Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Kasus Pancasila Kesehatan : Pelanggaran Pasal 2




Kasus Pancasila Kesehatan : Pelanggaran Pasal 2

MAKALAH KESEHATAN BERKAITAN KASUS PANCASILA
Malpraktek, Dokter Magang Ini Diduga
Tewaskan Siswi SD  

Dugaan Pelanggaran Pancasila Pasal 2




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1

BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Malpraktek................................................................................ 2
2.2 Malpraktek Dibidang Hukum..................................................................... 2
2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan........................... 5
2.4 Upaya Pencegahan dan Menghadapi......................................................... 7
2.5 Ilustrasi Kasus:........................................................................................... 8
2.6 Analisis Kasus............................................................................................ 10

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 12
3.2 Saran........................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan.
Terkait kasus-kasus yang muncul mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya pencegahannya.

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kasus yang berkaitan dengan pancasila di dunia kesehatan.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.

2.2 Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1.      Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.       Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
1)      Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah. Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
2)      Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
3)      Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4)      Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
5)      Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
b.      Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
1)      Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2)      Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
c.       Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
1)      Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
2)      Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3)      Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2.      Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1)      Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2)      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3)      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4)      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3.      Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
1.      Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
2.      Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
a.       Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
1)      Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
2)      Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
3)      Direct Causation (penyebab langsung)
4)      Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
b.      Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
1)      Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
2)      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
1)      Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
2)      Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
3)      Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

2.4 Upaya Pencegahan dan Menghadapi
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1.      Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3.      Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5.      Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6.      Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1.      Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
3.      Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
4.      Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

2.5 Ilustrasi Kasus
Malpraktek, Dokter Magang Ini Diduga Tewaskan Siswi SD  
TEMPO.CO, Makassar - Penyidik Unit Pidana Tertentu Kepolisian Resor Bone saat ini sedang menyelidiki kasus dugaan malpraktek yang dilakukan FX, seorang dokter magang di Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru, Watampone, Sulawesi Selatan. “Kami akan segera panggil sejumlah pihak untuk diperiksa, termasuk keluarga korban,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bone Ajun Komisaris Polisi Andi Asdar, kemarin.
Dokter FX dilaporkan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat Kamis pekan lalu. Laporan diajukan sehari setelah Fira Aprilia, 13 tahun, warga Kelurahan Cellu, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, meninggal dunia seusai menjalani operasi lengan kirinya yang patah. “Dokter yang dilaporkan dan pihak rumah sakit juga akan kami periksa,” ujar Asdar.
Menurut ayah Fira, Naharuddin, semasih duduk di kelas 4 SD pada Maret 2015, teman sekelasnya mendorong Fira hingga terjatuh. Akibatnya, lengan kirinya patah. Fira dibawa ke RSUD Tenriawaru dan dilayani dokter FX. Pada awal Februari 2016 Fira disarankan melakukan foto rontgen. Hasilnya bagus. Tulang lengan yang patah sudah tersambung. Namun, menurut FX, lengan Fira perlu dioperasi karena masih ada luka dalam di sekitar tulang lengan itu. “Karena dokter yang menyarankan, saya menurut saja,” ucapnya.
Operasi dilakukan pada Rabu pekan lalu. Saat masuk ke ruang operasi kondisi Fira masih segar bugar. Namun, seusai operasi, sekitar pukul 18.00 Wita, muncul bercak merah mulai wajah hingga ujung kaki. Keesokan harinya, nyawa Fira tak bisa diselamatkan. “Saya sangat kecewa dan menyesalkan pihak rumah sakit,” tutur Naharuddin.
Dokter FX tidak bisa dimintai konfirmasi. Dia tidak ada di ruang kerjanya. Kepala Sub Bagian Humas RSUD Tenriawaru Ramli juga sulit ditemui. Adapun Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Andi Kasma Padjalangi mengaku belum mengetahui kasus tersebut. “Saya akan menelusuri keberadaan dokter itu,” kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Bone itu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, FX bukanlah dokter ahli bedah. Dia berstatus dokter magang di RSUD Tenriawaru. Dia hanya bertugas setiap dua minggu sekali. “Dia belum menjadi dokter definitif di rumah sakit ini,” ujar seorang sumber Tempo.
Dokter FX dilaporkan sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang mewakili pihak keluarga korban, Kamis pekan lalu. Laporan tersebut diajukan sehari setelah kematian Fira Aprilia, 13 tahun.
Warga Kelurahan Cellu, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, itu meninggal setelah menjalani operasi lengan kiri yang patah. “Dokter yang dilaporkan dan pihak rumah sakit juga akan kami periksa,” ujarnya.
Menurut ayah Fira, Naharuddin, semasa duduk di kelas IV SD pada Maret 2015, teman sekelasnya mendorong Fira hingga terjatuh. Akibatnya, lengan kirinya patah. Fira dibawa ke RSUD Tenriawaru dan dilayani dokter FX.
Pada awal Februari 2016, Fira disarankan melakukan foto roentgen. Hasilnya bagus. Tulang lengan yang patah sudah tersambung. Namun, menurut FX, lengan Fira perlu dioperasi karena masih ada luka dalam di sekitar tulang lengan itu. “Karena dokter yang menyarankan, saya menurut saja,” ucap Naharuddin.
Operasi dilakukan pada Rabu pekan lalu. Saat masuk ke ruang operasi, kondisi Fira masih segar bugar. Namun, seusai operasi, sekitar pukul 18.00 Wita, muncul bercak merah mulai dari wajah hingga ujung kaki. Keesokan harinya, nyawa Fira tak bisa diselamatkan. “Saya sangat kecewa dan menyesalkan pihak rumah sakit,” tuturnya.
Dokter FX tidak bisa dimintai konfirmasi. Dia tidak ada di ruang kerjanya. Kepala Subbagian Humas RSUD Tenriawaru Ramli juga sulit ditemui. Adapun Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Andi Kasma Padjalangi mengaku belum mengetahui kasus itu. “Saya akan menelusuri keberadaan dokter itu,” kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Bone tersebut.

2.6 Analisis Kasus
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Dugaan kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren yang mengalami putusnya dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana.
Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan. Inovasi pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat diatasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini sangat perlu tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan seperti doter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus dianalisi oleh pihak-pihak terkait untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul dan penyelesaian yang diajukan untuk mengatasi kasus ini.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1.      Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
2.      Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.

3.2 Saran
Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari penegakan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.
Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum, Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang ter-tutup, baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam mengambil vonisnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;



Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)