
MAKALAH FARMAKOLOGI
EFEK SAMPING OBAT DAN CARA PENGATASANNYA
Setiap
obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti
halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik
tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan
menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Efek Samping Obat................................................................... 3
B. Masalah dan Kejadian Efek Samping Obat................................................. 3
C. Pembagian Efek Samping Obat................................................................... 5
D. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat.......................... 10
E. Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek Samping.................................... 13
F. Tindak Lanjut Sesudah Menghadapi Kasus Efek Samping Obat................ 15
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengertian Efek Samping Obat................................................................... 16
B. Masalah Efek Samping Obat....................................................................... 16
C. Pembagian Efek Samping............................................................................ 17
D. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat.......................... 26
E. Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek Samping Obat........................... 26
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 30
B. Saran............................................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 32
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Farmakoterapi merupakan intervensi
terapi yang akan paling banyak dilakukan dalam praktek klinik, sehingga
kemungkinan untuk menghadapi kasus efek samping obat bagi seorang praktisi
medik mungkin tidak dapat dihindari sepenuhnya. Seringkali, kejadian efek
samping obat ini pada seorang pasien tidak dengan mudah dikenali, kecuali kalau
efek samping yang terjadi adalah bentuk yang berat dan menyolok. Mahasiswa
perlu mengenali bentuk-bentuk efek samping obat, faktor-faktor penyebab atau
yang mendorong terjadinya, upaya pencegahan dan penanganannya.
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk
menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek
samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat
dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek
farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk
terhadap sistem biologik tubuh.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud
efek samping obat?
2.
Apa saja bentuk efek samping obat yang
sering terjadi?
3.
Apa saja faktor yang mendukung
terjadinya efek samping obat?
4.
Apa saja upaya pencegahan dan penanganan
efek samping obat dan efek toksik obat?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmakologi
tentang Efek Samping Obat dan cara pengatasannya
2.
Tujuan Khusus
Agar dapat mengetahui dan memahami tentang:
a. Memahami pengertian efek samping obat
b. Memahami
bentuk-bentuk efek samping obat yang sering terjadi.
c. Memahami
faktor-faktor yang mendukung terjadinya efek samping obat
d. Memahami
upaya pencegahan dan penanganan efek samping obat dan efek toksik obat.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Pengertian
Efek Samping Obat
Menurut definisi Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization/WHO 1970) efek samping suatu obat adalah
segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang
dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.
Pengertian efek samping adalah setiap
efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse
reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin
dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah
diketahui. (Anief, 2007)
B.
Masalah
dan Kejadian Efek Samping Obat
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk
menyebabkan efek samping. Oleh karena itu, efek samping obat juga merupakan
hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik
dalam sistem biologik tubuh. Jika suatu efek farmakologik terjadi secara
ekstrim, ini juga akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik
tubuh.
Anief (2007) mengatakan bahwa efek
samping adalah sautu obat yang tidak termasuk kegunaan terapi. Misalnya C.T.M
efek samping yang ada ialah menidurkan. Pengertian efek samping dalam
pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau
membahayakan pasien dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari
atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah
diketahui. Beberapa contoh efek samping misalnya:
a.
Reaksi alergi akut karena penisilin
(reaksi imunologik)
b.
Hipoglikemia berat karena pemberian
insulin (efek farmakologik yang berlebihan)
c.
Osteoporosis karena pengobatan
kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama)
d.
Hipertensi karena penghentian pemberian
klonidin (gejala penghentian obat)
e.
Fokomelia pada anak karena ibunya
menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik)
Masalah efek samping obat dalam klinik
tidak dapat dihindari begitu saja. Oleh karena itu, kemungkinan dampak negatif
yang terjadi, misalnya:
a)
Kegagalan pengobatan
b)
Timbulnya keluhan penderitaan atau
penyakit baru karena obat yang semula tidak diderita oleh pasien
c)
Pembiayaan yang harus ditanggung
sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya
penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik)
d)
Efek psikologik terhadap penderita yang
akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya
kepatuhan berobat.
Tidak semua efek samping dapat dideteksi
secara mudah dalam tahap awal, kecuali jika yang terjadi adalah bentuk-bentuk
yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.
Angka kejadian yang dilaporkan cukup
beragam. Dari negara-negara Barat, ternyata angka-angka yang didapatkan cukup
mengejutkan, yaitu:
a)
Dari pasien rawat inap yang rata-rata
menerima 5 sampai dengan 10 jenis obat selama 10 hari perawatan di rumah sakit,
25 persennya akan menderita 1 macam atau lebih efek samping obat dari berbagai
derajat dan 1 persen menderita efek samping yang membahayakan kehidupan. Pada
pasien rawat inap ini, efek samping yang berat paling banyak terjadi pada
pengobatan kemoterapi kanker.
b)
Di praktek swasta, kemungkinan
terjadinya efek samping jauh lebih besar. Terbukti dari pasien akut yang masuk
rumah sakit (hospital admission), 25 persennya ternyata disebabkan karena efek
samping obat.
c)
Dari kematian di rumah sakit, 0,24
sampai dengan 2,9 persen adalah karena efek samping obat.
Golongan umur yang terbanyak mengalami
efek samping adalah orang tua. Kelompok ini umumnya menerima jenis obat cukup
banyak, sedangkan respons farmakokinetik dan farmakodinamik tidak sama. Data di
Indonesia belum banyak terungkap, namun paling tidak angka-angka ini dapat
memberikan gambaran kejadian dan masalahnya.
C.
Pembagian
Efek Samping Obat
Efek samping obat dapat dikelompokkan
dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada atau tidaknya hubungan dengan
dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi dan
sebagainya. Namun, pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam
melakukan pengobatan adalah sebagai berikut:
1.
Efek samping yang dapat diperkirakan:
a.
Aksi farmakologik
yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang
berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif
terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena
dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik
atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan
gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia,
genetik dan sebagainya, sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim
menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien. Selain itu efek ini juga bisa
terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang
diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek samping jenis
ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat,
obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika atau antidiabetika.
Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
1)
Depresi respirasi pada pasien-pasien
bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
2)
Hipotensi yang terjadi pada stroke atau
kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis
terlalu tinggi.
3)
Bradikardia pada pasien-pasien yang
menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
4)
Palpitasi pada pasien asma karena dosis
teofilin yang terlalu tinggi.
5)
Hipoglikemia karena dosis antidiabetika
terlalu tinggi.
6)
Perdarahan yang terjadi pada pasien yang
sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum
aspirin.
Semua pasien mempunyai risiko untuk
mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini dan upaya
pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap
kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tersebut. Selain itu riwayat
pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu
diperhatikan.
b.
Gejala putus obat
karena narkotika
Gejala penghentian obat adalah munculnya
kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek
farmakologik obat, karena penghentian pengobatan.
Reaksi putus obat ini terjadi, karena
selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi
ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya
pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh
berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin,
sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus
obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap
misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan
menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang
poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan.
c.
Efek samping yang
tidak berupa efek farmakologik utama
Efek-efek samping yang berbeda dari efek
farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat
diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara
sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya
dalam derajat ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek
samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat
dipakai dalam populasi yang lebih luas. Data efek samping berbagai obat dapat
ditemukan dalam buku-buku standar, umumnya lengkap dengan perkiraan angka
kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
1)
Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan
pedih, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika,
teofilin, eritromisin, rifampisin dan lain-lain.
2)
Rasa ngantuk (drowsiness) setelah
pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan
3)
Kenaikan enzim-enzim transferase hepar
karena pemberian rifampisin.
4)
Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga
obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil
5)
Penghambatan agregasi trombosit oleh
aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
6)
Ototoksisitas karena kinin atau kinidin
2.
Efek samping yang tidak dapat
diperkirakan
1.
Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi
hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi dan terjadi akibat
reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali
sama sekali tidak tergantung dosis dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari
populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk
yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok
anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan
sifat-sifat khasnya, yaitu:
1)
gejalanya sama sekali tidak sama dengan
efek farmakologiknya
2)
seringkali terdapat tenggang waktu
antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek
3)
reaksi dapat terjadi pada kontak
ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat
4)
reaksi hilang bila obat dihentikan
5)
keluhan atau gejala yang terjadi dapat
ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya ruam di kulit serum sickness,
anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema dan lain-lain.
Dalam praktek klinik manifestasi efek
samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi:
1)
Demam.
Umumnya demam dalam derajat yang tidak terlalu berat dan
akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
2)
Ruam kulit (skin rashes).
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus,
purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi dan
lain-lain.
3)
Penyakit jaringan ikat.
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik,
kadang-kadang melibatkan sendi yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin,
prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat
4)
Gangguan sistem darah.
Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis),
anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan
dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
5)
Gangguan pernafasan:
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai,
terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar
juga akan sensitif
terhadap analgetika atau antiinflamasi
lain.
2.
Reaksi karena faktor genetik
Pada orang-orang tertentu dengan variasi
atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik
yang berlebihan.
3.
Efek yang mungkin timbul pada
perpanjangan obat
a)
Adisi, terjadi bila campuran obat atau
beberapa obat yang diberikan bersama-sama menimbulkan efek yang merupakan
jumlah dari efek masing-masing obat secara terpisah pada pasien.
b)
Sinergis, terjasi bila campuran obat
atau beberapa obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi proksimat yang sama
menimbulkan efek yang lebih besar dari jumlah efek masing-masing obat secara
terpisah pada pasien.
c)
Potensiasi, terjadi bila campuran obat
atau beberapa obat yang diberikan pada pasien, menimbulkan efek lebih besar
daripada jumlah efek masing-masing secara terpisah pada pasien.
d) Antagonis,
terjadi bila campuran obat atau beberapa obat yang diberikan bersama-sama pada
pasien menimbulkan efek yang berlawanan.
D.
Faktor-faktor
Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat
Faktor-faktor yang dapat mendorong
terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi:
1.
Faktor bukan obat
Faktor-faktor
pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
a)
Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis
kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan
hidup.
b)
Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter
(pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2.
Faktor obat
a)
Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan
potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b)
Pemilihan obat.
c)
Cara penggunaan obat.
d) Interaksi
antar obat.
Dalam pengembangan suatu obat, calon
obat mengalami serangkaian uji atau penelitian yang sistematis dan mendalam,
untuk mendukung keamanan dan kemungkinan kemanfaatan kliniknya sebelum
digunakan pada manusia. Dalam tahap praklinik ini, penelitian-penelitian
toksikologik, farmakokinetik dan farmakodinamikharus dilakukan secara mendalam,
untuk menangkap setiap kemungkinan efek samping yang dapat terjadi. Bila efek
samping terlalu berat relatif terhadap manfaat yang diharapkan, maka calon obat
ini dibatalkan. Efek samping yang terdeteksi pada uji praklinik dan dalam batas
yang masih bisa ditolerir, merupakan pegangan pada waktu melakukan uji klinik.
Namun pada waktu melakukan uji klinik, masih ada kemungkinan untuk menemukan
efek samping lain, yang tidak dapat terdeteksi pada uji sebelumnya, misalnya
keluhan mual, gangguan konsentrasi dan lainnya mungkin tidak akan bisa
terdeteksi dari hewan percobaan. Dari penelitian-penelitian praklinik dan
penelitian klinik tahap awal, umumnya akan terdeteksi jenis-jenis efek samping
yang angka kejadiannya cukup tinggi. Identifikasi efek samping dari suatu obat
tidak akan pernah berhenti, walaupun obat telah diijinkan dipakai pada pasien.
Pemakaian dalam pengobatan harus selalu diikuti dengan studi-studi maupun
cara-cara tertentu untuk menjaring setiap kemungkinan kejadian efek samping.
Cara-cara ini terutama digunakan untuk mencari efek samping yang jarang namun
bisa fatal, yang hanya dapat dideteksi dari populasi pemakai obat yang lebih
besar. Berbagai cara tersebut antara
lain adalah:
1)
Penelitian kohort:
Pengamatan dilakukan secara terus menerus terhadap
sekelompok pasien yang sedang menjalani pengobatan, untuk mengevaluasi efek
samping yang mungkin terjadi setelah pemaparan terhadap obat.
2)
Laporan spontan terhadap kecurigaan
terjadinya efek samping:
Laporan ini dibuat oleh dokter, apabila mereka menjumpai
efek samping atau kemungkinan efek samping.
Laporan dikirim ke Tim khusus yang menangani masalah efek samping (di Indonesia
kepada Tim Monitoring Efek Samping Obat - Departemen Kesehatan RI) yang akan
mengumpulkan dan menganalisis laporan tersebut.
3)
Penelaahan terhadap statistik vital:
Penelaahan dilakukan oleh ahli epidemiologi, untuk
melihat apakah ada data yang ganjil pada pola epidemiologi penyakit.
4)
Penelitian 'case-control':
Merupakan penelitian retrospektif untuk mengetahui
besarnya faktor risiko paparan pemakaian obat dengan kejadian efek samping
obat. Dalam penelitian ini individu-individu dengan efek samping tertentu yang
diteliti, dan individu-individu dari kelompok kontrol, dibandingkan secara
retrospektif riwayat penggunaan obat yang dicurigai.
Masing-masing cara mempunyai keunggulan
dan kelemahan, namun hasil dari berbagai macam studi tersebut akan saling
melengkapi satu sama lain.
E.
Upaya
Pencegahan dan Penanganan Efek Samping
Saat ini sangat banyak pilihan obat yang
tersedia untuk efek farmakologik yang sama. Masing-masing obat mempunyai
keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun
kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan
terlalu terpaku pada obat baru yang efek sampingnya jarang namun fatal
kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti
evaluasi atau penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat dari berbagai pustaka
standar maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan terhadap
efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat
akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.
1.
Upaya
pencegahan
Agar kejadian efek samping dapat ditekan
serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal berikut:
a.
Selalu harus ditelusur riwayat rinci
mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik
obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri.
b.
Gunakan obat hanya bila ada indikasi
jelas dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi.
c.
Hindari pengobatan dengan berbagai jenis
obat dan kombinasi sekaligus.
d.
Berikan perhatian khusus terhadap dosis
dan respons pengobatan pada anak dan bayi, usia lanjut dan pasien-pasien yang
juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala
dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan
komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran.
e.
Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan
atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih
dahulu, bahwa perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi
pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat.
2.
Penanganan
efek samping
Tidak banyak buku-buku yang memuat
pedoman penanganan efek samping obat, namun dengan melihat jenis efek samping
yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat
direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:
a.
Segera hentikan semua obat bila
diketahui atau dicurigai terjadi efek samping.
Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek
samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi
yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih
pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil.
Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat
harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya
reaksi alergi atau idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak
berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis
obat dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi
secara satu-persatu.
b.
Upaya penanganan klinik tergantung
bentuk efek samping dan kondisi penderita.
Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan
penanganan dan pengobatan yang spesifik.
Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian
adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain
misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai,
pemberian antihistamin atau kortikosteroid dan lain-lain.
F.
Tindak
Lanjut Sesudah Menghadapi Kasus Efek Samping Obat
Jika anda menghadapi suatu kasus efek
samping obat dan sudah ditangani secara medis sebagaimana mestinya, masih
diperlukan langkah-langkah tindak lanjut.
1.
Dibuat laporan dokumentasi lengkap
mengenai kasus efek samping yang bersangkutan dan dilaporkan ke lembaga yang
berwenang, yaini ke Panitia MESO (Monitoring Efek Samping Obat) di Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, (Jalan Percetakan Negara 23, Jakarta).
2.
Jika bekerja di rumah sakit cobalah
bahas di Panitia Farmasi dan Terapi rumah sakit. Dengan mengacu ke
sumber-sumber referensi, dicari kemungkinan faktor risiko terhadap kasus efek
samping tersebut.
Langkah-langkah
koreksi dalam upaya pengelolaan risiko efek samping obat mencakup hal-hal
berikut,
a.
Membatasi indikasi pemakaian obat yang
bersangkutan. Beberapa obat sering dipakai tidak pada indikasi yang benar.
b.
Memperluas atau mempertegas kontra
indikasi.
c.
Mempertegas cara pemakaian obat
(pemberian, dosis, lama dan lain-lain).
d.
Mengeluarkan obat dari formularium rumah
sakit atau anda tidak memakai obat yang bersangkutan jika ada alternatif yang
lebih aman.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Efek Samping Obat
Menurut definisi Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization/WHO 1970) efek samping suatu obat adalah
segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang
dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.
Pengertian efek samping adalah setiap
efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse
reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin
dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah
diketahui.
Jadi, efek samping adalah efek
yang tidak diharapkan terjadi dalam suatu obat atau pengobatan.
B.
Masalah
Efek Samping Obat
Beberapa contoh efek samping misalnya:
1.
Reaksi alergi akut karena penisilin
(reaksi imunologik),
2.
Hipoglikemia berat karena pemberian
insulin (efek farmakologik yang berlebihan)
3.
Osteoporosis karena pengobatan
kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama)
4.
Hipertensi karena penghentian pemberian
klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal syndrome)
5.
Fokomelia pada anak karena ibunya
menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan
sebagainya.
Masalah efek samping obat dalam klinik
tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif
yang terjadi, misalnya:
1.
Kegagalan pengobatan
2.
Timbulnya keluhan penderitaan atau
penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang
semula tidak diderita oleh pasien
3.
Pembiayaan yang harus ditanggung
sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya
penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
4.
Efek psikologik terhadap penderita yang
akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya
kepatuhan berobat.
Efek samping adakalanya tidak dapat
dihindarkan, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, ergotamin, atau
estrogen dengan dosis yang melebihi dosis normal. Kadang efek samping merupakan
kelanjutan efek utama sampai tingkat yang tidak diinginkan, misalnya rasa
kantuk pada fenobarbital, bila digunakan sebagai obat epilepsi. Bila efek
samping terlalu hebat dapat dilawan dengan obat lain misalnya obat antimual
(meklizine, proklorperazin) atau obat anti mengantuk (kofein, amfetamin).
Tidak semua efek samping dapat dideteksi
secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk
yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.
C.
Pembagian
Efek Samping
Efek samping obat dapat
dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan
ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek
samping yang terjadi, dan sebagainya. Namun mungkin pembagian yang paling
praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah sebagai berikut:
Efek samping yang dapat diperkirakan, terbagi atas:
1.
Aksi farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang
berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif
yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi
karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons
kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien
dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah,
usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi
relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu.
Selain itu efek ini juga bisa terjadi
karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan
bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.
Efek samping jenis ini umumnya dijumpai
pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu
jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika. Beberapa contoh
spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
a.
Depresi respirasi pada pasien-pasien
bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
b.
Hipotensi yang terjadi pada stroke,
infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat
antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
c.
Bradikardia pada pasien-pasien yang
menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
d.
Palpitasi pada pasien asma karena dosis
teofilin yang terlalu tinggi.
e.
Hipoglikemia karena dosis antidiabetika
terlalu tinggi.
f.
Perdarahan yang terjadi pada pasien yang
sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum
aspirin.
Semua pasien mempunyai risiko untuk
mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya
pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap
kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal,
penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam
pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan.
2.
Respons karena penghentian obat
Gejala penghentian obat (=gejala putus
obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau
reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian
pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:
a.
Agitasi ekstrim, takikardi, rasa
bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan
dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol.
b.
Krisis Addison akut yang muncul karena
penghentian terapi kortikosteroid,
c.
Hipertensi berat dan gejala aktivitas
simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin
d.
Gejala putus obat karena narkotika,
Reaksi putus obat ini terjadi, karena
selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi
ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya
pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh
berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga
dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat
dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan
penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat
sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala
putus obat yang lebih ringan.
3.
Efek samping yang tidak berupa efek
farmakologik utama
Efek-efek samping yang berbeda dari efek
farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan
berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik
sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad
ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang
lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam
populasi yang lebih luas .
Data efek samping berbagai obat dapat
ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka
kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
a.
Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan
pedih, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral,
analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dan lain-lain.
b.
Rasa ngantuk (drowsiness) setelah
pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan (motion sickness).
c.
Kenaikan enzim-enzim transferase hepar
karena pemberian rifampisin.
d.
Efek teratogenik obat-obat tertentu
sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil
e.
Penghambatan agregasi trombosit oleh
aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
f.
Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.
Efek samping
yang tidak dapat diperkirakan, terbagi atas:
1.
Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi
hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi
akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya,
seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian
kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi
dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat
berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali
berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
a.
Gejalanya sama sekali tidak sama dengan
efek farmakologiknya
b.
Seringkali terdapat tenggang waktu
antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek
c.
Reaksi dapat terjadi pada kontak
ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat
d.
Reaksi hilang bila obat dihentikan
e.
Keluhan/gejala yang terjadi dapat
ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (=ruam) di kulit, serum
sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dan lain-lain
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:
a.
Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu
terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil
dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan
reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dan lain-lain.
Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik.
Syok anafilaktik ini merupakan
efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah
penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium
.
b.
Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi
antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk
kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia
karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena
pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dan
lain-lain.
c.
Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi
antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk
melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya
berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular.
Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya
muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
d.
Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu
sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru
menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi
inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal,
salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.
Walaupun mekanisme efek samping dapat
ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik
manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya
akan meliputi:
a.
Demam
Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan
akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
b.
Ruam kulit (skin rashes)
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis
kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas,
erupsi, dan lain-lain.
c.
Penyakit jaringan ikat
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik,
kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin,
prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat.
d.
Gangguan sistem darah
Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis),
anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan
dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
e.
Gangguan pernafasan
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai,
terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin
kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi
lain.
2.
Reaksi karena faktor genetic
Pada orang-orang tertentu dengan variasi
atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik
yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang
mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan
spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin).
Sebagai contoh misalnya:
a.
Pasien yang menderita kekurangan
pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu
pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita
paralisis dan apnea yang berkepanjangan.
b.
Pasien yang mempunyai kekurangan enzim
G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia
hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin.
Kemampuan metabolisme obat suatu
individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer
adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid
karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut.
Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok,
yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator
cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator
lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35%
adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi
distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada
asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:
a.
Neuropati perifer karena isoniazid lebih
banyak dijumpai pada asetilator lambat
b.
Sindroma lupus karena hidralazin atau
prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah
seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini
belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun
sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di
Laboratorium Farmakologi Klinik.
3.
Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk
menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau
aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi.
Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa
contoh misalnya:
a.
Kanker pelvis ginjal yang dapat
diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.
b.
Kanker uterus yang dapat terjadi karena
pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali.
c.
Obat-obat imunosupresi dapat memacu
terjadinya tumor limfoid.
d.
Preparat-preparat besi intramuskuler
dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.
e.
Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul
pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif
sebelumnya.
D.
Faktor-faktor
Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat
Setelah melihat uraian di atas, maka
kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong
terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi:
- Faktor bukan obat
Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat
antara lain adalah:
a.
Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis
kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan
hidup.
b.
Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter
(pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
- Faktor obat
a. Intrinsik
dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b. Pemilihan
obat
c. Cara
penggunaan obat
d. Interaksi
antar obat
E.
Upaya
Pencegahan dan Penanganan Efek Samping Obat
Masing-masing obat mempunyai keunggulan
dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun kemungkinan efek
sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku
pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan
besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti
evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat, dari berbagai pustaka
standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan terhadap
efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat
akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.
1.
Upaya pencegahan
Agar kejadian efek samping dapat ditekan
serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal berikut:
a.
Selalu harus ditelusur riwayat rinci
mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik
obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri
b.
Gunakan obat hanya bila ada indikasi
jelas, dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi
c.
Hindari pengobatan dengan berbagai jenis
obat dan kombinasi sekaligus
d.
Berikan perhatian khusus terhadap dosis
dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang
juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala
dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan
komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran
e.
Perlu ditelaah terus apakah pengobatan
harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa tidak perlu lagi
f.
Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan
atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih
dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi,
kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat
2.
Penanganan efek samping
Dengan melihat jenis efek samping yang
timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat
direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:
a.
Segera hentikan semua obat bila
diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk dan kemungkinan
mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang
terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih
pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil.
Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat
harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya
reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya
terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan
belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara
satu-persatu.
b.
Upaya penanganan klinik tergantung
bentuk efek samping dan kondisi penderita. Pada bentuk-bentuk efek samping
tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk
syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain
untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan
penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau kortikosteroid
(bila diperlukan), dan lain-lain.
Berikut ini adalah contoh dari efek samping obat yang
biasanya terjadi:
a.
Kerusakan janin, akibat Thalidomide dan
Accutane
b.
Pendarahan usus, akibat Aspirin
c.
Penyakit kardiovaskular, akibat obat
penghambat COX-2
d.
Tuli dan gagal ginjal, akibat antibiotik
Gentamisin
e.
Kematian, akibat Propofol
f.
Depresi dan luka pada hati, akibat
Interferon
g.
Diabetes, yang disebabkan oleh
obat-obatan psikiatrik neuroleptic
h.
Diare, akibat penggunaan Orlistat
i.
Disfungsi ereksi, akibat antidepresan
j.
Demam, akibat vaksinasi
k.
Glaukoma, akibat tetes mata
kortikosteroid
l.
Rambut rontok dan anemia, karena
kemoterapi melawan kanker atau leukemia
m. Hipertensi,
akibat penggunaan Efedrin. Hal ini membuat FDA mencabut status ekstrak tanaman
efedra (sumber efedrin) sebagai suplemen makanan
n.
Kerusakan hati akibat Parasetamol
o.
Mengantuk dan meningkatnya nafsu makan
akibat penggunaan antihistamin
p.
Stroke atau serangan jantung akibat
penggunaan Sildenafil (Viagra)
q.
Bunuh diri akibat penggunaan Fluoxetine,
suatu antidepresan
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Efek samping adalah setiap efek yang
tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions)
dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari
faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.
Efek samping obat dapat dikelompokkan
dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada atau tidaknya hubungan dengan
dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi dan
sebagainya.
Adapun faktor-faktor pendorong
terjadinya efek samping obat adalah Faktor bukan obat seperti Intrinsik dari
pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi,
penyakit, sikap dan kebiasaan hidup. Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter
(pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika. Dan faktor
obat seperti Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk
menimbulkan efek samping, pemilihan obat, cara penggunaan obat, dan interaksi
antar obat.
Agar kejadian efek samping dapat ditekan
serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk selalu harus ditelusur riwayat rinci
mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik
obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri dan
gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas dan bila tidak ada alternatif
non-farmakoterapi serta hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan
kombinasi sekaligus. Adapun penanganan efek sampingnya adalah segera hentikan
semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping serta upaya
penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.
B.
Saran
Dalam pemakaian obat, hendaknya kita
perhatikan kontra indikasi dari obat tersebut, untuk mencegah efek samping dari
obat yang berlebihan. Dan adapun penangan dari efek
samping tersebut disesuaikan dengan efek sampng yang ditimbulkan oleh obat yang
telah dikonsumsi atau telah masuk ke dalam tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Anief M, 2007, Apa yang Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY
PRESS.
Dwi, F.Y. 2010. Efek samping obat. Jakarta: Hilal Ahmar.
Ikawati, Z. 2010. Cerdas mengenali obat. Yogyakarta: Kanisius
Comments
Post a Comment