normal / efektif
Intervensi
1)
Kaji / awasi frekuensi pernafasan, kedalaman dan
irama.
2)
Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman.
3)
Beri posisi dan Bantu ubah posisi secara periodic.
4)
Bantu dengan teknik nafas dalam.
3.3.4
Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan sesuai dengan ITP
dengan intervensi yang sudah ditetapkan (sesuai dengan literature).
3.3.5
Evaluasi
Hal hal
yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan berfokus pada criteria
hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan pedoman pembuatan SOAP, atau
SOAPIE pada masalah yang tidak terselesaikan atau teratasi sebagian.
3.4
Konsep Asuhan Keperawatan Leukomia Pada
Anak
3.4.1
Pengkajian
1.
Riwayat penyakit
2.
Kaji adanya tanda-tanda anemia :
Ø
Pucat
Ø
Kelemahan
Ø
Sesak
Ø
Nafas cepat
3.
Kaji adanya tanda-tanda leukopenia
Ø
Demam
Ø
Infeksi
4.
Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
Ø
Ptechiae
Ø
Purpura
Ø
Perdarahan membran mukosa
5.
Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
Ø
Limfadenopati
Ø
Hepatomegali
Ø
Splenomegali
6.
Kaji adanya pembesaran testis
7.
Kaji adanya :
Ø
Hematuria
Ø
Hipertensi
Ø
Gagal ginjal
Ø
Inflamasi disekitar rectal
Ø
Nyeri
8.
Patofisiologi dan Penyimpangan KDM
Leukemia akut dan kronis
merupakan suatu bentuk keganasan atau maligna
yang muncul dari perbanyakan koloni sel-sel pembentuk sel darah yang tidak
terkontrol. Mekanisme kontrol seluler normal mungkin tidak bekerja dengan baik akibat
adanya perubahan pada kode genetik yang seharusnya bertanggungjawab atas
pengaturan pertubuhan sel dan diferensiasi. Sel-sel leukemia
menjalani waktu daur ulang yang lebih lamba tdibandingkan
sel normal. Proses pematangan atau maturasi berjalan tidak lengkap dan lambat
serta dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel sejenis yang normal.
3.4.2
Diagnosa Keperawatan
1.
Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya
sistem pertahanan tubuh
2.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan akibat anemia
3.
Resiko terhadap cedera : perdarahan yang
berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
4.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan
berhubungan dengan mual dan muntah
3.4.3
Rencana Keperawatan
1.
Resiko infeksi berhubungan
dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan :
Anak
tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi
:
1)
Pantau suhu dengan teliti
Rasional
: untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
2)
Tempatkan anak dalam ruangan
khusus
Rasional
: untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
3)
Anjurkan semua pengunjung dan
staff rumah sakit untuk menggunakan teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional
: untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
4)
Evaluasi keadaan anak terhadap
tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat penusukan jarum, ulserasi
mukosa, dan masalah gigi
Rasional
: untuk intervensi dini penanganan infeksi
5)
Inspeksi membran mukosa mulut.
Bersihkan mulut dengan baik
Rasional
: rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
6)
Berikan periode istirahat tanpa
gangguan
Rasional
: menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
7)
Berikan diet lengkap nutrisi
sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
8)
Berikan antibiotik sesuai
ketentuan
Rasional
: diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus
2.
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan akibat anemia
Tujuan
:
Terjadi
peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi
:
1)
Evaluasi laporan kelemahan,
perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala aktifitas sehari-hari
Rasional
: menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
2)
Berikan lingkungan tenang dan
perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional
: menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan
jaringan
3)
Kaji kemampuan untuk
berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan
Rasional
: mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervensi
4)
Berikan bantuan dalam aktifitas
sehari-hari dan ambulasi
Rasional
: memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
3.
Resiko terhadap cedera/perdarahan
yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
Tujuan :
Klien
tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan
Intervensi :
1)
Gunakan semua tindakan untuk
mencegah perdarahan khususnya pada daerah ekimosis
Rasional
: karena perdarahan memperberat kondisi anak dengan adanya anemia
2)
Cegah ulserasi oral dan rectal
Rasional
: karena kulit yang luka cenderung untuk berdarah
3)
Gunakan jarum yang kecil pada
saat melakukan injeksi
Rasional
: untuk mencegah perdarahan
4)
Menggunakan sikat gigi yang
lunak dan lembut
Rasional
: untuk mencegah perdarahan
5)
Laporkan setiap tanda-tanda
perdarahan (tekanan darah menurun, denyut nadi cepat, dan pucat)
Rasional
: untuk memberikan intervensi dini dalam mengatasi perdarahan
6)
Hindari obat-obat yang
mengandung aspirin
Rasional
: karena aspirin mempengaruhi fungsi trombosit
7)
Ajarkan orang tua dan anak yang
lebih besar ntuk mengontrol perdarahan hidung
Rasional
: untuk mencegah perdarahan
4.
Resiko tinggi kekurangan volume
cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan :
-
Tidak terjadi kekurangan volume
cairan
-
Pasien tidak mengalami mual dan
muntah
Intervensi :
1)
Berikan antiemetik awal sebelum
dimulainya kemoterapi
Rasional:
untuk mencegah mual dan muntah
2)
Berikan antiemetik secara
teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional:
untuk mencegah episode berulang
3)
Kaji respon anak terhadap anti
emetic
Rasional:
karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
4)
Hindari memberikan makanan yang
beraroma menyengat
Rasional
: bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
5)
Anjurkan makan dalam porsi
kecil tapi sering
Rasional
: karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
6)
Berikan cairan intravena sesuai
ketentuan
7)
Rasional : untuk mempertahankan
hidrasi
3.4.4
Implementasi
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari perencanaan
keperawatan yang telah dibuat untuk mencapai hasil yang efektif. Dalam
pelaksanaan implementasi keperawatan, penguasaan keterampilan dan pengetahuan
harus dimiliki oleh setiap perawat sehingga pelayanan yang diberikan baik
mutunya. Dengan demikian tujuan dari rencana yang telah ditentukan dapat
tercapai (Wong. D.L.2004:hal.331).
3.4.5
Evaluasi
1.
Anak tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
2.
Berpartisipasi dalam aktifitas sehari-sehari
sesuai tingkat kemampuan, adanya laporan peningkatan toleransi aktifitas.
3.
Anak tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan.
4.
Anak menyerap makanan dan cairan, anak tidak
mengalami mual dan muntah
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Thalasemia merupakan sindrom
kelainan yang diwariskan (inherted) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati,
yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi didalam
atau dekat gen globin. Klasifikasi thalasemia seperti Thalasemia-α, Thalasemia-β
(Thalasemia mayor Thalasemia minor, Thalasemia-δβ, Thalasemia intermedia). Manifestasi
dari thalasemia misalnya anemia berat yang bergantung pada transfuse darah, gagal
berkembang, infeksi interkuren, pucat, ikterus ringan, pembesaran hati dan limpa,
ekspansi tulang, defek pertumbuhan/endokrin, anemia hemolitik mikrositik hipokrom.
Anemia adalah berkurangnya jumlah
eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume
sel yang dipadatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah.
ITP adalah singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura. Idiopathic berarti tidak
diketahui penyebabnya. Thrombocytopenic berarti darah yang tidak cukup memiliki
keping darah (trombosit). Purpura berarti memiliki luka memar yang banyak
(berlebihan).
Leukimia adalah suatu
keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum
tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh
yang lain.
4.2 Saran
Kami menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mohon kritik dan
saran dari para pembaca demi terciptanya makalah lain yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Sudayo, Aru. W. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Ed.5, Jilid II). Jakarta : Interna Publishing.
Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta
Hematologi (Ed.4). Jakarta : EGC.
Mehta, Atul. B. 2006. At
a Glance Hematologi. Jakarta : Erlangga.
Long, Barbara. C. Perawatan
Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan). Bandung : YIAPKP.
Smeltzer, Suzanne.C. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Bruner & Suddarth. Jakarta : EGC.
Comments
Post a Comment